Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari [[Mekkah]], menyemangatinya untuk terus berjuang melawan Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis. Pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang pasukan Belanda. Perlawanannya dapat dipatahkan, dan dia menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian dia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya dibuang ke laut oleh tentara Belanda.<ref>Mohammad Said, Sisingamangaradja XII</ref>
== Kontroversi ==
Dalam buku ''Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833'', Mangaradja Onggang Parlindungan menulis riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Paderi.<ref>Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: terror agama Islam mazhab Hambali di tanah Batak, 1816-1833, Tandjung Pengharapan, 1964</ref> Namun di dalam buku itu, banyak terdapat kejanggalan serta fakta-fakta yang tak dapat diterima oleh sejarawan. Di antara pernyataan Parlindungan yang dinilai sesat adalah asal usul Tuanku Rao yang disebutnya berasal dari etnis Batak bermarga Sinambela, dan merupakan seorang kemenakan Sisingamangaraja X. Ketidakakuratan lainnya adalah mengenai tahun kematian Tuanku Rao yang disebutkannya pada tahun 1921.
Namun buku tersebut telah dibantah oleh banyak ahli sejarah dan agama Islam. Antara lain [[Hamka]], melalui bukunya ''Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta''. Dalam buku ini Hamka berusaha meluruskan fakta mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi. <ref>Hamka, Tuanku Rao : Antara Khayal dan Fakta, Bulan Bintang, 1974</ref>.
Baik buku Hamka maupun buku Parlindungan belum berhasil untuk memberikan gambaran netral tentang peristiwa sejarah tag terjadi di Minangkabau dan di Tanah Batak pada sat itu.