Perang Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 72:
 
Intervensi Belanda di Aceh memakan korban jiwa ribuan tentara dan sangat menguras pengeluaran keuangan pemerintah kolonial. Pada tanggal 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan perang telah berakhir dan membentuk pemerintahan sipil, namun terus mengeluarkan banyak uang untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang didudukinya. Dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Aceh setempat, Belanda membangun kembali [[Masjid Raya Baiturrahman]] atau Masjid Agung di Banda Aceh sebagai tanda rekonsiliasi.<ref name="Ibrahim132"/>
 
===Perang suci===
Perang dimulai lagi pada tahun 1883, ketika kapal Inggris Nisero terdampar di Aceh, di daerah yang pengaruh Belandanya kecil. Seorang pemimpin setempat meminta tebusan dari Belanda dan Inggris, dan di bawah tekanan Inggris, Belanda terpaksa berusaha membebaskan para pelaut tersebut. Setelah upaya Belanda yang gagal untuk menyelamatkan para sandera, dimana pemimpin setempat [[Teuku Umar]] dimintai bantuan tetapi dia menolak, Belanda bersama Inggris menyerbu wilayah tersebut. Sultan menyerahkan para sandera, dan menerima sejumlah besar uang tunai sebagai imbalannya.<ref name="Reid186-88">Anthony Reid (2005), hal. 186–88</ref>
 
Menteri Peperangan Belanda [[August Willem Philip Weitzel]] kembali mendeklarasikan perang terbuka terhadap Aceh, dan peperangan terus berlanjut tanpa membuahkan hasil seperti sebelumnya. Menghadapi musuh yang memiliki teknologi lebih unggul, masyarakat Aceh melakukan [[perang gerilya]], khususnya perangkap dan penyergapan. Pasukan Belanda membalas dengan memusnahkan seluruh desa dan membunuh tahanan dan warga sipil.<ref>Vickers (2005), hal. 11</ref> Pada tahun 1884, Belanda membalas dengan menarik seluruh pasukan mereka di Aceh ke garis pertahanan di sekitar Banda Aceh .<ref name="Ibrahim132"/> Belanda kini juga mencoba merekrut para pemimpin lokal: Umar yang disebutkan di atas dibeli dengan uang tunai, [[opium]], dan senjata. Umar mendapat gelar Panglima Prang Besar (Panglima Perang Besar).
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret van de marechaussee met overste Van Daalen bij de vermoorde inwoners van de versterkte kampong Koeto Reh TMnr 60009090.jpg|left|thumb|Perebutan Benteng Kuta Reh di Alasland pada tanggal 14 Juni 1904, menimbulkan ratusan korban jiwa pada masyarakat adat, foto oleh [[H.M. Neeb]]]]
 
Umar malah menyebut dirinya ''Teuku Djohan Pahlawan'' (Johan yang Pahlawan). Pada tanggal 1 Januari 1894 Umar bahkan mendapat bantuan Belanda untuk membangun pasukan. Namun, dua tahun kemudian Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan barunya, bukannya membantu Belanda dalam menundukkan Aceh bagian dalam. Hal ini tercatat dalam sejarah Belanda dengan sebutan “Het verraad van Teukoe Oemar” (Pengkhianatan [[Teuku Umar]]). Sejak pertengahan tahun 1880-an, kepemimpinan militer Aceh didominasi oleh [[ulama]] agama, termasuk [[Teungku Chik di Tiro]] (Muhamma Saman), yang menyebarkan konsep "[[perang agama|perang suci]] melalui khotbah dan teks yang dikenal dengan hikayat atau dongeng puitis. Pejuang Aceh memandang diri mereka sebagai martir agama yang melawan "penjajah kafir".<ref name="Ibrahim133"/> Pada tahap ini, Perang Aceh digunakan sebagai simbol perlawanan umat Islam terhadap imperialisme Barat.<ref name="Vickers13"/ >
 
Pada tahun 1892 dan 1893 Aceh tetap merdeka meskipun ada upaya Belanda. Mayor [[J. B. van Heutsz]], seorang pemimpin militer kolonial, kemudian menulis serangkaian artikel tentang Aceh. Ia didukung oleh Dr. [[Christiaan Snouck Hurgronje]] dari [[Universitas Leiden|Universitas Leiden]], yang saat itu merupakan pakar Islam terkemuka di Belanda. Hurgronje berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh dan mengumpulkan [[intelijen (pengumpulan informasi)|intelijen]] yang berharga bagi pemerintah Belanda mengenai kegiatan [[haji]] [[peziarah]] Indonesia.<ref name=" Vickers13"/> Karyanya tetap menjadi rahasia resmi selama bertahun-tahun. Dalam analisis Hurgronje mengenai masyarakat Aceh, ia meremehkan peran Sultan dan berpendapat bahwa perhatian harus diberikan kepada pemimpin dan bangsawan turun-temurun, Ulee Balang, yang menurutnya dapat dipercaya sebagai administrator lokal. Namun, menurutnya, para pemimpin agama di Aceh, yaitu para ulama, tidak dapat dipercaya atau dibujuk untuk bekerja sama, dan harus dihancurkan. Sebagai bagian dari kebijakan memecah belah dan menaklukkan, Hurgronje mendesak para pemimpin Belanda untuk memperluas jurang pemisah yang ada antara bangsawan Aceh dan para pemimpin agama.<ref name="Vickers13"/>
 
Hurgronje adalah sahabat [[Mufti Besar]] Arab [[Batavia, Hindia Belanda|Batavia]], [[Habib Usman bin Yahya]], yang mengeluarkan fatwa untuk mendukung perang Belanda melawan Aceh.
 
Pada tahun 1894, penghulu atau hakim [[Hasan Mustafa]] juga membantu menghentikan pertempuran dengan mengeluarkan fatwa yang memerintahkan umat Islam untuk tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.<ref>Mufti Ali, "A Study of Hasan Mustafa's 'Fatwa: 'It Is Incumbent upon the Indonesian Muslims to be Loyal to the Dutch East Indies Government,'" ''Journal of the Pakistan Historical Society,'' April 2004, Vol. 52 Issue 2, pp 91–122</ref>
 
== Siasat Snouck Hurgronje ==