Zainal Sabaruddin Nasution: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
beri tag sebagai peringatan |
Rachmat-bot (bicara | kontrib) k clean up, replaced: diantara → di antara, diakhir → di akhir, dibawah → di bawah, Diantara → Di antara, Dibawah → Di bawah, beliau → dia (4), Beliau → Dia, added orphan tag |
||
Baris 1:
{{Orphan|date=Januari 2016}}
{{nofootnotes}}
'''Zainal Sabaruddin Nasution''' atau '''Mayor Sabaruddin''' (lahir di [[Kotaraja]], [[Aceh]], [[Indonesia]] pada tahun [[1922]] - meninggal di [[Madiun]], [[Indonesia]] pada [[24 November]] [[1949]]) adalah seorang pejuang kemerdekaan [[Indonesia]] yang ditakuti karena terkenal kejam dan bengis. Sabarudin pernah mengeksekusi secara terbuka seorang bernama Suryo yang dituduh sebagai mata-mata Belanda. Padahal, Suryo merupakan sesama bekas anggota PETA. Eksekusi itu ternyata di latar belakangi dendam pribadi terkait asmara. Antara Sabarudin dan Suryo pernah terlibat persaingan memperebutkan putri Bupati Sidoarjo yang terkenal cantik. Meski kejam, Sabarudin memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya
Baris 12 ⟶ 14:
Disinilah dimulai semuanya. Kekejaman Mayor Sabaruddin melegenda. Kepada para tawanan yang tak disukainya, Mayor Sabaruddin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji. Menurut Jasin, Mayor Sabaruddin tega “mengikat orang yang ditangkap pada dua ekor kuda yang kemudian dilarikan ke arah berlawanan. Akibatnya, badan orang itu terputus menjadi dua dan mati. Ada pula yang disirami dengan bensin dan dibakar habis.” Hampir semua orang di Surabaya dan Sidoarjo yang hidup pada zaman revolusi pernah mendengar kisah kebengisannya. Dia sewenang-wenang memperlakukan musuh-musuhnya, tawanan perang, bahkan rekan sendiri. Demi menghabisi lawan-lawannya, dia tak ragu melontar fitnah, termasuk kepada Soerjo.
Ketika itu, Mayor Sabaruddin menuduhnya dengan bukti selembar foto yang menampilkan Soerjo bersanding dengan Ratu Wilhelmina, sebagai spion Belanda. Tetapi, Soerjo kemudian dibebaskan lantaran pernah membantu perjuangan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pimpinan Moestopo mengambil mitraliur berat kaliber 12,7
Soerjo memang pernah berfoto bersama Ratu Wilhelmina. Namun foto itu diambil semasa dia sebagai anggota Kelompok Kepanduan Hindia Belanda atau Nederland Indiesche Padvinders Vereniging (NIPV) yang turut dalam jambore ke Negeri Belanda. Menurut Suhario Patmodiwiryo yang akrab disebut Hario Kecik dalam Si Pemburu, volume 2, alasan pembunuhan itu ialah “rivalisme antara Mayor Sabaruddin dan Soerjo pribadi dalam masalah memperebutkan seorang puteri Bupati Sidoarjo.” Bukti foto hanyalah alat untuk menggeret Soerjo memuaskan rasa sakit hati Mayor Sabaruddin. Puteri Bupati tersebut ternyata lebih memilih Soerjo karena dia lulusan OSVIA dan punya pengalaman pergi ke Belanda.
Kembali dengan alasan mata-mata, Mayor Sabaruddin pernah menangkap sejumlah tokoh pejuang,
Semua ini secara tidak sengaja terungkap oleh Inspektur Polisi M. Jasin, komandan Pasukan Polisi Perjuangan (P3) cikal bakal Brigade Mobil (Brimob). Sekitar akhir November 1945,
Meskipun kejam, Mayor Sabaruddin tetap memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya, sehingga menjadikan pasukannya kompak dan sangat efektif. Rahasia kepemimpinannya adalah, dia mampu menghadapi dan memenuhi kebutuhan anak buahnya, meskipun untuk itu bila perlu ditempuh lewat cara yang ilegal.
Baris 24 ⟶ 26:
==Penculikan Mayjen Mohammad Mangundiprojo, Bendahara BKR Jawa Timur==
Disinilah dia makin menjadi.
Pada awalnya Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo diam saja. Namun, begitu mendengar Bupati Sidoarjo dan Mojokerto juga ikut disekap oleh Mayor Sabaruddin, kesabarannya pun habis. Dia menilai tingkah laku Mayor Sabaruddin itu sudah kelewat batas dan berbahaya. Bukan saja berbahaya bagi dirinya, melainkan juga berbahaya bagi ketahanan pertahanan garis depan. Sebagai ketua DPRI (Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia), Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo membuat surat perintah penangkapan Mayor Sabaruddin. Alih-alih, Oleh Mayor Sabaruddin Surat Perintah itu lalu dibawa ke MBT untuk dilaporkan kepada Letjen Oerip Soemohardjo, yang kemudian menelepon Mayjen Mohamad, meminta agar mencabut kembali perintah penangkapannya. Namun Mayjen Mohammad menjawab, selaku tentara ia memang wajib menaati perintah Pak Oerip selaku atasan, tetapi sebagai ketua DPRI yang bertanggung jawab atas pertahanan Surabaya, ia terpaksa menolak perintah tersebut. Pak Oerip kemudian memerintahkan Mohamad dan Mayor Sabaruddin agar segera datang ke Yogyakarta guna menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakannya. Merasa gemas, Mayjen Mohammad langsung berangkat ke Yogyakarta hari itu juga.
Namun, ternyata Mayor Sabaruddin lebih dulu tiba di markas MBT dengan membawa 11 truk pasukan lengkap. Dengan cerdik, cepat dan rapi, Mayor Sabaruddin langsung menyebar pasukannya di markas MBT, dan melucuti para penjaganya. Saking hebat dan kompaknya pasukan Mayor Sabaruddin, Jenderal Soedirman dan Letjen Oerip Soemohardjo yang sedang mengikuti rapat dengan para staff nya tidak menyadari kalau markas MBT sedang di take over oleh pasukan Mayor Sabaruddin. Mayjen Mohammad yang baru datang dan sedang menunggu giliran untuk menghadap, dihampiri oleh 3 anak buah Mayor Sabaruddin. Sempat menolak untuk angkat tangan ketika ditodong anak buah Mayor Sabaruddin, Mayjen Mohammad dikeroyok serta dipukuli. Ketika sudah tidak berdaya,
Letjen Oerip Soemohardjo dan para perwira yang lain baru menyadari akan kejadian penculikan ini, ketika ada letusan senjata beberapa kali, yang bahkan salah satunya nyaris mengenai Jenderal Soedirman, yang secara sigap langsung tiarap. Ketika situasi reda, para perwira berlarian menuju halaman depan MBT, namun pasukan Mayor Sabaruddin sudah keburu pergi.
Baris 34 ⟶ 36:
==Operasi Pembebasan==
Berita penculikan di markas MBT ini sampai di telinga Presiden Soekarno,
Sadar telah masuk perangkap, mau tak mau Mayor Sabaruddin beserta pasukannya berhenti, dan diajak dialog oleh Kolonel Soediro beserta staff nya. Dalam perundingan itu semula Mayor Sabaruddin bersikeras tidak mau menyerahkan Mohamad, dengan alasan, katanya, Mayjen Mohamad telah meninggal. Kolonel Soediro menegaskan bahwa dia ditugaskan MBT membebaskan Mohamad baik hidup ataupun mati. Melihat situasi yang tidak menguntungkan pasukannya, Mayor Sabaruddin akhirnya terpaksa menyerahkan Mohamad. Tetapi ia tetap mengancam, bahwa suatu hari nanti, dia akan menangkapnya lagi. Akhirnya rombongan pasukan pembebasan balik kanan menuju Kediri, membawa Mayjen Mohammad ke Kediri untuk diobati, sedangkan Mayor Sabaruddin dan pasukannya kembali ke markasnya.
Baris 46 ⟶ 48:
Inspektur M. Jasin yang dalam penyergapannya tersebut, menemukan 8 wanita eropa dan indo-belanda yang ternyata sedang hamil di bungalow indah yang terletak di lereng utara Gunung Arjuno, bekas peninggalan Belanda. Mayor Sabaruddin ternyata doyan mengumpulkan wanita-wanita eropa untuk dijadikan harem. Selain itu ditemukan juga sejumlah empat karung/besek penuh yang berisi emas batangan, perhiasan, dan berlian. Benda-benda tersebut diperkirakan dirampas oleh Mayor Sabaruddin dari kamp-kamp tahanan Eropa yang masih tersisa sejak ditinggalkan oleh Jepang. Menurut cerita, tidak ada satupun di antara benda-benda berharga tadi yang dikutip oleh Inspektur M. Jasin. Padahal perintah Jenderal Soedirman hanya meminta untuk melucuti persenjataan dan menangkap komplotan Sabaruddin, bukan termasuk mengumpulkan barang-barang bukti hasil kejahatan.
Sejalan dengan reorganisasi TRI menjadi tentara yang lebih teratur maka tata disiplin tentara dan hukum tentara mulai ditegakkan. Senafas dengan usaha pembaharuan itulah maka MBT dalam menangani kasus Mayor Sabaruddin menindaknya melalui jalur hukum. PTKR Mayor Sabaruddin dibubarkan, bekas anak buahnya dilebur dalam batalyon Darbi Nasution di Gombong, sedang para perwiranya yang terlibat, diajukan ke Mahkamah Tentara. Mayor Sabaruddin sebagai pelaku utama dalam kasus penculikan itu dipecat dari dinas ketentaraan dan dijatuhi hukuman penjara 7 tahun. Sedang anak buahnya yang perwira, sejumlah 6 orang ditahan di penjara Wirogunan Yogya selama 100 hari. Setelah dibebaskan, mereka dikembalikan menjadi TRI, tetapi hanya diberi pangkat prajurit.Dari penjara di Wirogunan, Yogyakarta, Mayor Sabaruddin dipindah ke penjara Ambarawa, disana dia berkenalan dengan Tan Malaka, yang
Semasa dia di penjara, pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan Agresi Militer yang pertama, dan menduduki Ambarawa. Mayor Sabaruddin memanfaatkan situasi gawat ini dengan membujuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta supaya dibebaskan, dan dikabulkan. Dia bahkan ditugaskan membentuk laskar dengan syarat mau ditempatkan di Jawa Barat. Dalam waktu tak lama dia berhasil mengumpulkan kembali sekira 1 kompi yang sebagian besar bekas anak buahnya. Tapi bukannya pergi ke Jawa Barat, Mayor Sabaruddin malah kembali ke Jawa Timur dan mendirikan Laskar Rencong. Dinamakan Laskar Rencong, karena saat dibentuk, persenjataan mereka hanyalah senjata tajam, dan satu buah pistol yang dipegang langsung oleh Mayor Sabaruddin.
Baris 56 ⟶ 58:
Termakan gertakan Mayor Sabaruddin, Brigade 29 akhirnya menyerah bulat-bulat kepada pasukan Mayor Sabaruddin, lebih dikarenakan karena merasa lebih baik menyerah kepada pasukan yang dia kenal, daripada menyerah kepada pasukan Siliwangi yang dia tidak kenal sama sekali. Ratusan senjata dan perlengkapannya, mereka serahkan pada Mayor Sabaruddin. Sedang Letkol Dachlan sendiri bersama perwira stafnya seperti Mayor Koesnandar dan Mayor Mustafa ditawan Mayor Sabaruddin. Sejak itu persenjataan pasukan Mayor Sabaruddin pulih kembali kekuatannya. Muncul rumor bahwa pada akhirnya Letkol Dachlan dan staff nya dieksekusi mati di Ngantang, Kediri, namun Mayor Sabaruddin menolak untuk bertanggung jawab, dan melemparnya kepada Letkol Surachmad, atasannya sendiri.
Selesai operasi penumpasan PKI 1948, Mayor Sabaruddin menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Tan Malaka, sahabat barunya yang dia kenal sewaktu mereka berdua sama-sama dipenjara di Ambarawa. Tan Malaka membutuhkan dukungan di kalangan militer sehingga mengira mampu memperoleh peluang pula melalui tokoh Mayor Sabaruddin. Begitu pula Mayor Sabaruddin, Perasaan senasib dalam penjara, menyebabkan dia dengan mudah jatuh
==Kembali membuat onar==
Baris 64 ⟶ 66:
Namun bukan Mayor Sabaruddin namanya, kalau dia menerima perintah tersebut. Ditolak mentah-mentahnya keputusan tersebut. Sehingga tidak ada jalan lain, jalan kekerasan untuk meringkus Mayor Sabaruddin dimulai. Dipagi hari tanggal 19 Februari 1949, kompi 45 “Macan Kerah” pimpinan Kapten Sampurno mengepung markas Mayor Sabaruddin di Belimbing, Kediri arah utara, dari 4 penjuru. Pengepungan mendadak itu berhasil mengunci dan menjebak pasukan Mayor Sabaruddin. Tan Malaka dan sekitar kurang lebih 100 pasukannya berhasil dilucuti.
Dalam perjalanan menggiring para tawanan, Kompi 45 mendadak diserang oleh pasukan Mayor Sabaruddin yang lain, pimpinan Kapten Achmad Ismail didaerah Nganjuk. Akibat serangan itu, para tawanan berhasil meloloskan diri, mereka terbagi dalam 3 rombongan, dua rombongan bersama Mayor Sabaruddin bergerak ke timur menyeberangi Kali Brantas, sedang rombongan yang lain termasuk Tan Malaka bergerak ke selatan menuju ke Trenggalek. Waktu rombongan Tan Malaka tiba di desa Mojo, kurang lebih 10
==Akhir Petualangan==
Baris 83 ⟶ 85:
==Sumber==
* http://www.merdeka.com/peristiwa/mayor-sabarudin-dan-noda-hitam-perjuangan-kemerdekaan.html
* http://historia.id/persona/berebut-perempuan-berbuntut-kekejaman
|