Sultan Banjar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Benia372 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
 
Baris 177:
<td bgcolor="#DDEEFF">* Baginda mendapat gelar [[Sultan Muda]] sejak tahun [[1782]], selanjutnya ia menggantikan ayahandanya sebagai Sultan Banjar. Ia dibantu adiknya Pangeran Husin bergelar [[Pangeran Mangku Bumi Nata]] sebagai mangkubumi. Setelah wafatnya [[Pangeran Mangku Bumi Nata]] maka putera kedua Sultan Adam yaitu Pangeran Noh dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) dengan gelar [[Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana]] oleh Belanda pada [[1842]], sedangkan putera sulung yaitu Pangeran Ratu dilantik sebagai Sultan Muda dengan gelar Sultan Muda Abdul Rahman. Untuk memperoleh calon Pangeran Mahkota berikutnya maka Sultan Muda dinikahkan dengan sepupunya putri dari mangkubumi.<ref>{{id}} Mohamad Idwar Saleh, Sri Sutjiatiningsih; ''[[Pangeran Antasari]]'', Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993</ref> Setelah wafatnya [[Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana]] maka pemerintah kolonial Belanda melantik putera dari selir Sultan Muda Abdul Rahman yang bernama Pangeran Tamjidillah (ke-2) untuk mengisi jabatan mangkubumi (pada saat Sultan Muda Abdul Rahman masih hidup). Ketika Sultan Muda Abdul Rahman mangkat (sebelum sempat menjabat sebagai Sultan Banjar) maka Belanda melantik [[Tamjidullah II]] sebagai [[Sultan Muda]] sejak [[8 Agustus]] [[1852]] sambil merangkap jabatan mangkubumi yang sudah dijabat sebelumnya. Hal ini melanggar adat keraton biasanya mangkubumi dan Sultan Muda dijabat oleh orang yang berbeda, karena sepatutnya Sultan Muda dijabat oleh putera sulung dari permaisuri. Sultan Adam menolak pengangkatan Tamjidullah II sebagai Sultan Muda, karena ia menginginkan Pangeran Hidayatullah II untuk jabatan tersebut. Namun setelah wafatnya Sultan Adam, malahan Pangeran Tamjidullah II tetap dilantik pemerintah kolonial Belanda sebagai Sultan Banjar untuk menggantikan sultan Adam, dan sehari kemudian Tamjidullah II menandatangani surat pengasingan pamannya sendiri [[Pangeran Prabu Anom]] untuk diasingkan ke Bandung pada [[23 Februari]] [[1858]].
 
Tahun 1853 Sultan Adam sebenarnya sudah mengutus surat ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah II sebagai Sultan Muda (calon Sultan) dibatalkan. Sebagai tandingan Sultan Muda Tamjidullah, tahun 1855 Sultan Adam melantik puteranya Pangeran Prabu Anom (adik almarhum Sultan Muda Abdul Rahman) sebagai [[Raja Muda]]. Kemudian Sultan Adam sempat membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya [[Hidayatullah II]] sebagai Sultan Banjar penggantinya dan Pangeran Prabu Anom sebagai Mangkubumi, surat wasiat inilah yang menjadi dasar perlawanan segenap bangsawan dan rakyat Banjar terhadap kolonial Hindia Belanda<ref>[{{Cite web|title={{id}} Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19, PT Balai Pustaka, 1992, ISBN 979-407-410-1, 9789794074107|url=http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&pg=PA275#v=onepage&q=balangan&f=true|archive-url=https://web.archive.org/web/20140104225128/http://books.google.co.id/books?id=N5jc0h1BktwC&lpg=PA276&dq=balangan&pg=PA275#v=onepage&q=balangan&f=true|archive-date=2014-01-04|dead-url=yes|access-date=2010-08-31}} {{id}} Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah nasional Indonesia: Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19, PT Balai Pustaka, 1992, ISBN 979-407-410-1, 9789794074107]</ref> </td><td>[[File:Lukisan Sultan Adam 1844.jpg|jmpl]]</td></tr>
<tr>
<td align="center">19</td>
Baris 197:
<td align="center" bgcolor="#DDEEFF">[[Muhammad Seman|Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari]]</td>
<td bgcolor="#DDEEFF">[[1862]] — [[1905]]</td>
<td bgcolor="#DDEEFF">* Raja [[Pagustian]]/Kastapura.<ref>{{id}} {{cite book|last=Susanto|first=A. Budi|year=2007|url=http://books.google.co.id/books?id=QyXg_GDYCdMC&lpg=PA217&dq=Tamanggung%20Jaya%20Dauk&pg=PA217#v=onepage&q&f=false|title=Masihkah Indonesia|publisher=Kanisius|isbn=9792116575|pages=216|access-date=2012-11-08|archive-url=https://web.archive.org/web/20140318105836/http://books.google.co.id/books?id=QyXg_GDYCdMC&lpg=PA217&dq=Tamanggung%20Jaya%20Dauk&pg=PA217#v=onepage&q&f=false|archive-date=2014-03-18|dead-url=yes}}ISBN 9789792116571</ref> Sebagai kepala Pemerintahan [[Pagustian]] meneruskan perjuangan ayahnya, Pangeran [[Antasari]] melawan kolonial Belanda dengan dibantu kakaknya Panembahan Muda/Gusti Muhammad Said sebagai mangkubumi dan [[Panglima Batur]] sebagai panglima perang. Ia melantik menantunya [[Pangeran Perbatasari]] bin Panembahan Muhammad Said sebagai [[Mangkubumi]] menggantikan almarhum ayahandanya. Pangeran Perbatasari tertangkap di daerah Pahu, [[Kutai Barat]] dan dibuang ke [[Kampung Jawa Tondano]]. Sultan Muhammad Seman sempat mengirim [[Panglima Bukhari]] ke [[Kandangan]] untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada [[24 Januari]] [[1905]] ditembak Belanda yang mengakhiri [[Perang Banjar]] dan banyak para pahlawan pejuang yang tertangkap, Pangeran Aminullah (menantu Pangeran Prabu Anom) dibuang ke Surabaya, Ratu Zaleha diasingkan ke Bogor, keturunan Tumenggung Surapati yang tertangkap diasingkan ke Bengkulu, dan sebagai penerus Sultan Muhammad Seman adalah Gusti Berakit. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan [[Gubernur Haga]], [[Pimpinan Pemerintahan Civil]], [[Pangeran Musa Ardi Kesuma]] (Ridzie Zaman Jepang), [[Pangeran Muhammad Noor]] (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi [[Provinsi Kalimantan Selatan]].</td><td>[[File:Gusti Matseman.jpg|jmpl]]</td></tr>
<tr>
<td align="center" >23</td>