Zainal Sabaruddin Nasution: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k clean up, replaced: diantara → di antara, diakhir → di akhir, dibawah → di bawah, Diantara → Di antara, Dibawah → Di bawah, beliau → dia (4), Beliau → Dia, added orphan tag
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 4:
'''Zainal Sabaruddin Nasution''' atau '''Mayor Sabaruddin''' (lahir di [[Kotaraja]], [[Aceh]], [[Indonesia]] pada tahun [[1922]] - meninggal di [[Madiun]], [[Indonesia]] pada [[24 November]] [[1949]]) adalah seorang pejuang kemerdekaan [[Indonesia]] yang ditakuti karena terkenal kejam dan bengis. Sabarudin pernah mengeksekusi secara terbuka seorang bernama Suryo yang dituduh sebagai mata-mata Belanda. Padahal, Suryo merupakan sesama bekas anggota PETA. Eksekusi itu ternyata di latar belakangi dendam pribadi terkait asmara. Antara Sabarudin dan Suryo pernah terlibat persaingan memperebutkan putri Bupati Sidoarjo yang terkenal cantik. Meski kejam, Sabarudin memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya
 
== Dari Jurutulis, PETA, Hingga Menjadi Mayor ==
 
Zainal Sabaruddin Nasution lahir di Kotaraja, Aceh, pada 1922. Bapaknya seorang jaksa. Ibunya menikah lagi setelah menjanda dengan seorang Belanda bernama Knoop. Mayor Sabaruddin dengan kakak laki-lakinya yang setahun lebih tua, Djalaluddin, tumbuh bersama bapak tirinya. Sesudah menamatkan sekolah menengah pertama (MULO), dia bekerja sebagai jurutulis di kantor Kabupaten Sidoarjo dan sebagai pemegang buku suatu perkebunan tebu. Ada kesaksian yang mengatakan bahwa sesungguhnya Sabaruddin muda sebelum perang kemerdekaan adalah sosok yang pemalu dan penakut. Namun saat Jepang menduduki Indonesia, Dia sempat mengajukan permohonan untuk mengikuti pendidikan perwira PETA di bogor kepada atasannya, menteri kabupaten Moehammad, namun ditolak karena riwayat pendidikannya yang terhitung rendah. Ketika pada akhirnya Mayor Sabaruddin bergabung dengan PETA, Mayor Sabaruddin kembali bertemu dengan Soerjo, mantan atasannya ketika masih bekerja sebagai jurutulis di kabupaten Sidoarjo. Soerjo merupakan putra Suwongso, seorang pegawai menengah di Kantor Residen Surabaya jaman Belanda. Mereka berada dalam satu batalyon (daidan) PETA, yaitu daidan III Buduran Sidoarjo, pimpinan Mohamad Mangundiprojo. Soerjo jadi Chudancho (komandan kompi) dan Mayor Sabaruddin jadi komandan peleton (Shodancho), namun beda kompi. Seiring perjalanan waktu, dimana saat itu suasana demikian genting karena terjadi perebutan kekuasaan antara pemuda dan Jepang, nama Mayor Sabaruddin pun melejit.
Baris 10:
Usai proklamasi, Mayor Sabaruddin ditunjuk menjadi komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) karasidenan Surabaya. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor. Dia bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan.
 
== Doyan Fitnah dan Awal Kegilaan Mayor Sabaruddin ==
 
Disinilah dimulai semuanya. Kekejaman Mayor Sabaruddin melegenda. Kepada para tawanan yang tak disukainya, Mayor Sabaruddin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji. Menurut Jasin, Mayor Sabaruddin tega “mengikat orang yang ditangkap pada dua ekor kuda yang kemudian dilarikan ke arah berlawanan. Akibatnya, badan orang itu terputus menjadi dua dan mati. Ada pula yang disirami dengan bensin dan dibakar habis.” Hampir semua orang di Surabaya dan Sidoarjo yang hidup pada zaman revolusi pernah mendengar kisah kebengisannya. Dia sewenang-wenang memperlakukan musuh-musuhnya, tawanan perang, bahkan rekan sendiri. Demi menghabisi lawan-lawannya, dia tak ragu melontar fitnah, termasuk kepada Soerjo.
Baris 24:
Meskipun kejam, Mayor Sabaruddin tetap memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya, sehingga menjadikan pasukannya kompak dan sangat efektif. Rahasia kepemimpinannya adalah, dia mampu menghadapi dan memenuhi kebutuhan anak buahnya, meskipun untuk itu bila perlu ditempuh lewat cara yang ilegal.
 
== Penculikan Mayjen Mohammad Mangundiprojo, Bendahara BKR Jawa Timur ==
 
Disinilah dia makin menjadi. Di antara para komandan pasukan di Surabaya, hanya Mayor Sabaruddin yang paling sering datang ke Markas BKR Jawa Timur untuk meminta dana perjuangan. Bendahara BKR Jawa Timur, Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo, sudah sejak lama tidak suka dengan sepak terjang Mayor Sabaruddin yang brutal dan ditakuti rakyat. Dia pernah mendapat laporan dari salah satu staf nya, bahwa Mayor Sabaruddin diindikasi menggunakan dana perjuangan tersebut untuk kepentingan pribadinya sendiri. Suatu hari, Mayor Jenderal Mohammad Mangundiprojo menolak memberi dana lagi, sebelum Mayor Sabaruddin dapat mempertanggung jawabkan uang yang telah diterima sebelumnya. Mayor Sabaruddin marah, dan mengancamnya. Mulai saat itu, Mayor Sabaruddin menyebar fitnah bahwa Mayor Jenderal Mohamad Mangundiprojo adalah orang yang korup dan dituduhnya sebagai mata-mata Belanda.
Baris 34:
Letjen Oerip Soemohardjo dan para perwira yang lain baru menyadari akan kejadian penculikan ini, ketika ada letusan senjata beberapa kali, yang bahkan salah satunya nyaris mengenai Jenderal Soedirman, yang secara sigap langsung tiarap. Ketika situasi reda, para perwira berlarian menuju halaman depan MBT, namun pasukan Mayor Sabaruddin sudah keburu pergi.
 
== Operasi Pembebasan ==
 
Berita penculikan di markas MBT ini sampai di telinga Presiden Soekarno, dia langsung menugaskan TKR Divisi VI pimpinan Kolonel Soediro, yang kebetulan kawan karib Mayjen Mohammad, untuk memimpin operasi pembebasannya. Kolonel Soediro memerintahkan Resimen Madiun (pimpinan Letkol Sumantri) dan Resimen Kediri (pimpinan Letkol Surachmad) mencegat konvoi Mayor Sabaruddin. Sumantri di Madiun memerintahkan Kapten Rukminto, kepala staf resimen, untuk melakukan pencegatan di Ngawi. Pencegatan pertama di Ngawi gagal. Mayor Sabaruddin tidak mau distop, sedang Kapten Rukminto yang hanya membawa pasukan kawal kecil tidak mau mengambil resiko berkonfrontasi langsung dengan Mayor Sabaruddin. Memperoleh laporan kegagalan tadi, Letkol Sumantri kemudian menelepon peleton yang bertugas menjaga gudang mesiu di Saradan, agar melakukan pencegatan. Tetapi ketika mereka menghadang, ternyata konvoi Mayor Sabaruddin telah lewat. Soemarsono yang memperoleh berita serupa juga menyiap-siagakan pasukan Pesindo dan bermaksud mencegat Mayor Sabaruddin di Madiun, tetapi mereka kecele, karena Mayor Sabaruddin tak lewat Madiun. Resimen Surachmad memperoleh tugas melakukan pencegatan di Kediri dan Kertosono, masing-masing dengan kekuatan 1 kompi. Mereka menyusun stelling di sekitar jembatan Kali Brantas di kedua kota tersebut. Pasukan Letkol Surachmad lah yang pada akhirnya berhasil mencegat konvoi Mayor Sabaruddin di jembatan Kertosono. Pasukan Surachmad yang melakukan pencegatan itu adalah kompi Polisi Tentara pimpinan Kapten Heri Harsono. Kolonel Soediro juga turut terjun langsung dalam operasi penghadangan tersebut.
Baris 42:
Mayor Sabaruddin dan pihak yang berdiri di belakang peristiwa penculikan Mayjen Mohamad, mungkin tidak menyadari dan tidak membayangkan bahwa kasus penculikan tersebut akan berekor panjang dan berakibat buruk bagi mereka semua.
 
== Operasi penangkapan dan Pengadilan Mayor Sabaruddin ==
 
Akibat peristiwa penculikan ini, pusat tidak tinggal diam. DPRI mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerang markas Mayor Sabaruddin di Mojokerto. Pasukan gabungan ini terdiri dari Pasukan Perjuangan Polisi (P3) yang langsung mendapat perintah dari Jenderal Soedirman, Pesindo, Hizbullah dan Laskar Minyak. Walaupun sempat terkepung, Mayor Sabaruddin sempat lolos dengan wakilnya, Ali Umar menggunakan mobil, namun akhirnya disergap di simpang empat Mojosari, di antara Mojokerto dan Porong.
Baris 52:
Semasa dia di penjara, pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan Agresi Militer yang pertama, dan menduduki Ambarawa. Mayor Sabaruddin memanfaatkan situasi gawat ini dengan membujuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta supaya dibebaskan, dan dikabulkan. Dia bahkan ditugaskan membentuk laskar dengan syarat mau ditempatkan di Jawa Barat. Dalam waktu tak lama dia berhasil mengumpulkan kembali sekira 1 kompi yang sebagian besar bekas anak buahnya. Tapi bukannya pergi ke Jawa Barat, Mayor Sabaruddin malah kembali ke Jawa Timur dan mendirikan Laskar Rencong. Dinamakan Laskar Rencong, karena saat dibentuk, persenjataan mereka hanyalah senjata tajam, dan satu buah pistol yang dipegang langsung oleh Mayor Sabaruddin.
 
== Menumpas Gerombolan PKI Madiun 1948 ==
 
Pecahnya peristiwa pemberontakan PKI 1948 di Madiun membuat pemerintahan pusat memperkuat militernya, dan membutuhkan semua sumber yang ada. Adalah Kabinet Hatta yang mencoba memberi Mayor Sabaruddin untuk mendapat peluang baru. Mengetahui Mayor Sabaruddin adalah kawan karib Tan Malaka dan sama-sama membenci PKI, Laskar Rencong Mayor Sabaruddin termasuk yang ikut direhabilitasi. Kesatuannya diakui sebagai Batalyon 38 di dalam sebuah brigade yang dipimpin Letkol Surachmad, dia diangkat menjadi komandan Batalyon 38 dan kembali mendapatkan pangkat Mayor nya. Dalam kedudukan itu bersama kesatuan TNI lainnya mereka aktif beroperasi menumpas pemberontakan PKI di Madiun dari sebelah timur, menjepit salah satu kekuatan PKI, Brigade 29 pimpinan Letkol Dachlan, yang pada saat itu mulai frustasi menghadapi tekanan pasukan Siliwangi dari arah barat.
Baris 60:
Selesai operasi penumpasan PKI 1948, Mayor Sabaruddin menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Tan Malaka, sahabat barunya yang dia kenal sewaktu mereka berdua sama-sama dipenjara di Ambarawa. Tan Malaka membutuhkan dukungan di kalangan militer sehingga mengira mampu memperoleh peluang pula melalui tokoh Mayor Sabaruddin. Begitu pula Mayor Sabaruddin, Perasaan senasib dalam penjara, menyebabkan dia dengan mudah jatuh di bawah pengaruh Tan Malaka. Sejak itu ia bukan hanya menjadi pengikut, tetapi juga menjadi pengagum Tan Malaka yang fanatik, selalu hadir disetiap pertemuan-pertemuan rahasianya, dan menjadi pengawal pribadinya.
 
== Kembali membuat onar ==
 
Ketika Agresi Militer Belanda yang kedua pecah, Yogyakarta diduduki, dan Soekarno Hatta ditawan. Tan Malaka mencoba untuk mengambil kesempatan untuk mengambil alih pimpinan perjuangan melawan Belanda dengan mencoba menyiarkan kampanye anti Soekarno Hatta melalui radio diwaktu bergerilya bersama Mayor Sabaruddin didaerah Gunung Wilis. Mayor Yonosewoyo, salah satu perwira yang terlibat penculikan Mayjen Mohammad yang ikut ditangkap dan diadili sewaktu peristiwa tersebut, mengaku pernah diajak oleh Mayor Sabaruddin untuk mengikuti rapat rahasia dengan Tan Malaka di Belimbing, dan dijanjikan posisi Menteri Pertahanan, sedangkan Mayor Sabaruddin sebagai Panglima besarnya. Yonosewoyo yang sudah insyaf, menganggap rencana ini sebagai makar, dan secara diam-diam mengadukan rencana tersebut kepada Letkol Surachmad yang langsung diteruskan kepada Komandan Divisi dan Gubernur Militer, Kolonel Sungkono. Walaupun para pendukung Tan Malaka menuduh rencana itu hanyalah hasil rekayasa Yonosewoyo dan Surachmad, tanggal 17 Februari 1949 Kolonel Sungkono selaku Gubernur Militer memutuskan untuk membubarkan Batalyon 38 dan membebaskan Mayor Sabaruddin dari tanggung jawab komandan Batalyon.
Baris 68:
Dalam perjalanan menggiring para tawanan, Kompi 45 mendadak diserang oleh pasukan Mayor Sabaruddin yang lain, pimpinan Kapten Achmad Ismail didaerah Nganjuk. Akibat serangan itu, para tawanan berhasil meloloskan diri, mereka terbagi dalam 3 rombongan, dua rombongan bersama Mayor Sabaruddin bergerak ke timur menyeberangi Kali Brantas, sedang rombongan yang lain termasuk Tan Malaka bergerak ke selatan menuju ke Trenggalek. Waktu rombongan Tan Malaka tiba di desa Mojo, kurang lebih 10 km di selatan Kediri di tepi Kali Brantas, mereka kepergok pasukan TNI dan di tempat inilah Tan Malaka ditembak hingga tewas. Rombongan Mayor Sabaruddin di sebelah timur Kali Brantas bertemu dengan Mayor Banuredjo, komandan Batalyon 22 beserta dua perwira stafnya Kapten Rustamandji dan Letnan Pamudji. Mayor Sabaruddin menangkap dan menawan ketiga perwira tersebut dan selanjutnya membunuhnya di Malang Selatan.
 
== Akhir Petualangan ==
 
Kematian Banuredjo menambah murka Surachmad dan para komandan brigade di Jawa Timur lainnya. Dan Mayor Sabaruddin, meski berhasil meloloskan diri, makin terdesak oleh tentara yang terus mengejarnya. November 1949 pasukannya terjepit di Kawi Selatan, Malang. Kolonel Soengkono, panglima dan gubernur militer di Jawa Timur, membujuk Mayor Sabaruddin lewat surat. Isi surat tersebut ialah perintah supaya Mayor Sabaruddin menghadap Soengkono di Surabaya, hendak diajak membahas upaya perundingan gencatan senjata antara TNI-Belanda. Kali ini Mayor Sabaruddin melunak. Dengan menunggang kuda, Mayor Sabaruddin turun gunung menuju Surabaya. Tapi sesampainya di Surabaya, Soengkono sudah bertolak ke Nganjuk, tempat dilangsungkannya perundingan gencatan senjata itu.
Baris 84:
Ada versi lain yang mengatakan bahwa sebenarnya Kolonel Sungkono tidak memberikan perintah seperti itu kepada Mayor Sabaruddin, berdasarkan pernyataan H. Abdul Wahab, salah seorang perwira bawahan Mayor Sabaruddin. Sewaktu bergerilya di Malang Selatan, ia pernah diperintahkan Mayor Sabaruddin untuk turun ke Surabaya untuk mengurus sesuatu, dan bertemu dengan seorang perwira utusan Kolonel Sungkono, yang justru membawa pesan untuk Mayor Sabaruddin agar jangan turun ke kota, apabila dilanggar, tahu sendiri akibatnya. Abdul Wahab segera menemui Mayor Sabaruddin di Malang Selatan, menyampaikan pesan tadi. Tetapi reaksi Mayor Sabaruddin justru berbuat sebaliknya. Mula-mula ia turun ke kota Malang terus ke Surabaya. Sebagai seorang “Mayor TNI” ia diperlakukan dengan hormat oleh pihak tentara Belanda, ia ditempatkan di Hotel Oranje dan diberi fasilitas kendaraan mobil sedan segala. Waktu diselenggarakan perundingan gencatan senjata di Gondang Nganjuk, antara militer Belanda dengan TNI, Mayor Sabaruddin turut datang bersama delegasi militer Belanda. Sungkono yang hadir dalam perundingan tersebut, terkejut melihat kedatangan Mayor Sabaruddin yang tak diduga-duga itu. Selesai perundingan, Mayor Sabaruddin mengikuti Sungkono pulang ke Nglayu, markas gerilya Sungkono. Di Nglayu itulah riwayat hidup Mayor Sabaruddin berakhir seperti telah dikisahkan di depan. Menurut penilaian Abdul Wahab dan Letkol Purn. Suradji, ajudan Sungkono tahun 1946-1952, terjadinya eksekusi terhadap Mayor Sabaruddin itu rupanya berada di luar kontrol dan kemauan Kolonel Sungkono. Ia memang memerintahkan penangkapan atas diri Mayor Sabaruddin, tetapi hal itu tak berarti harus mengeksekusinya. Mungkin ia bermaksud menyelesaikannya kasus Mayor Sabaruddin melalui jalur hukum, sebagaimana mestinya. Tetapi anak buah Sungkono yang mengeksekusi Mayor Sabaruddin menilai hukuman tersebut sudah setimpal dengan perbuatan dan dosa Mayor Sabaruddin di masa lampau.
 
== Sumber ==
* http://www.merdeka.com/peristiwa/mayor-sabarudin-dan-noda-hitam-perjuangan-kemerdekaan.html
* http://historia.id/persona/berebut-perempuan-berbuntut-kekejaman