Galela, Halmahera Utara: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k →LEGENDATELAGA BIRU GALELA, HALMAHERA UTARA: ejaan, replaced: dari pada → daripada |
k ejaan, replaced: diantara → di antara, ditempat → di tempat, nafas → napas, ijin → izin (2) |
||
Baris 28:
(kemudian tidak ada catatan sejarah tentang Tobelo selama sekitar 150 tahun)
Baru pada tahun 1855 nama Tobelo kembali muncul, saat penduduk “kampong Tobelo” menolak untuk menyerahkan seorang bajak laut bernama bernama Laba kepada komandan kapal perang “Vesuvius”. Sang komandan kemudian memerintahkan untuk memborbardir kampung tersebut. Di lokasi tersebut,dikenal sebagai “Berera Ma Nguku” (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Tobelo) yang saat ini letaknya di desa Gamhoku (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Ternate). Setelah penghancuran, penduduknya dipindahkan ke lokasi yang berhadapan dengan pulau Kumo, dimana Gubernur Belanda untuk Maluku memerintahkan membangun pemukiman baru. Kampung ini dikenal sebagai “Berera Ma Hungi” (‘kampug baru’ dari bahasa Tobelo) dan sekarang dikenal dengan nama dari bahasa Ternate yaitu Gamsungi, dengan arti yang sama (kampung baru). Tapi pada saat itu, pemukiman orang Tobelo sudah menyebar di sepanjang pantai daerah Tobelo sekarang dan beberapa bagian pulau Morotai. Tahun 1856, penduduk Tobelo dikabarkan hidup di sembilan domain (negeri atau hoana) yang mana empat
== ORANG MORO DI BUMI HALMAHERA ==
Baris 66:
Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).
Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan
Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya.
Baris 119:
Dalam melakukan aksinya, para bajak laut Tobelo-Galela tidak diskriminatif. Pada Nopember 1874, perahu Sultan Buton dirompak dan sultan sendiri ikut bertempur menghadapi para perompak Galela. Para bajak laut Tobelo merompak perahu Sultan Banggai dalam perjalanannya ke Ternate, ketika ia akan beraudiensi dengan Sultan Ternate. Semua isi perahu dikuras habis, termasuk sejumlah upeti yang akan dipersembahkan kepada Sultan Ternate. Pada tahun yang sama, perompak Tobelo berhasil menguras sebuah kapal niaga di Seram.
Tetapi, dalam perompakan di pantai timur Sulawesi, misalnya, aparat Kesultanan Ternate yang
Berkenan dengan bajak laut Tobelo-Galela ini, A.B. Lapian antara lain mencatat:
Baris 139:
Sementara itu, setelah mengetahui bahwa para bajak laut kebanyakan terdiri dari orang Tobelo dan Galela, Pemerintah Hindia Belanda mencoba mendekati Sultan Ternate untuk mengatasinya, karena Tobelo dan Galela berada dalam wilayah hukum Kesultanan Ternate.
Sultan Muhammad Arsyad berjanji akan mengatasinya, seperti telah disebutkan di atas. Bersama Residen Ternate, Sultan kemudian men geluarkan peraturan bahwa semua perahu orang Tobelo dan Galela yang hendak berlayar harus memiliki surat
Keluarnya peraturan tersebut cukup efektif dalam menurunkan angka perompakan yang melibatkan orang Tobelo-Galela. Pada tahun 1862, misalnya, hanya ditemukan satu perahu Tobelo yang yang melakukan perompakan di pulau Buru, dan beberapa tahun berikutnya tidak terdengar lagi adanya pembajakan yang dilakukan orang Tobelo dan Galela. Baru pada bulan Februari 1868, terjadi pembajakan yang dilakuan orang Tobelo terhadap perahu Binongko di Buano, Seram Barat. Dalam kejadian ini, isi perahu ludes dirampok dan awaknya dibunuh.
|