Perang Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
k ~
Baris 120:
Kebencian masyarakat Aceh semakin dipicu oleh sistem kerja paksa yang mengharuskan warganya bekerja pada proyek perbaikan jalan pemerintah selama 24 hari dalam setahun.<ref name="Reid339"/> Pada pertengahan tahun 1920-an, kondisi Aceh sudah kembali seperti semula. perang gerilya skala penuh. Setelah invasi Jepang, pasukan pendudukan Jepang pada awalnya disambut oleh kaum nasionalis Aceh sebagai pembebas meskipun perbedaan tersebut menyebabkan perlawanan berkepanjangan dari pemberontak yang terinspirasi Islam, yang berpuncak pada pemberontakan di [[Bayu, Indonesia|Bayu]].<ref name="Reid341 ">Reid (2005), hal. 341</ref>
 
''[[ulama]]'' (ulama Islam) Aceh berperang melawan Belanda dan Jepang, memberontak melawan Belanda pada bulan Februari 1942 dan melawan Jepang pada bulan November 1942. Pemberontakan ini dipimpin oleh Ulama Pan-Aceh. Asosiasi (PUSA). Jepang menderita 18 orang tewas dalam pemberontakan tersebut sementara mereka membantai 100–120 orang Aceh.<ref>{{cite book|last=Martinkus|first=John|title=Indonesia's Secret War in Aceh|url=https://books.google.com/books?id=RcdwAAAAMAAJ|year=2004|publisher=Random House Australia|isbn=978-1-74051-209-1|page=47}}</ref><ref>{{cite book|last=Ricklefs|first=Merle Calvin|title=A History of Modern Indonesia Since C. 1200|url=https://books.google.com/books?id=0GrWCmZoEBMC&pg=PA252|year=2001|publisher=Stanford University Press|isbn=978-0-8047-4480-5|page=252}}</ref> Pemberontakan terjadi di Bayu dan berpusat di sekitar pesantren desa Tjot Plieng.<ref name="atjehcyber.net" /><ref name="Pepatah Lama Di Aceh Utara" /><ref name="issuu.com" /><ref>[https://books.google.com/books?id=3NETAQAAMAAJ "Tempo: Indonesia's Weekly News Magazine, Volume 3, Issues 43–52" 2003], p. 27.</ref> Pada masa pemberontakan, pasukan Jepang yang bersenjatakan mortir dan senapan mesin diserang oleh orang Aceh yang memegang pedang di bawah pimpinan Teungku Abduldjalil (Tengku Abdul Djalil) di Buloh Gampong Teungah dan Tjot Plieng pada tanggal 10 dan 13 November.<ref name="Atjeh Post 1990" /><ref name="books.google.com" /><ref>[https://books.google.com/books?id=v3kDBvr5UeYC Nasution 1963], p. 89.</ref><ref>[https://books.google.com/books?id=cKbQAAAAMAAJ "Sedjarah Iahirnja Tentara Nasional Indonesia" 1970], p. 12.</ref><ref name="ReferenceA" /><ref name="Sedjarah TNI-Angkatan Darat 1965. p. 8" /><ref name="ReferenceB" />{{Overcited|date=September 2022}} Pada bulan Mei 1945 rakyat Aceh kembali memberontak.<ref>{{cite book|last=Jong|first=Louis|title=The collapse of a colonial society: the Dutch in Indonesia during the Second World War|url=https://books.google.com/books?id=BpZuAAAAMAAJ|year=2002|publisher=KITLV Press|isbn=978-90-6718-203-4|page=189}}</ref> Selama [[Revolusi Nasional Indonesia]] setelah [[penyerahan Jepang]] pada bulan Agustus 1945, kaum bangsawan menjadi sasaran pembalasan karena kolaborasi mereka dengan Belanda dan wilayah tersebut menjadi benteng bagi [[Sukarno]] Partai Republik. <ref name="Vickers102" /> Karena sentimen anti-kolonial yang mengakar, Belanda tidak mengungguli Aceh dalam [[politionele action|aksi polisi]] ​​merekamereka dari tahun 1947 hingga 1948.<ref name="Reid341" />
 
Setelah penyerahan kedaulatan Belanda ke Indonesia pada bulan Agustus 1949, banyak masyarakat Aceh yang merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat yang didominasi [[Orang Jawa]] di [[Jakarta]] dan mulai melakukan agitasi untuk [[otonomi]] .<ref name="Vickers140">Vickers (2005), hal. 140</ref> Keluhan yang muncul mencakup penggabungan Aceh ke dalam provinsi [[Sumatera Utara]] yang mayoritas penduduknya [[Kristen]] [[Suku Batak|Batak]], buruknya imbalan finansial dan politik di dalam [[negara kesatuan|kesatuan]] Republik Indonesia dan kegagalan menerapkan hukum [[syariah]].<ref name="Reid341" /><ref name="Reid19">Reid (2005), p. 19</ref> Pada tahun 1953, [[Soekarno]] menyatakan bahwa ia menentang rencana Aceh untuk memberlakukan hukum [[syariah]], dengan menyatakan bahwa "Indonesia adalah negara bangsa dengan ideologi [[Pancasila]] , bukan negara teokratis dengan orientasi keagamaan tertentu."<ref>{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/air-mata-bung-karno-meleleh-di-aceh-vqrx1|title=Bung Karno's Tears Melt in Aceh|last =Jo|first=Hendi|date=9 Oktober 2015|website=Historia.id|access-date=}}</ref> Diceritakan Sajoeti yang juga mendampingi Soekarno, sebagian kelompok militan Aceh tidak menyambut baik kunjungan Sukarno bahkan menduga ia mempunyai agenda sekularisasi. Misalnya, ada beberapa poster yang bertuliskan: "Kami menyayangkan pidato Presiden di Amuntai"; Kami mencintai Presiden, namun kami lebih mencintai negara. Kami cinta tanah air, tapi kami lebih cinta agama. Islam itu suci”; “Mencintai agama berarti mencintai tanah air. Tapi itu tidak berarti mencintai negara berarti mencintai agama", dan "Mereka yang menolak hukum Islam bukanlah pembela Islam."<ref name="Sajoeti">Sajoeti 1953: 33–8</ref> Faktor-faktor ini menyebabkan hingga pemberontakan singkat oleh gerakan [[Darul Islam]] di bawah [[Daud Bereueh]]<ref name="Reid341" /> yang ditindas oleh [[Tentara Nasional Indonesia|Bahasa Indonesia angkatan bersenjata]].<ref name="Reid19" /><ref name="Vickers120">Vickers (2005), hal. 120</ref> Meskipun demikian, banyak masyarakat Aceh dan masyarakat Sumatera lainnya yang tidak menyukai dominasi posisi penting di pemerintahan dan militer oleh orang Jawa.<ref name="Reid19" /> Pemberontakan yang dipimpin oleh [[Gerakan Aceh Merdeka]] berkecamuk di provinsi tersebut hingga perjanjian damai ditandatangani antara gerakan Aceh dan pemerintah Indonesia setelah [[Samudera Hindia tahun 2004 gempa bumi dan tsunami|Tsunami Besar Aceh]].