Perkembangan surat kabar: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rambu Eren (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
Rambu Eren (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
'''Perkembangan surat kabar''' menjelaskan mengenai awal kehadiran surat kabar sebagai media informasi dalam pemanfaatan [[teknologi komunikasi]] dari yang bersifat [[analog]] hingga [[digital]]. Surat kabar pada awal kehadirannya dapat diidentifikasi ke dalam beberapa karakteristik yaitu terdiri dari beberapa halaman, terbatasnya ketersediaan mesin cetak dan keberadaan kantor pos, berita yang dipublikasikan tidak dapat dilakukan setiap saat, serta ide mengenai kebebasan pers tidak disetujui oleh pemerintah <ref>
==Sejarah==
Baris 7:
Pada masa awal, khususnya di Amerika dan Eropa, surat kabar cetak hadir dan berkembang dengan semangat untuk melepaskan diri dari bentuk [[intervensi]] oleh penguasa atau pemilik otoritas pemerintahan yang mewajibkan agar adanya sensor atas setiap informasi yang dipublikasikan di surat kabar sehingga informasi yang terkandung didalamnya tidak bersifat merugikan pihak pemerintah itu sendiri.
Pada tahun 1960, [[Benjamin Harris]] mengawali penerbitan surat kabar Amerika yang pertama dengan nama ''[[Publick Occurrences Both Forreign and Domestick]]'', yang salah satu kontennya mengangkat tentang dugaan perselingkuhan antara Raja Perancis dengan menantunya <ref
Peristiwa yang kemudian menjadi titik awal kebebasan menyampaikan informasi melalui surat kabar, yakni persitiwa pemberitaan yang mengkritik pemerintahan Inggris di New York. Kritikan ini disampaikan oleh [[John Peter Zenger]] melalui sebuah paper. Walaupun Zenger sempat dipenjara atas tuduhan melakukan fitnah melalui kasus ini, tetapi berkat sang pengacara bernama Andrew Hamilton, Zenger akhirnya memenangkan kasus ini dengan pembelaan bahwa pernyataan yang benar bukanlah fitnah.
Baris 16:
Di Indonesia sendiri, sejarah perkembangan surat kabar terkait dengan pengaruh dari pemerintah kolonialis yakni pemerintah Belanda. Surjomihardjo membagi perkembangan pers di Indonesia ke dalam dua babak<ref name="Perkembangan Pers">Surjomihardjo, A: "Perkembangan Pers", halaman 30. Penerbit Buku Kompas, 2002</ref>. Pada babak pertama (babak "putih"), semua surat kabar sepenuhnya dimiliki oleh orang-orang Eropa, dan baik isi maupun bahasa yang digunakan adalah bahasa Belanda dan untuk kepentingan Belanda, sehingga tidak ada kaitannya dengan orang pribumi. Babak pertama ini berlangsung selama 90 tahun yakni mulai dari tahun 1744 hingga tahun 1854.
Babak kedua dari perkembangan surat kabar di Indonesia berlangsung sekitar tahun 1854 sampai pada masa [[Kebangkitan Nasional Indonesia|Kebangkitan Nasional]]. Pada babak ini, awalnya masih terdapat surat kabar berbahasa Belanda yang menduduki posisi penting pada pers di Indonesia, tetapi di sisi lain telah terbit juga surat kabat yang berbahasa Melayu. Surat kabar berbahasa Melayu ini kemudian terus berkembang sampai pada masa Kebangkitan Nasional, di mana pekerja pers, redaktur adalah orang-orang peranakan Tionghoa dan masyarakat pribumi. Bahasa yang dipakai dalam surat kabar pun adalah bahasa Indonesia <ref>Surjomihardjo, A. , Adil Hilman. , dkk (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia.Penerbit Buku Kompas</ref>
Mesin cetak yang pertama kali dibawa ke Jawa pada tahun 1659, menjadi titik awal kehadiran surat kabar. Surat kabar yang pertama kali dicetak pada tahun 1774, di mana [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda|Gubernur Jenderal]] [[Gustaaf Willem baron van Imhoff|Van Imholf]] memulai untuk membentuk sebuah media massa resmi dengan diterbitkannya ''[[Bataviasche Nouvelle]]''. Tetapi koran ini hanya dapat bertahan selama 2 tahun<ref name="Perkembangan Pers">Surjomihardjo, A, Hilman Adil, Atmakusumah, AB. Lapian, Leo Suryadinata, P. Awantoro: "Perkembangan Pers", halaman 30. Penerbit Buku Kompas, 2002</ref>. Pada tahun 1920-an hadir juga surat kabar milik pribumi yang bernama ''Bromartani'' yang terbit di Surakarta<ref name="Budaya Visual Indonesia">Sachari, A: "Budaya Visual Indonesia". Penerbit Erlangga, 2007</ref>
|