Joehana: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Farras (bicara | kontrib)
k move tema -> gaya
Baris 40:
 
==Gaya==
Joehana tampaknya cukup mengenal sastra-sastra tradisional [[Asia Tenggara Maritim]], misalnya ketika ia mengambil ''[[Ramayana]]'' sebagai inspirasi untuk karyanya ''Nangis Wibisana''.{{sfn|Kartini|Hadish|Sumadipura|Iskandarwassid|1979|p=50}} Berbagai karater ''wayang'' seperti punakawan [[Cepot]] muncul dalam tulisan-tulisannya,{{sfn|Rosidi|2013b|p=9}} dan ia menggunakan berbagai teknik cerita tradisional Sunda, misalnya ''[[pantun]]'', yaitu sejenis puisi yang sering ditampilkan pada pagelaran ''[[wayang golek]]''. Namun, terdapat beberapa perubahan penting. Beragam tulisannya tidak menggunakan bentuk-bentuk sastra tradisional, seperti ''[[wawacan]]'', namun memakai bentuk novel yang merupakan bentuk sastra Eropa. Tidak seperti bentuk-bentuk sastra tradisional yang memakai bahasa Sunda resmi, Joehana menulis dalam bahasa sehari-hari.{{sfn|Rosidi|2013b|p=7}} Tata bahasa dan strukturnya memperlihatkan adanya pengaruh bahasa-bahasa lain, dan kosakatanya pun tidak murni Sunda; beberapa kata Belanda (bahasa pemerintah kolonial) termasuk di dalamnya.{{sfn|Kartini|Hadish|Sumadipura|Iskandarwassid|1979|p=62}}
 
Penulis asal Sunda M.&nbsp;A.&nbsp;Salmoen menggolongkan Joehana sebagai seorang [[Realisme sastra|realisme]].<ref>in {{harvnb|Kartini|Hadish|Sumadipura|Iskandarwassid|1979|p=63}}</ref> Rosidi menuliskan bahwa jiwa realisme diangkat ke dalam karya tulisan Joehana melalui penggunaan referensi merk dan produk (populer) yang sudah ada, termasuk cerutu, produk ikan asin, dan biskuit (meskipun begitu, Joehana menulisnya untuk orang Bandung, yang diharapkan dapat mengetahui produk ini, tetapi mereka tetap tidak memberikan tanggapan apapun). Joehana menggunakan kota Bandung sebagai lokasi nyata pada novel karyanya, dan beberapa tokoh lokal terkemuka yang pernah diberitakan (seperti seorang pencopet Salim) secara sepintas.{{sfn|Rosidi|2013b|p=7}} Ada kemungkinan bahwa penggunaan nama-nama tersebut hanya sebagai cara untuk [[penempatan produk|memperkenalkan produk]] saja, dimana Joehana dibayar untuk memuat nama-nama produk tersebut ke dalam novel karyanya; pembayaran ini mungkin tidak dilakukan secara langsung, tetapi dalam bentuk barang atau jasa,{{sfn|Rosidi|2013b|pp=10–11}} atau berupa sumbangan masyarakat.{{sfn|Kartini|Hadish|Sumadipura|Iskandarwassid|1979|p=65}}
 
Joehana memiliki selera humor yang dapat diterima dengan baik oleh kawan sebayanya: misalnya, katak pemburu Karnadi ''Rasiah nu Goreng Patut'' yang menggambarkan perjalanan ke sawah untuk menangkap katak, yang berarti "berangkat ke kantor" dan tongkat yang ia gunakan untuk membunuh katak sebagai "pensil",{{sfn|Kartini|Hadish|Sumadipura|Iskandarwassid|1979|p=60}} sedangkan Van der Zwak asal Belanda ''Tjarios Agan Permas'' menggunakan [[Laras bahasa|laras bahasa]] Sunda paling santun{{efn|Dalam bahasa Sunda, terdapat laras bahasa yang berbeda ketika digunakan untuk percakapan. Frasa yang paling sopan umumnya diperuntukkan bagi mereka yang berada di posisi sosial yang lebih tinggi.}} ketika berbicara pada orang yang tidak disukainya.{{sfn|Kartini|Hadish|Sumadipura|Iskandarwassid|1979|p=26}} Beberapa dari lelucon ini masih populer; Rosidi membukukan salah satu lelucon, tentang bagaimana cara berbicara dengan bahasa Belanda, sebagai keberhasilannya pada tahun 1980-an.{{Efn|Pada kalimat ''Rasiah nu Goreng Patut'', Karnadi mencoba untuk lulus sebagai seorang kontraktor kaya dan terdidik. Untuk meyakinkan calon ayah mertuanya, Karnadi menceritakan bahwa, untuk berbicara bahasa Belanda, hanya perlu menambahkan ''de'' sebelum sebuah kata dan "ceh" pada akhir kata. Misalnya, ''lamp'' akan menjadi ''de lamceh'' {{harv|Joehana|Soekria|2013|p=45}}.}}{{sfn|Rosidi|2013b|p=9}}
 
==Tema==
Joehana tampaknya sering membaca karya-karya tradisional mengenai [[Asia Tenggara Maritim]]. ''Nangis Wibisana'' terinspirasi dari ''[[Ramayana]]''.{{sfn|Kartini|Hadish|Sumadipura|Iskandarwassid|1979|p=50}} Tokoh-tokoh Wayang seperti [[Cepot]] disebut dalam tulisan-tulisannya.{{sfn|Rosidi|2013b|p=9}} Ia memakai teknik cerita tradisional Sunda seperti [[pantun]], bentuk syair yang lazim dalam pertunjukan [[wayang golek]]. Akan tetapi, ada sejumlah perbedaan besar dibandingkan karya sastra pada umumnya. Karya-karyanya menggunakan bentuk sastra tradisional seperti ''wawacan'', bukan bentuk sastra Eropa (novel). Alih-alih bahasa resmi, Joehana menulis dalam bahasa Sunda sehari-hari.{{sfn|Rosidi|2013b|p=7}} Tata bahasa dan strukturnya menunjukkan bukti pengaruh dari bahasa lain, dan kosa katanya tidak murni dari bahasa Sunda; ada pula campuran kosa kata Belanda (bahasa pemerintah kolonial).{{sfn|Kartini|Hadish|Sumadipura|Iskandarwassid|1979|p=62}}