Hasan Mustapa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
k Merapikan.
Baris 114:
| doi =
| accessdate =29 September 2015}}</ref>]]
Ayahnya, [[Mas Sastramanggala]], setelah naik haji disebut [[Haji Usman]], camatmerupakan Camat perkebunan. Meskipun Haji Usman sendiri waktu kecil bersekolah, tetapi Hasan Mustapa tidak disekolahkannya, melainkan disuruh belajar langsung di berbagai pesantren. Pada umur 7 tahun, ia dibawa ayahnya naik haji ke [[Mekkah]], dan sekembalinya disuruh kembali belajar di beberapa pesantren. Pada usia kira-kira 17 tahun dikirim ke [[Mekkah]] untuk memperdalam ilmu agama dan bermukim di sana sekitar 10 tahun. Setelah kembali ia pun masih disuruhdituntut belajar lagi kepada beberapa kiai.
 
Guru-gurunya di tanah air, antara lain [[Kiai Haji Hasan Basri]] ([[Kiara Koneng]], [[Garut]]), [[Kiai Haji Yahya]] (Garut), [[Kiai Abdul Hasan]] ([[Tanjungsari, Sumedang|Tanjungsari]], [[Sumedang]]), [[Kiai Muhamad]] ([[Cibunut]], [[Garut]]), [[Muhamad Ijra'i]] (murid [[Kiai Abdulkadir]], [[Dasarema]], [[Surabaya]]) dan [[Kiai Khalil]] ([[Bangkalan]], [[Madura]]). Setelah menikah dan beranak satu, sekitar [[1880]], ia berangkat lagi dengan anak istrinya ke Mekkah untuk belajar lebih jauh. Guru-gurunya di Mekah antara lain [[Syekh Muhamad]], [[Syekh Abdulhamid Dagastani]] atau Sarawani, [[Syekh Ali Rahbani]], [[Syekh Umar Syami]], [[Syekh Mustafa al-Afifi]], [[Sayid Abubakar al-Sathahasbulah]], [[Syekh Nawawi Al-Bantani]], [[Abdullah Al-Zawawi]], dan lain lain. Pada waktu itu, Hasan Mustapa sendiri sudah mengajar di [[Masjidil Haram]].
 
Menurut Dr. [[Christiaan Snouck Hurgronje]] yang berkenalan dengannya di Mekkah, Hasan Mustapa diikuti oleh beberapa lusin murid setiap kali ia mengajar. Menurut [[Abubakar Djajadiningrat]] yang memberikan bahan-bahan sumber kepada Snouck Hurgronje, dalam naskah yang bertitimangsa (bertanggal) [[17 Desember]] [[1887]], Hasan Mustapa mempunyai murid di Masjidil Haram lebih kurang 30 orang, berilmu luas dan telah menerbitkan buku dalam [[bahasa Arab]]. Pada sekitar [[1885]] di [[Kabupaten Garut|Garut]] timbul pertikaian paham antara golongan tua dengan kaum muda pembaharu yang cukup ramai, sehingga Penghulu Besar Haji [[Muhamad Musa]] mengirimkan orang untuk menjemput Haji Hasan Mustapa memenuhi panggilan itu, ia berhasil memadamkan pertikaian paham itu, lalu mendirikan pesantren di [[Sindangbarang]], Garut.
 
Tahun [[1889]] ia diajak oleh Dr. Snouck Hurgronje yang ketika itu berada di Jawa (karena tidak diizinkan oleh pemerintah menyelundup ke [[Aceh]]), untuk berkeliling di Jawa menemui para kiai terkenal sambil menyelidiki kehidupan [[agama]] [[Islam]] dan [[folklor]]. Catatan Dr. Snouck Hurgronje tentang perjalanannya selama kira-kira dua tahun itu, yang tebalnya 1337 halaman, diikhtisarkan oleh Dr. Ph. [[van Ronkel]] kemudian dalam "''Aanteekeningen over Islam en folklore in west-en Midden Java''" (Bijdragen KITLV No.101, 1942).
 
Hasan Mustapa dianggap sebagai orang yang benar-benar ahli tentang adat-istiadat [[Sunda]], sehingga kemudian ia diminta menulis buku tentang hal itu (yang menghasilkan ''Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta'' [(Bab adat-adat orang proangan dan Sunda selain dari itu]), [[Batavia]], [[1913]]). Tahun [[1893]], ada lowongan jabatan [[penghulu besar]] di Aceh, Dr. SnouckHurgronje membujuk Hasan Mustapa agar bersedia mengisi lowongan itu. Hasan Mustapa menerimanya dengan berbagai syarat di antaranyadiantaranya agar ia dipindahkan langsung ke [[Priangan]] segera setelah ada lowongan. Selama lebih kurang dua setengah tahun menjadi Penghulu Besar Aceh, Hasan Mustapa memberikan laporan-laporan itu, sekarang tersimpan di perpustakaan Universitas Kerajaan di [[Leiden]], [[Belanda]]. Belum diselidiki seberapa jauh laporan itu dimanfaatkan oleh SnouckHurgronje dalam penulisan bukunya tentang Aceh (''De Atjehers,'' dua jilid, Jakarta, 1892-1894).
 
Selain itu Hasan Mustapa menulis naskah dalam bahasa melayu ''Kasful Sarair Fihakikati Aceh wa Fidir'' (Buku Rahasia sebetulnya Aceh dan Fidi) yang sampai sekarang naskahnya tersimpan di perpustakaan [[Universitas Leiden]]. Tahun [[1895]], Hasan Mustapa dipindahkan dan diangkat menjadi Penghulu Besar Bandung sampai pensiun ([[1918]]). Selama menjadi penghulu besar di Bandung sampai setelah pensiun ia banyak menulis karangan dalam bahasa Sunda dan juga dalam bahasa Jawa, baik berupa prosa maupun puisi. Tapi kecuali bukunya tentang adat Sunda dan kemudian beberapa buku kecil yang disunting oleh [[Wangsaatmadja]] (yang antara [[1923]]-[[1930]] menjadi sekretarisnya), kebanyakan karyanya tidak pernah diterbitkan sebagai buku. Saluran yang dipakainya untuk menyebarkannya adalah saluran naskah Islam tradisional, yaitu dengan melalui saling salin. Sekretarisnya di Kantor Kepenghuluan Wangsadireja membuat salinan karangan-karangannya itu untuk dikirimkan kepada Dr. Snouck Hurgronje di Leiden dan sampai sekarang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden.
 
Sekitar tahun [[1900]] ia menulis lebih dari 10.000 bait ''[[Dangding]]'' yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda, umumnya membahas masalah ''[[Suluk]]'', terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Metafora yang sering yang sering digunakannya untuk menggambarkan hubungan itu ialah seperti rebung dengan bambu, seperti pohon aren dengan ''caruluk'' (bahan aren), yang menyebabkan sebagian ulama menuduhnya pengikut mazhab [[Wihdatul Wujud|''Wihdatul Wujud'']]. Terhadap tuduhan itu, ia sempat membuat bantahan ''Injazu'l-Wa'd,fi ithfa-I- r-Ra'd'' (membalas kontan sekalian membekap guntur menyambar) dalam bahasa Arab yang salah satu salinan naskahnya masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.
 
== Pranala luar ==