Degung: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k merapikan |
k Robot: Cosmetic changes |
||
Baris 7:
Degung sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat lain. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: (mi) 2 – (la) 5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).
== Gamelan Degung ==
Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di [[Jawa Barat]], antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan '''Degung'''. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan [[wayang]], [[tari]], [[kliningan]], [[jaipong]]an dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten [[Bogor]], dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten [[Bandung]]. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.
== Sejarah ==
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas [[suku Sunda|masyarakat Sunda]]. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir [[abad ke-18]]/awal [[abad ke-19]]. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java ([[1934]]) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, [[Galuh|kerajaan Galuh]] misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu ''Manintin'', ''Galatik Manggut'', ''Kintel Buluk'', dan ''Sang Bango''. Kebiasaan ''marak lauk'' masyarakat Sunda selalu
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "''ngadeg''" (berdiri) dan “''agung''” (megah) atau “''pangagung''” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di [[Museum Prabu Geusan Ulun]], Sumedang.
== Perkembangan ==
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental).
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan [[Palembang]], Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah.
Setelah Idi meninggal (tahun [[1945]]) degung tersendat perkembangannya.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun [[1958]].
Tahun [[1962]] ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung.
Tahun [[1970-an|1970]]—[[1980-an]] semakin banyak yang menggarap degung, misalnya [[Nano S.]] dengan grup Gentra Madya ([[1976]]), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan [[Euis Komariah]], degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya ''Panglayungan'' ([[1977]]), ''Puspita'' ([[1978]]), ''Naon Lepatna'' ([[1980]]), ''Tamperan Kaheman'' ([[1981]]), ''Anjeun'' ([[1984]]) dan ''Kalangkang'' yang dinyanyikan oleh [[Nining Meida]] dan [[Barman Syahyana]] ([[1986]]). Lagu ''Kalangkang'' ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun [[1987]].
Berbeda dengan masa awal (tahun [[1950-an]]) dimana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos ([[tembang Cianjuran|tembang Sunda Cianjuran]]), baik pria maupun wanita.
Lagu-lagu degung di antaranya: ''Palwa'', ''Palsiun'', ''Bima Mobos'' (''Sancang''), ''Sang Bango'', ''Kinteul Bueuk'', ''Pajajaran'', ''Catrik'', ''Lalayaran'', ''Jipang Lontang'', ''Sangkuratu'', ''Karang Ulun'', ''Karangmantri'', ''Ladrak'', ''Ujung Laut'', ''Manintin'', ''Beber Layar'', ''Kadewan'', ''Padayungan'', dsb.
== Perkembangan di luar negeri ==
Di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda [[University of California]] ([[Santa Cruz, USA]]), musisi Lou Harrison ([[Amerika Serikat|US]]), dan Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di [[London]] ([[Inggris]]), Paraguna ([[Jepang]]), serta Evergreen, John Sidal ([[Kanada]]). Di [[Melbourne]], [[Australia]], ada sebuah set gamelan degung milik [[University of Melbourne]] yang seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik [[Sunda]] untuk latihan dan pementasan di festival-festival.
== Sumber rujukan ==
*[[Ganjar Kurnia]]. 2003. ''Deskripsi kesenian Jawa Barat''. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
|