Peramalan komunikasi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
penambahan pranala dan penggantian judul subbab |
penyuntingan konten dan perbaikan tulisan bercetak miring |
||
Baris 1:
{{dalam perbaikan}}
'''Peramalan''' '''komunikasi''' merupakan sebuah proses memprediksi masa depan di bidang komunikasi berdasarkan data-data yang didapatkan di masa sekarang, serta menggabungkannya dengan analisa tren yang sedang terjadi. Definisi peramalan sendiri dekat dengan kata prediksi, hanya berbeda pada pengaplikasian bahasanya. Secara umum, peramalan dilakukan dengan memperhatikan data dan metode, seperti Metode Delphi, Analisis Skenario, Metode Kualitatif vs. Kuantitatif, Metode Prasangka, dan lain-lain. Pada intinya, peramalan atau prediksi menjelaskan tentang resiko and ketidakpastian. Diperlukan pengaplikasian metode yang baik untuk mengindikasikan level ketidakpastian ini di dalam sebuah peramalan komunikasi. Data yang didapatkan harus data yang terbaru agar menghasilkan ramalan yang seakurat mungkin.<ref>Armstrong, S., Green, K. C., & Graefe, A. (2010). Answers to Frequently-Asked Questions (FAQ). Forecasting Principles. http://www.forecastingprinciples.com/index.php/faq diakses pada 17 September 2015</ref>
Seperti yang disebutkan di atas, ada beberapa metode peramalan komunikasi yang sering digunakan. Dua diantaranya adalah Metode Delphi dan Analisis Skenario
== Metode delphi ==
Baris 9:
Sedikit melihat sejarah, metode Delphi ini awalnya dikembangkan di masa [[Perang Dingin]] oleh Amerika Serikat, yang bermaksud meramalkan pengaruh teknologi dalam peperangan.<ref>Cornish, Edward. (2007). How The Futurist was Born. Bethesda, MD: World Future Society.</ref> Metode Delphi dilakukan atas saran Jenderal Henry H. Arnold yang hasilnya untuk dilaporkan pada U.S. Army Air Corps, agar diciptakan sebuah teknologi di masa depan yang bisa diadopsi militer. Para responden waktu itu diminta pendapatnya atas landasan probabilitas, frekuensi, dan kemungkinan intensitas serangan musuh. Responden lain memberikan pendapat, hingga tercapailah konsensus.
Metode Delphi memiliki jenis dan karakteristiknya tersendiri, sesuai perkembangannya. Metode yang paling umum dilakukan adalah menggunakan kertas dan pensil, yang sering disebut sebagai ‘Delphi Exercise’. Dalam metode ini, terdapat tim monitor yang mendesain beberapa pertanyaan yang dirangkum dalam sebuah kuisioner untuk diisi oleh sebuah grup responden yang besar. Setelah itu, berdasarkan hasil kuisioner pertama, tim akan membuat kuisioner kedua. Setiap grup responden diberikan setidaknya satu kesempatan untuk mengevaluasi kembali jawaban awal mereka berdasarkan penilaian dari grup. Sistem yang seperti ini disebut ''Conventional Delphi'', yaitu menggunakan dua prosedur di waktu yang bersamaan, polling dan conference.<ref>Linston, Harold A. & Turoff, Murray. (1975). The Delphi Method: Techniques and Applications. Reading, Mass: Addison-Wesley.</ref> Format metode Delphi yang lebih baru disebut ''Delphi Conference''. Konferensi ini melibatkan komputer yang sudah mampu mengompilasi hasil grup responden tersebut. Metode ini dianggap lebih efisien karena dapat mengurangi waktu yang dihabiskan oleh tim monitor untuk mengevaluasi setiap ronde dari Delphi, serta merangkum proses Delphi menjadi komunikasi
== Analisis skenario ==
Baris 19:
Metode Delphi dan analisis skenario di atas secara umum merupakan beberapa langkah yang dilakukan sejumlah orang dari masing-masing bidang yang terkait, untuk memprediksikan perkembangan teknologi di masa depan, di berbagai bidang. Mulai dari bidang kesehatan, [[Politik Indonesia|politik]], ekonomi, hingga teknologi komunikasi. Berikut ini adalah dua contoh majalah (analog maupun digital) yang membicarakan hasil prediksi mereka di masa depan.
World Future Society merupakan organisasi terbesar yang beranggotakan orang-orang yang peduli dengan masa depan. Mereka menyebut dirinya The Society, yaitu organisasi edukasional dan sains non-profit yang berkantor di Maryland, Amerika Serikat, dan dibentuk pada tahun 1966. Secara umum mereka menginvestigasi bagaimana perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi dapat mempengaruhi masa depan. The Society memiliki majalah mereka sendiri, yang disebut The Futurist. The Futurist merupakan hasil pertemuan dan dialog antaranggota, guna memberikan pandangan bagi masyarakat serta membantu mengembangkan posibilitas ditemukannya solusi di masa depan. Seorang Futurist, Edward Cornish, dalam artikelnya berpendapat bahwa setelah memahami esensi masa depan dan kemampuan manusia untuk memprediksi, Ia berubah pikiran dari skeptikal menjadi sangat tertarik. Ia mengatakan bahwa dengan melihat kemungkinan yang terjadi di masa depan, kita dapat membuat keputusan yang bijak. Bahwa tinjauan ke masa depan adalah kunci kesuksesan. Salah satu prediksi terbaru World Future Society yang sedang menjadi isu hangat adalah mampunya setiap individu melakukan ''e-commerce'' melalui salah satu aplikasi sosial, Twitter, dengan bantuan Stripe, akun online yang memudahkan kita melakukan transaksi jual-beli virtual.
Sedangkan Wired, serupa dengan majalah World Future Society, merupakan majalah analog dan digital miik Amerika Serikat yang bertugas melaporkan hasil perpaduan teknologi yang mempengaruhi budaya, ekonomi, dan politik. Berkantor di San Francisco, California, publikasi pertama Wired dilakukan pada Maret/April 1993. Saat ini Wired juga sudah mengekspansi Inggris, Italia, Jepang, dan Jerman. Pada majalah pertamanya di 1993, Wired mengedepankan isu tentang teknologi perang, posibilitas kondisi manusia jika ditanami chip komputer di bagian otaknya, serta melihat suatu saat akan ada
== Informasi dan inovasi teknologi komunikasi ==
Baris 29:
== Teori pembelajaran sosial / kognitif sosial ==
Teori pembelajaran sosial/kognitif sosial (''Social Learning Theory/Social Cognitive Theory'') merupakan salah satu teori yang dapat memetakan adopsi sebuah teknologi komunikasi yang berkembang di masyarakat, dengan melihat kebiasaan dari masyarakat tersebut dan media yang dikonsumsinya. Teori kognitif sosial berfokus pada bagaimana masyarakat belajar dengan cara menirukan orang lain.<ref>Bandura, A. (2001). Social Cognitive Tehory of Mass-Communication. Media Psychology, 3.</ref> Akar konseptual dari teori kognitif sosial berasal dari Edwin B. Holt dan Harold Chapman Brown, yang mengatakan bahwa semua tindakan hewan didasari pada pemenuhan kebutuhan psikologis, yaitu perasaan, emosi, dan keinginan. Komponen yang paling penting dari teori ini adalah bahwa seseorang tidak dapat belajar untuk meniru sampai mereka ditiru.<ref>Holt, E.B. & Brown, H.C. (1931). Animal Drive and The Learning Process: An Essay toward Radical Empiricism. New York: H. Holt and Co.</ref>
Sederhananya teori ini menjelaskan kebiasaan seseorang untuk menentukan pilihannya berdasarkan contoh atau model yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Dicontohkan seperti menonton televisi dan mengambil inti dari tontonan tersebut. Seseorang dapat menirukan sesuatu dari apa yang mereka lihat atau tonton dari televisi maupun komputer. Seperti dalam acara memasak, diumpamakan seseorang mampu memasak layaknya instruksi di televisi setelah Ia menonton acara tersebut.<ref>Grant, A. E. & Meadows, J. H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals. 12th Edition. Focal Press.</ref>
Kaitannya dalam konteks sosial, proses belajar itu pun serupa. Masyarakat mengadopsi sebuah teknologi komunikasi diawali dengan memperhatikan orang lain. Namun perilaku memperhatikan itu bisa juga membuat mereka tidak jadi mengadopsinya. Untuk itu, dalam teori kognitif sosial ini ada yang disebut sebagai ''reinforcement'' (penguatan) dan ''punishment'' (ganjaran). ''Reinforcement'' dan ''punishment'' menjadi faktor yang menjelaskan apakah sebuah kebiasaan dapat ditiru. Apabila ada asas yang kuat dari sebuah kebiasaan yang dipertontonkan, dengan alasan-alasan yang memperkuat kebiasaan tersebut, maka besar kemungkinan masyarakat akan menirukannya. Sedangkan ''punishment'', di sisi lain, justru menjadi poin oposisi dari ''reinforcement''. Apabila sebuah tindakan yang hendak ditiru ternyata membuktikan sesuatu hal yang tidak baik (tidak sesuai dengan yang dituju), maka besar juga kemungkinan masyarakat tidak jadi mengadopsi hal tersebut.<ref>Grant, A. E. & Meadows, J. H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals. 12th Edition. Focal Press.</ref>
Dengan begitu, teori ini berguna untuk menganalisa tidak hanya efek dari media komunikasi, namun juga adaptasi dari teknologi komunikasi. Konten media yang dikonsumsi melalui teknologi komunikasi mengandung proses adopsi kebiasaan simbolik, baik secara fungsional maupun disfungsional. Jika masyarakat menirukan kebiasaan yang ada di dalam konten media, maka sedang terjadi format pembelajaran observasional. Contohnya pada periklanan, ketika terdapat seorang aktris yang menggunakan produk kecantikan wajah tertentu, dan masyarakat melihatnya, maka masyarakat bisa jadi membeli produk yang sama. Hal ini menunjukkan penekanan yang positif terhadap produk tersebut dan cara menyampaikan pesannya melalui iklan. Namun secara kognitif, masyarakat juga akan bepikir lagi untuk menggunakan produk kecantikan tersebut, dengan mempertimbangkan konsekuensinya.<ref>Grant, A. E. & Meadows, J. H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals. 12th Edition. Focal Press.</ref>
Baris 40:
Sejak Alexander Graham Bell berhasil memecahkan misteri transmisi audio secara elektronik di tahun 1876, [[telepon]] telah menjadi bagian dari masyarakat yang diadopsi besar-besaran dalam waktu yang singkat.<ref>Grant, A. E. & Meadows, J. H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals. 12th Edition. Focal Press.</ref> Hal itu bisa dianalisa menggunakan teori kognitif sosial. Adopsi alat komunikasi telepon yang saat itu dinilai sangat canggih merupakan efek dari pertimbangan seseorang yang mengobservasi media tersebut, yang menunjukkan bahwa penggunaan telepon dapat membantu proses komunikasinya, sehingga Ia merasa butuh memiliki teknologi komunikasi yang sama. Adanya proses reinforcement yang positif disana, sehingga tercatat adopsi besar-besaran terjadi hanya berselang beberapa bulan sejak penemuan Bell. Inovasi terus terjadi hingga akhirnya hari ini kita mengenal generasi telepon pintar yang berbasis internet.
Pilihan masyarakat menggunakan telepon yang berkembang sesuai masanya, sejalan dengan analisa teori kognitif sosial. Masih mengambil contoh telepon, kemunculan telepon pintar diadaptasi dengan sangat baik oleh masyarakat Indonesia karena proses pembelajaran observasional, yaitu pemahaman atas konsekuensi dan menilai baik-buruknya pengadopsian sebuah teknologi komunikasi dilihat dari fungsi dan kontennya, berjalan lancar. ''Reinforcement'' yang diterapkan oleh para perusahaan telepon pintar, misalnya, melalui iklan-iklan yang tepat, membuat angka adopsi teknologi komunikasi melonjak tinggi. Namun di saat yang bersamaan, masyarakat juga memahami adanya konsekuensi, ''punishment'' (ganjaran), yang muncul selama mereka mengadopsi teknologi komunikasi tersebut. ''Punishment'' yang muncul bisa bermacam-macam, namun masyarakat tetap memilih menggunakannya.
Berada di zaman digital membuat masyarakat memiliki akses untuk mengeksplor apa pun yang ditawarkan telepon pintar, mulai dari aplikasi sosial hingga akses terhadap informasi yang berada di mesin pencarian. [[Aplikasi]]-aplikasi sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, Vine, YouTube, dan lain-lain memberikan masyarakat ruang untuk bersenang-senang dengan dirinya sendiri, menciptakan avatar dirinya di dunia maya, berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai belahan dunia, tanpa terinterupsi masalah waktu, tempat, dan biaya. Hal-hal inilah yang menjadi penunjang pilihan masyarakat mengadopsi teknologi komunikasi. Seperti data yang dilansir Kementerian Komunikasi dan Informatika, di tahun 2013 saja, Indonesia menempati peringkat 4 pengguna facebook terbesar setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India. Sedangkan untuk Twitter, Indonesia menempati peringkat ke 5 setelah Amerika Serikat, Brazil, Jepang, dan Inggris. Secara umum, untuk seluruh wilayah di Indonesia, ada sekitar 65 juta pengguna Facebook aktif dan 19,5 juta pengguna Twitter. Karakteristik pengguna aplikasi sosial di Indonesia adalah konsumen, dimana kebanyakan masyarakat adalah pengonsumsi aplikasi, namun tidak aktif berkontribusi dalam pembuatan blog atau video dalam YouTube.<ref>Kemenkominfo, 2013. Pengguna Internet di Indonesia 63 Juta Orang. http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker#.VflS2302jIU diakses pada 16 September 2015</ref>
== Komunikasi di indonesia ==
Teknologi komunikasi hari ini, terutama telepon, sudah jauh lebih berinovasi dibandingkan 2-3 abad lalu ketika Alexander Graham Bell menciptakan telepon. Infrastruktur [[internet]] yang bergabung dengan
Berbicara tentang internet, Grant & Meadows menyebutkan dalam kesimpulan bukunya, bahwa salah satu yang akan tetap langgeng di dunia ini dari segi teknologi komunikasi adalah ''mobile internet access''. Karena akses internet merupakan salah satu kunci utama – selain tentunya kebutuhan akan alat komunikasi itu sendiri – yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, bahkan sampai kepada penegakan hukum, pendidikan, periklanan, dan kesehatan. Terutama di bidang pendidikan, seperti yang diprediksikan Wired pada tahun 1993 lalu akan kemunculan perpustakaan tanpa dinding untuk buku-buku tanpa lembar, yang sudah terjadi hari ini. Semua akademisi hari ini akan selalu punya jawaban atas semua pertanyaan, secara langsung atau real-time, dari mana saja, dengan terbuka luasnya akses teknologi komunikasi.<ref>Grant, A. E. & Meadows, J. H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals. 12th Edition. Focal Press.</ref>
Menyadari akan terus berkembangnya teknologi komunikasi di masyarakat, kita tidak akan bisa berhenti memetakan akan sampai ke mana inovasi ini dilakukan. Setiap masa memiliki kebutuhannya sendiri. Namun pada intinya, proses komunikasi itu akan tetap sama. Setiap komunikasi akan berangkat dari ketersediaan data yang diolah menjadi informasi, informasi dikomunikasikan untuk menjadi pengetahuan, pengetahuan dipahami masyarakat sehingga menjadi kecerdasan, sehingga suatu saat nanti diharapkan kecerdasan akan membawa masyarakat pada level ''wisdom'' (kebijaksanaan). Dengan cara apa masyarakat berkomunikasi, tentunya tidak lepas dari peran teknologi komunikasi yang terus berkembang. Seperti yang dianalisa Kemenkominfo, bahwa Indonesia merupakan konsumen dalam adopsi teknologi komunikasi dan hal-hal yang terkait di dalamnya. Maka dari itu, proses prediksi baik dari metode Delphi, analisis skenario, atau bentuk-bentuk metode prediksi lainnya akan terus berlanjut. Prediksi yang dibuat 20 tahun lalu telah terbukti hari ini, dan prediksi yang dibuat hari ini akan dapat dibuktikan di kemudian hari, dan tidak akan berhenti. Serta akan selalu ada sekelompok ''critical mass''<ref>Grant, A. E. & Meadows, J. H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals. 12th Edition. Focal Press.</ref> orang-orang yang mampu mengambil resiko mencoba teknologi-teknologi keluaran terbaru, untuk menilai kesiapan teknologi itu sendiri untuk bersentuhan dengan masyarakat. ==Referensi==
|