Museum Konferensi Asia Afrika: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Pidopram (bicara | kontrib)
#1Lib1Ref #1Lib1RefID
Pidopram (bicara | kontrib)
#1Lib1Ref #1Lib1RefID
Baris 27:
Societeit Concordia berfungsi sebagai gedung dansa, hiburan, dan tempat berkumpulnya sosialita kaya di Bandung dan sekitarnya. Pengunjungnya termasuk pemilik atau karyawan perkebunan, pejabat, dan pengusaha kaya. Selama akhir pekan, gedung itu dipenuhi orang-orang yang menikmati pertunjukan seni, tarian sosial, dan makan malam. Kemudian pada 1926, bangunan dirancang ulang dalam gaya art-deco oleh Van Galen dan C.P. Wolff Schoemaker. Keduanya adalah arsitek ternama sekaligus profesor di Technische Hogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung). Bangunan seluas 7500 meter persegi tersebut berlantai marmer Italia dengan kamar-kamar yang menggunakan kayu cikenhout serta dihiasi dengan lampu kristal di langit-langit.<ref name=":3" /> 
 
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, bangunan ini berganti nama menjadi Dai Toa Kaman dan berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bangunan tersebut digunakan sebagai markas pejuang kemerdekaan Indonesia melawan pasukan Jepang. Setelah Kemerdekaan RI diakui oleh Belanda pada 1949, Gedung Concordia kembali digunakan sebagai ruang pertemuan umum, pertunjukan seni, pesta, tarian, dan jamuan makan malam. Pada 1954, pemerintah Indonesia menunjuk Bandung sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika, Gedung Concordia dipilih sebagai tempat konferensi Internasional ini. Saat itu, bangunan ini merupakan aula terbesar dan termegah di Bandung. Lokasinya strategis dekat dengan Savoy Homann Hotel dan Preanger Hotel di pusat kota.<ref name=":3" />
 
Pada awal 1955, gedung ini direnovasi untuk memenuhi persyaratan konferensi internasional oleh Ir. R. Srigati Santoso, dan berganti nama menjadi Gedung Merdeka. Bangunan sekarang digunakan sebagai Museum Konferensi Asia-Afrika.