Hinamatsuri: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib) k clean up |
k Bot: penggantian teks otomatis (-asal-usul, +asal usul |
||
Baris 39:
Sejak [[abad ke-19]] ([[zaman Edo]]), ''hina asobi'' mulai dikaitkan dengan perayaan [[musim]] (''sekku'') untuk bulan 3 [[kalender lunisolar]]. Sama halnya dengan perayaan musim lainnya yang disebut "matsuri", sebutan ''hina asobi'' juga berubah menjadi Hinamatsuri dan perayaannya meluas di kalangan rakyat.
Orang Jepang pada zaman Edo terus mempertahankan cara memajang boneka seperti tradisi yang diwariskan turun temurun sejak [[zaman Heian]]. Boneka dipercaya memiliki kekuatan untuk menyerap roh-roh jahat ke dalam tubuh boneka, dan karena itu menyelamatkan sang pemilik dari segala hal-hal yang berbahaya atau sial. Asal
Kalangan [[bangsawan]] dan [[samurai]] dari zaman Edo menghargai boneka Hinamatsuri sebagai modal penting untuk wanita yang ingin menikah, dan sekaligus sebagai pembawa keberuntungan. Sebagai lambang status dan kemakmuran, orang tua berlomba-lomba membelikan boneka yang terbaik dan termahal bagi putrinya yang ingin menjadi pengantin.
Boneka yang digunakan pada awal zaman Edo disebut ''tachibina'' (boneka berdiri) karena boneka berada dalam posisi tegak, dan bukan duduk seperti sekarang ini. Asal
Sejalan dengan perkembangan zaman, boneka menjadi semakin rumit dan mewah. Pada zaman [[Genroku]], orang mengenal boneka ''genrokubina'' (boneka zaman Genroku) yang dipakaikan [[kimono]] dua belas lapis (''jūnihitoe''). Pada zaman [[Kyōhō]], orang mengenal boneka ukuran besar yang disebut ''kyōhōbina'' (boneka zaman Kyōhō). Perkembangan lainnya adalah pemakaian [[byeongpung]] (''byōbu'') berwarna emas sebagai latar belakang ''genrokubina'' dan ''kyōhōbina'' sewaktu dipajang.
|