Gejolak historis biasanya melahirkan banyak pemikiran baru tentang bagaimana masyarakat seharusnya ditata. Hal inilah yang mengakibatkan tercetusnya [[Reformasi Protestan]].
Setelah runtuhnya lembaga-lembaga biara dan [[skolastisisme]] di Eropa pada akhir abad pertengahan, yang diperparah oleh [[Pembuangan ke Babel]] dari [[Kepausan di Avignon]], [[Skisma Barat|Skisma Besar]], dan kegagalan pembaruan oleh [[Gerakan Konsiliar]], pada abad ke-16 mulai matang perdebatan budaya yang besar mengenai pembaruan keagamaan dan kemudian juga nilai-nilai keagamaan yang dasariah. Para ahli sejarah pada umumnya mengasumsikan bahwa kegagalan untuk mereformasi (terlalu banyak kepentingan pribadi, kurangnya koordinasi di kalangan koalisi pembarua), akhirnya menyebabkan gejolak yang lebih besar atau bahkan revolusi, karena sistemnya akhirnya harus disesuaikan atau runtuh, dan kegagalan [[Gerakan Konsiliar]] melahirkan Reformasi Protestan di Eropa bagian barat. Gerakan-gerakan reformis yang frustrasi ini merentang dari [[nominalisme]], ibadah modern, hingga [[humanisme]] yang terjadi berbarengan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi, politik dan demografi yang ikut menyebabkan ketidakpuasan yang kian meningkat terhadap kekayaan dan kekuasaan kaum [[agamawan]] [[elit]], membuat masyarakat semakin peka terhadap kehancuran finansial dan moral dari gereja [[Renaisans]] yang sekular.
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh [[wabah pes]] mendorong penataan ulang secara radikal ekonomi dan akhirnya juga masyarakat Eropa. Namun demikian, di kalangan pusat-pusat kota yang bermunculan, bencana yang terjadi pada abad ke-14 dan awal abad ke-15, dan kekurangan tenaga kerja yang ditimbulkannya, merupakan dorongan kuat bagi diversifikasi ekonomi dan inovasi teknologi.