Pramoedya Ananta Toer: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k French spelling (Republique → République) |
Rachmat-bot (bicara | kontrib) k Robot: Perubahan kosmetika |
||
Baris 72:
=== Kontroversi ===
[[Berkas:Pram doktor.jpg|thumb|left|280px|Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan ''Doctor of Humane Letters'' dari Universitas Michigan tahun 1999]]
Ketika Pramoedya mendapatkan [[Ramon Magsaysay Award]], [[1995]], diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo [[Lembaga Kebudajaan Rakjat|Lekra]] paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa [[Indonesia: Era Demokrasi Terpimpin|demokrasi terpimpin]], tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, [[Taufik Ismail]] sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, [[Mochtar Lubis]] malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya pada tahun [[1958]], jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, [[HB Jassin]] pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman [[Demokrasi Terpimpin]]. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak [[Orde Baru]] berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Baris 101:
Pada [[27 April]] [[2006]], Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke [[Rumah Sakit Saint Carolus|RS Saint Carolus]] hari itu juga. Pram didiagnosis menderita [[radang paru-paru]], penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi [[ginjal]], [[jantung]], dan [[diabetes]].
Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu [[29 April]], sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan [[Eka Budianta]] menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa [[Soeharto]] masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi [[haver]]mut dan meminta [[rokok]]. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.
Pada [[30 April]] [[2006]] pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain [[Sitor Situmorang]], [[Erry Riyana Hardjapamekas]], [[Nurul Arifin]] dan suami, [[Usman Hamid]], [[Putu Wijaya]], [[Goenawan Mohamad]], [[Salahuddin Wahid|Gus Solah]], [[Ratna Sarumpaet]], [[Budiman Sudjatmiko]], serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga [[Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia|Menteri Kebudayaan dan Pariwisata]] [[Jero Wacik]]. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari [[KontraS]], Wapres [[Jusuf Kalla]], artis [[Happy Salma]], pengurus [[DPD]] [[PDI Perjuangan]], [[Dewan Kesenian Jakarta]], dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di [[Pulau Buru]] juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke [[TPU Karet Bivak]]. Terdengar lagu [[Internationale]] dan [[Darah Juang]] dinyanyikan di antara pelayat.
Baris 124:
* ''[[Percikan Revolusi]]'' (1951), kumpulan cerpen
* ''[[Mereka yang Dilumpuhkan]]'' (I & II) (1951)
* ''[[Bukan Pasar Malam]]'' (1951)
* ''[[Di Tepi Kali Bekasi]]'' (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada [[22 Juli]] [[1947]]
* ''[[Dia yang Menyerah]]'' (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
Baris 131:
* ''[[Midah Si Manis Bergigi Emas]]'' ([[1954]])
* ''[[Korupsi (novel)|Korupsi]]'' (1954)
* ''[[Mari Mengarang]]'' ([[1954]]), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* ''[[Cerita Dari Jakarta]]'' ([[1957]])
* ''[[Cerita Calon Arang]]'' (1957)
Baris 141:
* ''[[Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan]]'' ([[1964]]); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* ''[[Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia]]'' ([[1963]])
* ''[[Lentera (novel)|Lentera]]'' ([[1965]]), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* ''[[Bumi Manusia]]'' ([[1980]]); dilarang Jaksa Agung, [[1981]]
* ''[[Anak Semua Bangsa]]'' (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
Baris 197:
{{EndDiv}}
== Referensi ==
{{reflist}}
|