Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Okkisafire (bicara | kontrib)
Okkisafire (bicara | kontrib)
Baris 50:
#Monopoli perdagangan kayu jati yang dipaksakan oleh [[Daendels]] (1809) menyebabkan bupati-bupati lokal kehilangan pemasukannya yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.<ref name=carey/>
#Bantuan yang diberikan Kapitan Tionghoa di Yogyakarta, [[Tan Jin Sing]], saat penyerbuan tentara Inggris, sepoy, dan pasukan Notokusumo ke Keraton Yogyakarta (Juni 1812).<ref name=carey/>
#Kebijakan pajak Raffles (1812-1813) agar petani membayar pajak tanah dalam bentuk uang tunai dan menghilangkan kerja rodi tidak tepat sasaran karena para petani Jawa pada saat itu terbiasa dengan barter. Akibatnya, mereka terjerumus hutang kepada para renternir Tionghoa setempat yang diberi wewenang dalam mengurus pajak.<ref name=carey/>
#Kebijakan monopoli gerbang cukai (bandar) oleh Belanda (1816) menyebabkan biaya fiskal yang harus dikeluarkan pengusaha Tionghoa meningkat tajam dan berdampak pada para petani Jawa yang mereka pekerjakan.<ref name=carey/>
#Larangan Pangeran Diponegoro untuk menjalin relasi politik dengan etnis Tionghoa sesuai peringatan leluhurnya yaitu Sultan Mangkubumi.<ref name=carey/>
#Anggapan Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam Babadnya bahwa dirinya tergoda oleh tukang pijat beretnis Tionghoa pada malam sebelum perang Gawok (Oktober 1986) sehingga menyebabkan dirinya kehilangan kekebalan tubuhnya (mendapat luka saat perang) dan mengalami kekalahan.<ref name=carey/>
#Kekalahan Tumenggung Sosrodilogo, bupati Bojonegoro sekaligus saudara ipar pangeran, di bulan Januari 1828 dianggap Diponegoro disebabkan Sosrodilogo telah menjamahi seorang [[peranakan Tionghoa]] di Lasem.<ref name=carey/>
 
Penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Yogyakarta dibantai tanpa mempedulikan wanita maupun anak-anak. Komunitas Tionghoa di Bagelen sempat bertahan hingga tahun 1827 sebelum akhirnya diungsikan ke Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa di [[Bagelen, Purworejo|Bagelen]] saat penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa yang mengungsi agar kembali.<ref name=carey/>
 
== Jalan peperangan ==