Ki Gede Sebayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k clean up, replaced: beliau → dia (12), Beliau → Dia (5), removed stub tag
Baris 1:
Menurut silsilah, '''Ki Gede Sebayu''' keturunan darah bangsawan dari Batoro Katong atau Syech Sekar Delima (Adipati Wengker Ponorogo). Ayahnya bernama Pangeran Onje (Adipati Purbalinga). Sejak kecil, Ki Gede Sebayu diasuh oleh eyangnya yaitu Ki Ageng Wunut yang selama hidupnya menekuni Agama Islam. Hal ini membawa dampak bagi perkembangan Ki Gede Sebayu yang tumbuh menjadi anak yang berperilaku ramah dan santun. Setelah menginjak dewasa, Ki Gede Sebayu oleh ayahnya disuwitakan di Keraton Pajang yaitu Kasultanan Adiwijaya. sebagai prajurit tamtama sehingga Ki Gede Sebayu memperoleh pendidikan keprajuritan dan ilmu kanuragan. Ketika Aryo Pangiri berkuasa menggantikan Kesultanan Pajang, Ki Gede Sebayu pergi meninggalkan Pajang menuju Desa Sedayu. Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu Raden Ayu Rara Giyanti Subhaleksana menikah dengan Ki Jadug (Pangeran Purbaya) dan Raden Mas Hanggawana.
 
Menurut silsilah, Ki Gede Sebayu keturunan darah bangsawan dari Batoro Katong atau Syech Sekar Delima (Adipati Wengker Ponorogo). Ayahnya bernama Pangeran Onje (Adipati Purbalinga). Sejak kecil, Ki Gede Sebayu diasuh oleh eyangnya yaitu Ki Ageng Wunut yang selama hidupnya menekuni Agama Islam. Hal ini membawa dampak bagi perkembangan Ki Gede Sebayu yang tumbuh menjadi anak yang berperilaku ramah dan santun. Setelah menginjak dewasa, Ki Gede Sebayu oleh ayahnya disuwitakan di Keraton Pajang yaitu Kasultanan Adiwijaya. sebagai prajurit tamtama sehingga Ki Gede Sebayu memperoleh pendidikan keprajuritan dan ilmu kanuragan. Ketika Aryo Pangiri berkuasa menggantikan Kesultanan Pajang, Ki Gede Sebayu pergi meninggalkan Pajang menuju Desa Sedayu. Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu Raden Ayu Rara Giyanti Subhaleksana menikah dengan Ki Jadug (Pangeran Purbaya) dan Raden Mas Hanggawana.
Ketokohan Ki Gede Sebayu mulai nampak ketika terjadi perang antara Kerajaan Pajang dan Jipang. Ki Gede Sebayu bergabung dengan prajurit Mataram bersama Pangeran Benowo untuk menyingkirkan Aryo Pangiri. Ketika itu Ki Gede Sebayu dengan tombak pendeknya menyerang prajurit Pajang sehingga banyak yang tewas dan akhirnya Aryo Pangiri menyerah dan diusir dari Keraton Pajang. Kemudian Keraton pajang diserahkan kepada Pangeran Benowo.
Setelah selesai pertempuran (1587), Ki Gede Sebayu dan pengikutnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke arah barat dan sampai di Desa Taji (wilayah Bagelan) disambut oleh Demung Ki Gede Karang Lo. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Banyumas (Kadipaten Purbalingga) untuk ziarah ke makam ayah Ki Gede Sebayu dan akhirnya sampai di Desa Pelawangan kemudian menyusuri pantai utara ke arah barat dan sampailah di Kali Gung (Padepokan Ki Gede Wonokusumo). Kedatangan Ki Gede Sebayu bersama rombongan yang bermaksud “mbabat alas” membangun masyarakat tlatah Tegal disambut gembira oleh Ki Gede Wonokusumo. Ki Gede Sebayu mulai menyusun rencana dan strategi untuk melakukan pembangunan yaitu :
Baris 14 ⟶ 13:
2
Mencoba membudidayakan pertanian basah (persawahan irigasi) dengan membuat bendungan Kali Gung untuk mengairi persawahan penduduk dengan nama Bendungan Wangan Jimat, selain itu membuat Kali Jembangan, Kali Bliruk dan Kali Wadas yang terletak di Dukuh Kemanglen dengan sebutan Grujugan Curug Mas.
 
 
3
Untuk memenuhi kebutuhan rohani, Ki Gede Sebayu membangun masjid dan pondok pesantren di Dukuh Pesantren sebagai tempat kegiatan agama. Di sinilah diajarkan cara membaca Al-Qur’an, pengajian yang mengajarkan kewajiban muslim dalam menjalankan agamanya.
 
 
4
Memberikan penamaan terhadap wilayah sesuai dengan kondisi daerah, seperti : Danawarih yang berarti memberi air, Slawi berarti tempat berkumpulnya para satria yang berjumlah selawe atau dua puluh lima yang dalam perkembangannya menjadi pusat kekuasaan (pangreh praja) di Kabupaten Tegal.
 
 
Ide dan pemikiran Ki Gede Sebayu memberikan banyak kemajuan bagi masyarakat
Baris 30 ⟶ 26:
Ki Gede Sebayu Tegal
 
Identitas Kabupaten Tegal dijiwai oleh semangat kejayaan Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah tegal. Sebagaimana tertera dalam buku silsilah raja-raja se-Tanah Jawa. Ki Gede Sebayu adalah keturunan bangsawan yang bernama Bathara Katong Adipati Ponorogo dan beliaudia adalah putra ke-22 dari 90 bersaudara, kemudian Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu : Raden Ayu Giyanti Subalaksana itri dari Pangeran Selarong (Pangeran Purboyo), dan Ki Gede Honggowono ayah dari Ki Gede Hanggowono Seco Menggolo Jumeneng Tumenggung Reksonegoro Ke-I yang dimakamkan di Desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru.
Ki Gede Sebayu banyak pengabdiannya pada Pemerintah Kanjeng Sultan Adiwijaya, penguasa Pajang. Setelah Sultan Pajang meninggal, keadaan pemerintahan menjadi sangat kisruh dan banyak yang menjadi korban.
Melihat kondisi negeri seperti itu Ki Gede Sebayu beserta keluarganya meninggalkan negeri Pajang ke negeri Mataram, bermaksud sowan kepada Kanjeng Panembahan Senopati untuk menyampaikan rencana urbanisasi ke tlatah pesisir utara yaitu di tlatah Teggal.
Baris 46 ⟶ 42:
4.      Merupakan cikal bakal pemimpin di tlatah Tegal yang banyak menurunkan Bupati di Kabupaten Tegal dan Brebes.
5.      Makam Ki Gede Sebayu di wilayah Kabupaten Tegal yaitu Desa Danawarih.
Ki Gede Sebayu merupakan keturunan trah Majapahit. Pada saat terjadi pergolakan perebutan kekuasaan beliaudia lebih memilih diam. Bahkan pada saat suasana makin kacau, Ki Ageng Ngunut (kakek Sebayu) mendesak Ki Gede Sebayu agar menyelamatkan Kerajaan Pajang. Namun, Ki Gede Sebayu menolak.
Melihat penderitaan manusia akibat perebutan kekuasaan antar keluarga itu tidak kunjung reda, Ki Gede Sebayu malah pilih pamit untuk menyingkir ke barat. BeliauDia melepas atribut kebangsawanannya dan mengembara mencari hakekat hidup. Sampailah beliaudia di sebuah daerah penuh ilalang, padang rumput luas dengan sungai besar yang dialiri air bening sampai muara laut utara. BeliauDia terperangah melihat hamparan padang rumput luas yang nyaris tak berpenghuni itu.
Di sana hanya ada beberapa bangunan semipermanen yang dihuni sejumlah santri dan sebuah makam keramat. Makam tersebut adalah tempat jenazah Sunan Panggung atau Mbah Panggung dikebumikan. Terbersitlah di dalam benak Ki Gede Sebayu untuk mengajari warga pesisir itu bercocok tanam. BeliauDia merasa menemukan persinggahan yang menjanjikan, sehingga menghentikan pengembaraannya. Diajaknya warga setempat membabat alang-alang agar jadi tegalan. Selain itu, beliaudia juga membuat bendungan di hulu sungai daerah Danawarih untuk dijadikan sumber air irigasi.
Sementara itu, Pangeran Benowo diangkat menjadi raja Pajang. BeliauDia membutuhkan sepupunya, yang tak lain adalah Ki Gede Sebayu, untuk menjadi patih. Pangeran Benowopun mengutus sejumlah prajurit untuk mencari Ki Gede Sebayu. Di Desa Tegal,
tempat Sebayu bermukim, sepupu Pangeran Benowo itu ditemukan. Namun karena Ki Gede Sebayu tidak mungkin meninggalkan rakyat Tegal, maka Pangeran Benowo melantik beliaudia menjadi juru demang atau sesepuh Desa Tegal. Anugerah sebagai sesepuh desa diberikan pada malam Jumat Kliwon, 15 Sapar Tahun 988 Hijriah, atau tahun 588 EHE. Waktu itu bertepatan dengan 12 April 1580 Masehi.
 
 
Ki Gede Sebayu dalam Narasi yang Datar dan Sepi.
 
 
1.      Romantisme,Kebanggaan dan Jatidiri.
Baris 62 ⟶ 56:
Kota Jakarta menetapkan hari jadinya pada tanggal 22 Juni 1527 dan tahun ini genap berusia 484 tahun.Tanggal tersebut ditetapkan sebagai pertanda kemenangan Fatahillah setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa,dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.Bagaimana kedahsyatan tokoh “super hero” ini bertempur melawan Portugis,hampir 5 abad yang lalu,sampai hari ini masih dapat disaksikan melalui tayangan film/tv. Kebesaran nama Fatahillah diabadikan pada beberapa bangunan dan kawasan di Jakarta.bahkan nama kapal perang Angkatan Laut RI.
Kota Cirebon tahun ini berulang tahun yang ke-642. Hari jadi kota Cirebon tidak menggunakan penanggalan Masehi,tetapi mengikuti penanggalan Hijriah, yakni setiap tanggal 1 Muharam (1 Syura). Pada tanggal 1 Muharam 791 H Syekh Datul Kahfi memerintahkan kepada muridnya,Pangeran Cakrabuana pendiri Kerajaan Pakungwati untuk membuka hutan di kawasan pesisir Cirebon untuk dijadikan pemukiman penduduk, yang kemudian menjadi Kasultanan Cirebon.Syekh Datul Kahfi adalah kakak dari ibu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,salah satu dari Sembilan Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa. Yang masih dikenang (dan kemudian dianut) warga masyarakat Cirebon sampai saat ini adalah Wasiat Sunan Gunung Jati dalam bahasa Cirebon “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”, yang artinya “Aku menitipkan surau dan fakir miskin”. Sebuah artikulasi yang sangat dalam maknanya dan masih relevan untuk dilaksanakan sampai saat ini.
 
 
2.      Ki Gede Sebayu dalam narasi yang datar dan sepi.
 
Sebagai produk sejarah nama Ki Gede Sebayu tidak se”populer” Fatahillah atau Faletehan dan Sunan Gunung Jati.Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Ki Gede Sebayu adalah putra Adipati Purbalingga (Pangeran Onje). Ia dikirim oleh ayahnya untuk mengabdi kepada Sultan Pajang Hadiwidjoyo (1549-1582) dan menjadi prajurit Kerajaan Pajang.Akibat frustasi menyaksikan kekacauan di Pajang yang disebabkan perebutan kekuasaan antar keluarga yang tidak kunjung reda,Ki Gede Sebayu melepas atribut kebangsawanan dan mengembara mencari hakekat hidup.Dengan diikuti oleh 40 pasangan keluarga,yaitu mereka yang terpilih memiliki berbagai ilmu dan ketrampilan, Ki Gede Sebayu melakukan misi perjalanan ke arah barat.Menurut kisah sampailah rombongan ini di tlatah Tegal, yang konon masih berupa lapangan luas (tegalan).Tujuan misi ini sangat mulia yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengembangkan agama Islam.Masing-masing anggauta rombongan,sesuai dengan keahliannya, dititipkan pada keluarga-keluarga sepanjang Kaligung, dan berakhir di Kalisoka (Kec.Dukuhwaru sekarang).Mereka kemudian menularkan keahliannya dibidang pertanian,pengairan,pertukangan,penenun kain,pandai besi,kemasan,dan guru-guru pengajar agama Islam.Bahkan Ki Gede Sebayu berhasil membangun sebuah masjid dan bendungan irigasi,yang sangat bermanfaat bagi para petani.Atas keberhasilan misi tersebut,maka pada pada hari Rabu Kliwon 12 Robiul Awal 1010 H, atau 18 Mei 1601 M oleh Panembahan Senopati raja Mataram beliaudia dianugrahi gelar Juru Demung (Demang). Titi mangsa itulah yang kemudian dipakai untuk menandai Hari Jadi Kabupaten Tegal.Kisah yang sama juga digunakan oleh Pemerintah Kota Tegal untuk menandai Hari Jadinya ,namun jatuh pada tanggal 12 April 1580, atau 21 tahun lebih tua.
 
 
Sebagai produk sejarah nama Ki Gede Sebayu tidak se”populer” Fatahillah atau Faletehan dan Sunan Gunung Jati.Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Ki Gede Sebayu adalah putra Adipati Purbalingga (Pangeran Onje). Ia dikirim oleh ayahnya untuk mengabdi kepada Sultan Pajang Hadiwidjoyo (1549-1582) dan menjadi prajurit Kerajaan Pajang.Akibat frustasi menyaksikan kekacauan di Pajang yang disebabkan perebutan kekuasaan antar keluarga yang tidak kunjung reda,Ki Gede Sebayu melepas atribut kebangsawanan dan mengembara mencari hakekat hidup.Dengan diikuti oleh 40 pasangan keluarga,yaitu mereka yang terpilih memiliki berbagai ilmu dan ketrampilan, Ki Gede Sebayu melakukan misi perjalanan ke arah barat.Menurut kisah sampailah rombongan ini di tlatah Tegal, yang konon masih berupa lapangan luas (tegalan).Tujuan misi ini sangat mulia yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengembangkan agama Islam.Masing-masing anggauta rombongan,sesuai dengan keahliannya, dititipkan pada keluarga-keluarga sepanjang Kaligung, dan berakhir di Kalisoka (Kec.Dukuhwaru sekarang).Mereka kemudian menularkan keahliannya dibidang pertanian,pengairan,pertukangan,penenun kain,pandai besi,kemasan,dan guru-guru pengajar agama Islam.Bahkan Ki Gede Sebayu berhasil membangun sebuah masjid dan bendungan irigasi,yang sangat bermanfaat bagi para petani.Atas keberhasilan misi tersebut,maka pada pada hari Rabu Kliwon 12 Robiul Awal 1010 H, atau 18 Mei 1601 M oleh Panembahan Senopati raja Mataram beliau dianugrahi gelar Juru Demung (Demang). Titi mangsa itulah yang kemudian dipakai untuk menandai Hari Jadi Kabupaten Tegal.Kisah yang sama juga digunakan oleh Pemerintah Kota Tegal untuk menandai Hari Jadinya ,namun jatuh pada tanggal 12 April 1580, atau 21 tahun lebih tua.
Narasi tokoh Ki Gede Sebayu dalam pengembaraan panjang dan melelahkan memang terasa datar dan sepi. Kita bisa membayangkan,bagaimana iring-iringan puluhan orang yang terdiri dari para prajurit,petani,tukang kayu,tukang besi,ulama,termasuk wanita dan ibu-ibu,berjalan melintasi lembah dan pegunungan,menyeberang sungai dan menyusuri pantai. selama berhari-hari.Dari kacamata literasi,ini adalah sebuah epos yang sangat spektakuler. Namun misi suci Ki Gede Sebayu yang sangat luar biasa tersebut seolah hanya peristiwa biasa.Padahal peristiwa tersebut dari aspek politik dan sosial budaya memiliki nilai yang sangat besar, yakni:
1.      Menguatnya legitimasi kekuasaan Mataram di wilayah barat, terbukti kemudian dengan diangkatnya keturunan Ki Gede Sebayu menjadi Adipati di Tegal dan Brebes.
Baris 82 ⟶ 73:
 
Demikian sabda Ki Gedhe Sebayu ketika mengumumkan sayembara kepada seluruh kesatriya tanah Jawa. Artinya, siapa saja kesatriya Jawa yang bisa menebang pohon jati sehingga roboh, akan diterima menjadi jodoh putrinda, Raden Ayu Siti Giyanti Subalaksana. Disamping itu, wit jati atau pohon jati tersebut nantinya akan menjadi sakaguru bagi Masjid Agung Kalisoka. Namun dalam sayembara itu tak seorangpun mampu menebang wit jati tersebut hingga roboh. Sudah dua puluh empat kesatriya gagal melaksanakan sayembara Ki Gedhe Sebayu.
Pada saat semua orang hampir putus asa, datanglah seorang pemuda. Ia bernama Ki Jadhug yang mengaku dari dukuh Sigeblag, desa Slarang Kidul,  kecamatan Lebaksiu. Konon Ki Jadhug adalah Jaka Umbaran atau Panembahan Purubaya ketika muda. Putra sulung Panembahan Senapati ing Alaga Mataram ini sedang melaksanakan kewajiban kesatriya Jawa untuk lelana. Yakni berkelana demi menajamkan hati dan pikiran. Ki Jadhug mengikuti sayembara akbar tersebut. Dengan susah payah, beliaudia berhasil juga melaksanakan amanat Ki Gedhe. BeliauDia mencerabut wit jati tersebut hingga akar-akarnya ke permukaan tanah. Dan ketika sang wit jati tercerabut, semua khalayak menyaksikan angin kencang yang membantu Ki Jadhug. Akhirnya, pekik tahmid dan takbir dari Ki Gedhe Sebayu mengiringi robohnya sang wit jati.
Demikian babad, serat, dan legenda masyarakat Jawa mencatat peristiwa agung itu. Namun kita harus mencermati secara seksama peristiwa tersebut agar mencapai kedalaman makna. Bahkan makna yang dimaksud oleh para leluhur itu sendiri. Untuk mencapai makna itu, para leluhur memberikan beberapa catatatan sebagaimana yang termaktub dalam kitab Betal Jemur Atassadhur Adammakna. Teks itu berbunyi demikian di bawah ini.
Pertama, tiyang ngudi kawruh punika kedah telatos panyuraosipun, murih mangertos ing lair batos. Sebab yen boten mekaten, kawruh ingkang sejatosipun langkung miraos tumrap raosing manah, boten siwah kadidene raosing madu pinasthika, temah lajeng malik garembyang dados raos pait asengak kadidene tuwak sajeng ingkang angendemi. Ing wusana lajeng andadosaken wisaning jiwa raga. Artinya, orang yang sedang menyelami pengetahuan hidup harus telaten perasaannya, agar mampu mengerti maknanya secara lahir dan bathin. Sebab jika tidak demikian (telaten), pengetahuan hidup yang seharusnya lebih bermakna dalam pengertian rasa dan hati nurani, tidak tergelincir maknanya bagaikan rasa madu yang paling unggul, malah (rasa) yang dijumpai menjadi terbalik pahit-sengak seperti tuak yang memabukkan. Akhirnya rasa pengetahuan yang diperoleh terbalik itu malah menjadi racun pemahaman bagi jiwa dan raga.
Baris 90 ⟶ 81:
Keempat, kaping kalihipun, perlu kangge dhadhasaring pamarsudi tumrap para siswa. Supados sami anandangaken kalimpadan alusing pambudi. Artinya, penting sebagai landasan bagi pendidikan. Supaya siswa selalu melatih kecerdasan yang tumbuh dari halusnya budi pekerti. Dalam membaca sayembara wit jati, kita harus memperoleh kedalaman-kedalaman yang membawa kita kepada kehalusan rasa dan budi pekerti. Kehalusan dan ketajaman rasa dan kemuliaan akhlak budi pekerti inilah yang menjadi dasar bagi kecerdasan hati nurani, atau kalimpadan alusing pambudi. Jadi membaca simbol-simbol ataupun metafor-metafor dalam khasanah Jawa bukan dengan analitik rasional dari nalar dan pikiran kognitif belaka. Nalar demikian ini akan membawa kita kepada makna “akal-akalan” atau uthak-athik waton gathuk. Dalam khasanah Jawa, makna, atau jarwa, harus disandarkan pada kehalusan budi pekerti, kemuliaan ruhani, serta keluhuran langit atau keluhuran Ilahi atau yang dipahami sebagai dhosok. Inilah salah satu operasi dasar bagi penggalian-penggalian makna yang disebut sebagai jarwadhosok.
Dengan uraian di atas, maka kita telah memperoleh sedikit gambaran mengenai metode penggalian makna-makna dalam upaya memperoleh pengertian mulia dan luhur dari teks budaya. Demikian pula halnya dengan kisah sayembara pohon jati Ki Gedhe Sebayu. Demi memperoleh kedalaman makna keluhuran dan kemuliaan, ia harus kita perlakukan sebagai sebuah teks budaya. Yakni teks sanepan atau metafor yang berisi wejangan dari para leluhur tanah Jawa.
Pertama, kata sayembara adalah garba atau leburan dari dua kata: sae + umbara. Sae= baik= mulia= luhur. Sedangkan kata umbara itu sendiri sudah menunjuk kepada nama Jaka Umbaran atau Ki Jadhug atau Panembahan Purbaya ketika muda. Jadi kata ini menunjuk kepada keutamaan atau keluhuran atau kebaikan atau karomah dari Ki Jadhug. Dengan demikian keajaiban Ki Jadhug dalam kisah ini bukan berasal dari kesaktian jasadiyahnya. Melainkan berasal dari karomah yang berasal dari kemurahan dan kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa. Fenomena ini merupakan perwujudan langsung dari kedekatan Ki Jadhug kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, kejadhugan beliaudia bukan sebagaimana dimaknai saat ini. Yakni semata-mata ilmu yang melandaskan diri pada olah kanuragan dan kamandragunan.
Kedua, dalam kisah tersebut, Ki Jadhug adalah kesatriya pungkasan atau terakhir dari dua puluh lima atau selawe kesatriya tanah Jawa. Hal ini menunjuk kepada penguasaan beliaudia terhadap ilmu pamungkas. Yakni menunjuk kepada pepatah Jawa, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti. Artinya, sehebat-hebatnya ilmu kesaktian yang mandraguna sekalipun, lebur atau runtuh dengan sebuah doa yang tulus ikhlas ke hadirat Tuhan. Tak satupun kehebatan makhluk mampu melawan keagungan perkenan Ilahi demikian ini.
Disamping itu, posisi pamungkas Ki Jadhug menunjuk kepada keutamaan beliaudia sebagai ngulama di jaman itu. Hal ini bisa dibandingkan dengan Kangjeng Sunan Kalijaga sebagai pamungkasing para waliyullah di jaman beliaudia. Atau posisi Kangjeng Nabi Muhammad SAW di antara para Nabi dan Rasul. Pamungkas dalam pengertian ini tidak mengacu kepada pengertian “sebagai penutup” atau ”sebagai yang terakhir”, melainkan sebagai yang paling utama.
Ketiga, nama selawe dalam kisah tersebut menunjuk kepada jumlah kesatriya tanah Jawi. Namun dalam penelusuran makna, kata selawe ini berkaitan dengan nama kampung palaweyan di Majapahit, kampung laweyan di kesultanan Pajang (kemudian menjadi Surakarta Hadiningrat), dan kampung kebolawen di kesultanan Mataram Kotagedhe. Bahkan toponimi yang terkait dengan kata laweyan ini terdapat hampir di seluruh Nuswantara. Kata palaweyan adalah berasal dari kata pa + alawiy + an. Di mana kata alawiy (lisan Jawa menjadi lawe) menunjuk kepada kaum alawiyyin, yakni trah keturunan Kangjeng Nabi Muhammad SAW (571-632M) dari Baginda Ngali atau Sayyidina Ngali (600-661M). Maka toponimi selawi sebagai makna dari metafor selawe (dua puluh lima) berkaitan dengan trah tokoh-tokoh terkait dalam kisah ini. Yakni Ki Gedhe Sebayu dan kerabatnya, serta Ki Jadhug dan kesatriya-kesatriya tanah Jawa lainnya.
Keempat, dalam kisah tersebut, Ki Jadhug berhasil mencerabut wit jati hingga ke ara-akarnya, dengan sarana angin kencang. Angin adalah bayu. Kata bayu ini berkaitan bahkan dengan nama Ki Gedhe Se-bayu sendiri. Dalam khasanah Jawa, kata bayu juga menunjuk kepada Bathara Bayu dalam sistem simbol pewayangan di Nuswantara. Sifat Bathara Bayu disebutkan sebagai: angintip pakaryaning rat, budining rat den awruhi. Tanpa wangen, tanpa tengran, nggonira mrih met budining sabumi… sasolahe wadya keksi… ing tyasa datan kena molah, sasolahe kabeh wus den kawruhi. Artinya, Bathara Bayu selalu berada di segala tempat tanpamembedakan tinggi-rendah, daerah-kota, atau pedesaan, tanpa membedakan daerajat dan martabat, sehingga secara langsung dapat mengetahui keadaan dan keinginan rakyat. Inilah sifat Ki Gedhe Sebayu, dan juga inilah sifat Ki Jadhug. Ki Jadhug dapat mencerabut wit jati hingga ke akarnya. Inilah ke-jumbuh-an antara keduanya. Manunggalnya antara se-bayu dengan angin kencang. Artinya, Ki Gedhe Sebayu memperoleh menantu dengan pemahaman yang sama dalam hal kepemimpinan sebagai pemomong rakyat jelata.
Bayu, juga berarti yang paling utama, atau yang terbaik akhlak budi pekertinya. Misalnya dalam khasanah Jawa dikenal banyak pemeo atau unen-unen mengenai hal ini. Bayuning kethek iku Anoman. Artinya, sebaik-baik kera adalah Anoman. Bayuning warih iku prawitasari. Artinya, sebaik-baik air adalah tirta prawitasari. Bayuning ula iku panolah. Artinya, sebaik-baik bangsa ular adalah Kyahi Panolah. Bayuning atau bebayuning angga iku Siti Aminah. Artinya, sebaik-baik kepribadian adalah ibunda Kangjeng Nabi SAW, yakni Siti Aminah, dan seterusnya. Maka bayuning Adipati Tegalarum iku Se-bayu. Artinya, sebaik-baik adipati Tegalarum adalah Ki Gedhe Sebayu. Bayuning sayembara iku Ki Jadhug. Artinya, sebaik-baik pemuda pengelana adalah Ki Jadhug. Karena beliaudia berdua telah mencapai pemahaman mengenai bocah angon yakni pemimpin sebagai pamomong rakyat jelata. Pemimpin yang bisa menjadi ibu bagi bhumi atau ummi bagi ummat. Pemimpin yang meneladani pungkasaning waliyullah atau Kangjeng Sunan Kalijaga, dan yang meneladani pungkasaning nabi-rusul, atau Kangjeng Nabi SAW.
Lebih jauh lagi, sifat Bathara Bayu bisa dikenali juga dari murid-muridnya, yakni Anoman dan Wrekudara. Seperti Bayu, mereka mengenakan kain poleng bang bintulu aji, berkuku pancanaka, dan bergelung sukra mangkara. Kain poleng bang bintulu aji adalah kain bercorak hitam-putih seperti papan catur. Poleng= corak. Bang= papan, tempat, di mana saja. Bintulu= biru= birru= bir= berbakti. Aji= utama, terbaik. Artinya adalah tokoh yang di mana pun dia berada corak hidupnya selalu menjadi sebaik-baik orang yang berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kuku pancanaka. Panca= lima, kenaka= kuku= kukuh, eka= tunggal. Artinya, orang yang kokoh memegang lima unsur rukun Islam: syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Gelung sukra mangkara. Sukra= roja’= berpengharapan hanya kepada Tuhan. Mangkara= nafsu keinginan untuk mulia. Artinya, murid-murid Bayu sangat berpengharapan kepada karunia Tuhan. Hanya Tuhan Yang Maha Esa tempat mereka menggantungkan harapan dan seluruh hidupnya. Inilah sikap bathin Ki Jadhug (dan Ki Gedhe Sebayu), sehingga akhirnya mendapatkan karomah dari Allah SWT.
Baris 104 ⟶ 95:
·         Komunitas Budaya Banyu Bening Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat, 5 Maret 2012. Didedikasikan Untuk Menyambut Hari Jadi Kabupaten Tegal
·         Soetjiptoni, Ki Gede Sebayu Pendiri Pemerintahan Tegal tahun 1585-1625 : Penerbit Citra Bahari Animal Tegal Tahun 2007)
 
{{indo-bio-stub}}
[[Kategori:Tokoh Jawa]]