Ateisme di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k minor cosmetic change
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k Hukum: minor cosmetic change
Baris 9:
Ateisme di Indonesia tidak dilarang oleh hukum, setidaknya secara tersurat. Menurut Benjamin Fleming Intan, penulis buku ''Public Religion and the Pancasila-Based State of Indonesia'', agama memainkan peran penting dalam kehidupan rakyat Indonesia. Intan menjelaskan bahwa menurut prinsip-prinsip Pancasila, Indonesia tetap menjadi negara yang berbasis agama.<ref name="Intan2006">{{cite book|author=Benyamin Fleming Intan|title="Public Religion" and the Pancasila-Based State of Indonesia: An Ethical and Sociological Analysis|url=http://books.google.com/books?id=OXmRwiYEy1IC&pg=PA160|accessdate=7 November 2012|year=2006|publisher=Peter Lang|isbn=978-0-8204-7603-2|page=160}}</ref> Oleh sebab itu, Pancasila sebagai [[Ideologi|landasan ideologis]] negara pada sila pertama menyatakan bahwa Indonesia berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, dalam [[Rumusan-rumusan Pancasila|butir pertama sila pertama]] Pancasila dinyatakan: Percaya dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan kata lain, secara ideologi setiap warga negara Indonesia diwajibkan untuk percaya dan takwa kepada [[Tuhan]] dan memeluk suatu agama.<ref>[http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f4545a9b77df/bolehkah-menjadi-ateis-di-indonesia Bolehkah Menjadi Ateis di Indonesia?] Hukum Online</ref>
 
Tidak ada [[Hukum di Indonesia|hukum ataupun undang-undang Indonesia]] yang secara tegas melarang ataupun menentukan sanksi bagi seorang ateis. Namun, dengan menjadi ateis akan berdampak terhadap pemenuhan hak-hak dan kewajiban seseorang di mata hukum, misalnya kesulitan dalam pengurusan dokumen-dokumen kependudukan seperti [[Kartu Tanda Penduduk]], yang mengharuskan pencantuman agama, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Oleh sebab itu, ateis di Indonesia tetap diwajibkan untuk mencantumkan agama tertentu dalam dokumen kependudukannya untuk memenuhi persyaratan administratif. Juga dalam masalah perkawinan; menurut undang-undang perkawinan di Indonesia, [[perkawinan]] hanya sah jika dilakukan menurut hukum dari masing-masing agama yang dianutnya,<ref>[http://m.bisnis.com/quick-news/read/20140104/79/195439/ini-alasan-kemenag-tolak-penghapusan-kolom-agama-di-e-ktp Ini Alasan Kemenag Tolak Penghapusan Kolom Agama di e-KTP].</ref> sehingga seorang ateis kesulitan dalam memperoleh hak yang sama seperti yang dimiliki oleh penduduk yang beragama.<ref name="Lindsey2008">{{cite book |author=Timothy Lindsey|title=Indonesia, Law and Society|url=http://books.google.com/books?id=u-oeJzJHlBEC&pg=PA279|accessdate=7 November 2012|date=26 March 2008|publisher=Federation Press|isbn=978-1-86287-692-7|page=279}}</ref>
 
Meskipun seseorang tidak dikenakan sanksi atau hukuman karena menjadi seorang ateis, penyebar ateisme di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana, sesuai dengan Pasal 156a [[Kitab Undang-Undang Hukum Pidana]], yang menyebutkan: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun bagi barang siapa yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa."<ref name="Lindsey2008"/>