Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Den Mazze (bicara | kontrib)
Den Mazze (bicara | kontrib)
Baris 7:
Tanggal 18<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref>Achiel Suyanto, 2007</ref> atau 19<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref> Agustus 1945, Sultan [[Hamengku Buwono IX]] (HB IX) dan Sri Paduka [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada [[Soekarno]]-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan Penguasa [[Jepang]] ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' dan ''Jawa Saiko Sikikan'' beserta stafnya<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Pada [[19 Agustus]] [[1945]] ''Yogyakarta Kooti Hookookai'' mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.
 
===Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)===
===Rapat PPKI===
Di Jakarta pada [[19 Agustus]] [[1945]] terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan ''Kooti''<ref name="bah">Saafrudin Bahar et. al. (ed), 1993</ref>. Sebenarnya kedudukan ''Kooti'' sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci<ref>Pasal 18 UUD Indonesia yang pertama yang disahkan sehari sebelumnya berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan ''hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa''.”</ref>. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari ''Yogyakarta Kooti'', meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh [[Soekarno]] karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada ''Kooti'', sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.