Kerajaan Larantuka: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Legenda: ganti dgn konten sesuai rujukan |
k ejaan, replaced: Propinsi → Provinsi |
||
Baris 37:
{{Sejarah Indonesia}}
'''Kerajaan Larantuka''' adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti ''Pulau Naga'' dalam bahasa lokal,<ref>Sareng Orinbao (1969), ''Nusa Nipa: nama pribumi Nusa Flores (warisan purba)'', Percetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah, Ende</ref> sedangkan dalam [[bahasa Portugis]]: ''Cabo de Flores'' <ref>Laan, Petrus. 1962-1968. Larantuka 1860-1918, 9 vols. (deposited in the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands).</ref> yang sekarang disebut sebagai [[Pulau Flores]],<ref>Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis ''Cabo de Flores'' yang berarti ''Tanjung Bunga''. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda [[Hendrik Brouwer]].
== Permulaan ==
Baris 50:
== Legenda ==
Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan ''Wehale Waiwiku'' dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari [[gunung Ile Mandiri]].<ref name="Barnes">Barnes, R.H., (2008), ''[http://www.iias.nl/article/raja-lorenzo-ii-catholic-kingdom-dutch-east-indies Raja Lorenzo II: A Catholic kingdom in the Dutch East Indies]'', International Institute for Asian Studies, Newsletter #47, pp.24-25</ref>
== Reinha Rosari ==
Baris 70:
* Petü, Piet. 1967. Nusa Nipo: Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa indah.
* Soewondo, Bambang, et.al. 1987. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Depdikbud.
* Soemargono, K. et.al. 1992. Profil
* Taum, Yoseph Yapi. 1993. Tradisi dan Transformasi Cerita Wato Wele-Lia Nurat dalam Cerita Rakyat Flores Timur. Yogyakarta: Tesis Master pada Fakultas Pascasarjana UGM.
* Van Wouden, F.A.E. 1985. Klen, Mitos dan Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur. Jakarta: Grafiti Pers.
Baris 80:
{{Kerajaan di Sunda Kecil}}
{{indo-sejarah-stub}}▼
<!--DISEMBUNYIKAN KARENA KURANG RAPI
1. Pengantar
Baris 101:
Kesepuluh distrik kakang digambarkan oleh Graham (1985:127) sebagai ‘vassal state’ (negara jajahan). Masing-masing kakang memiliki sistem administrasinya sendiri tetapi tetap mengakui kekuasaan Raja Larantuka. Dalam situasi perang, negara-negara jajahan itu wajib menyerahkan upeti dan menyumbangkan serdadu.
Selain wilayah kakang yang dihuni oleh kaum Demon, wilayah Flores Timur zaman itu mengenal pula wilayah ‘watan’ (pantai) yang dihuni oleh kaum Paji. Ada lima wilayah Paji, yang disebut Paji Watan Lema, yakni: Lewotolok, Labala, dan Kedang (di Lembata), Lamahala dan Trong (di Adonara), Lamakera dan Lewayong (di Solor), dan Tanjung Bunga (di ujung timur Flores Timur). Wilayah Paji Watan Lema itu dikuasai oleh Raja Adonara sebagai Raja Paji Watan Lema. Dalam pertempuran-pertempuran yang berulang-ulang terjadi antara Belanda dan Portugis dalam abad ke-17, orang-orang Belanda selalu bersekutu dengan raja-raja Islam dari wilayah Paji; sedangkan Portugis bertumpu pada Kerajaan Larantuka yang rajanya dibaptis pada tahun 1645 (Vatter, 1984: 21).
Di Lewayong (Solor) terdapat tradisi kerajaan Islam yang mempunyai supremasi yang mantap terhadap kerajaan-kerajaan Islam lainnya, terutama sekitar tahun 1680 dalam masa pemerintahan Ratu Nyai Chili Muda.
4. Bentuk-bentuk Hierarki Jabatan
Baris 118:
Dari uraian di muka terlihat bahwa ada perbedaan pola organisasi dan pola kepemimpinan masyarakat Flores Timur dan masyarakat Jawa. Kepemimpinan masyarakat pedesaan di Fores Timur sekaligus memiliki fungsi adat (ritual) dan fungsi formal (administrasi). Sedangkan sifat dasar kepemimpinan desa di Jawa hanya menjadi wakil pemerintah di daerah pedesaan. Raja dan pemimpin-pemimpin masyarakat desa Flores Timur tidak memiliki kekuasaan yang mutlak (otonom) dan permanen. Pemimpin pemimpin itu menjalankan fungsinya bersama dengan wakil-wakil dari suku, kakang, po suku lema, dan lain-lain. Keputusan-keputusan yang diambil masih harus disetujui oleh tetua desa (kelake).
goroh ding
Tulisan ini berasal dari artikel Yoseph Yapi Taum, pernah dimuat dalam Majalah Basis, Yogyakarta, 1994.-->
Baris 127 ⟶ 125:
[[Kategori:Pendirian tahun 1600-an]]
[[Kategori:Pembubaran tahun 1904]]
▲{{indo-sejarah-stub}}
|