Alun-alun: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
corrected
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes, replaced: dimana → di mana (2), asal-usul → asal usul
Baris 10:
Perkembangan alun-alun sangat tergantung dari [[evolusi]] pada budaya masyarakatnya yang meliputi tata nilai, pemerintahan, kepercayaan, perekonomian dan lain-lain.
 
'''Zaman Hindu-Budha''', alun-alun telah ada (Buku Negara Kertagama, menyatakan di Trowulan terdapat alun-alun) asal- usulnya ialah dari kepercayaan masyarakat tani yang setiap kali ingin menggunakan tanah untuk bercocok tanam, maka haruslah dibuat upacara minta izin kepada “dewi tanah”. Yaitu dengan jalan membuat sebuah lapangan “tanah sakral” yang berbentuk “persegi empat” yang selanjutnya dikenal sebagai alun-alun.
 
'''Masa kerajaan Mataram''', di Alun-alun depan istana secara rutin rakyat Mataram “seba” menghadap Penguasa (lihat Keraton Yogyakarta). Alun-alun pada masa ini sudah berfungsi sebagai pusat administratif dan sosial budaya bagi penduduk pribumi.
Baris 25:
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa (2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut beberapa aspek. Pertama, alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu sistem kekuasaan atas suatu wilayah tertentu, sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi antara dunia nyata (mikrokosmos) dan universum (makrokosmos). Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan ritual atau keagamaan. Ketiga, tempat mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktikkan kekuasaan sakral dari sang penguasa.
 
Penjelasan di atas tentu saja masih harus ditambahkan bahwa keberadaan alun-alun berfungsi pula sebagai ruang publik terbuka dimanadi mana rakyat saling bertemu dan fungsi pengaduan rakyat pada raja.
Sebagai ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk bercakap-cakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat dll. Bahkan istilah Plaza yang saat ini menjadi ikon modernitas di setiap kota, disinyalir oleh Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (2010) sebagai bentuk ruang publik yang telah mengalami pergeseran makna yang dahulunya adalah alun-alun[4]. B. Herry Priyono dalam bukunya Republik Tanpa Ruang Publik (2005) memberi peringatan akan dampak pergeseran makna Plaza yang semula adalah Alun-alun sebagai aktivitas ruang publik yang dinamis sbb: “ketika ruang publik telah menjelma menjadi komoditas komersial suatu masyarakat, maka pemaknaan ‘kewarganegaraan’ sebagai makhluk sosial, telah berganti menjadi pemaknaan bahwa masyarakat itu adalah konsumen belaka”.
 
Sebagai tempat pengaduan rakyat, alun-alun berfungsi sebagai tempat curhat dan protesnya masyarakat terhadap sebuah kebijakan pemerintahan dalam hal ini raja atau istana. Di alun-alun Yogyakarta pada zaman kolonial, tepat dimanadi mana berdirinya wringin kurung (pohon beringin yang dibatasi pagar) jika seseorang mengalami keberatan atau sebuah kebijakkan maka mereka akan duduk bersila seharian di sana dengan menggunakan tutup kepala putih dan pakaian putih. Tata cara ini disebut dengan pepe. Jika raja melihat keberadaan orang tersebut maka raja akan memerintahkan untuk membawa orang tersebut menghadap dan mengadukan persoalannya secara langsung.
 
Dalam buku Tahta Untuk Rakyat dikatakan, “Adanya cara ber-pepe ini menunjukkan bahwa pada zaman dulu sudah ada forum untuk memperjuangkan hak asasi manusia sehingga jelas itu bukan barang baru atau barang yang diimpor dari negara lain”