Irfan Hielmy: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Syusuf2016 (bicara | kontrib) |
Syusuf2016 (bicara | kontrib) |
||
Baris 47:
Ihwal kebersahajaan dan kesederhanaan Darussalam ternyata sama tuanya dengan sejarah pesantren ini. Nun di paruh 1929, 84 tahun silam, K.H. Ahmad Fadlil (wafat th. 1950), ayahanda [[K.H. Irfan Hielmy]] (wafat tahun 2010), memulai kisah kebersahajaan dengan sebuah masjid dan sebuah bilik sebagai asrama. Santri yang pertama kali mondok adalah pemuda-pemuda setempat yang tidak hanya diajari ilmu-ilmu agama, akan tetapi diajak mengolah sawah, bercocok tanam dan diberi contoh bagaimana memelihara bilik dan memakmurkan masjid. Pesantren Tjidewa, sebutan untuk komunitas baru itu, dengan cepat mendapat simpati serta dukungan dari masyarakat sekitar dan lebih banyak lagi santri yang mondok.
Adalah suami-istri Mas [[Astapradja]] dan [[Siti Hasanah]] yang mewakafkan tanahnya di Kampung [[Kandanggajah]], Desa [[Dewasari]], [[Kecamatan]] [[Cijeungjing]], [[Kabupaten]] [[Ciamis]] [[Jawa Barat]] kepada K.H. Ahmad Fadlil. Dibantu oleh masyarakat dan santri, Pesantren Tjidewa menapaki guratan sejarah dengan optimisme menghilangkan benalu yang menempel dalam ajaran [[Islam]].
Menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, di Pesantren Tjidewa sudah mondok 400 orang santri yang mengaji
Keputusan K.H. Ahmad Fadlil dengan hanya menerima santri putra tidak terlepas dari kondisi saat itu yang tidak bisa terlepas dari kontelasi keamanan akibat penjajahan Belanda. Akan tetapi karena didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah dan ditambah dengan meluapnya semangat santri untuk menghalau Belanda, K.H. Ahmad Fadlil juga mengajarkan strategi berdiplomasi mengatasi tekanan penjajah. Apalagi dengan kemampuannya berbahasa Belanda yang didapat dari kakeknya sejak di Sekolah Rakyat (Vervolg School)- dengan mudah bisa menyerap berbagai informasi yang kelak berguna sebagai modal berdiplomasi.
|