Sejarah Kota Samarinda: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 85:
Samarinda sebagai pusat pemerintahan berkembang pesat dengan fasilitas kantor, jalan umum, dan lainnya. Semuanya merupakan daya tarik bagi pemukim baru untuk menetap dί kota ini. Kawasan Samarinda yang dί seberang (Palarang) tidak berkembang lagi. Dengan peranan Palarang yang sudah tergantikan oleh kawasan di seberangnya maka tercetuslah istilah Samarinda Seberang untuk wilayah Palarang dan Samarinda untuk wilayah pusat kota dan pemerintahan.<ref>Sarip (2015), pp. 49-52</ref>
Pada tanggal 3 Februari 1942, Belanda menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Samarinda kepada balatentara Jepang. Tak seperti daerah lainnya, Pemerintah Hindia Belanda di Samarinda menyerah kepada Jepang tanpa perlawanan.<ref>Sarip, Muhammad (2016). ''Almanak Sejarah Samarinda''. Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari. ISBN 978-602-74363-1-2. p. 14-15.</ref>
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945 dan Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Samarinda dengan membonceng pasukan sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Pada tanggal 1 Januari 1946, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda membentuk Keresidenan Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda. Residen atau kepala pemerintahan Kaltim pertama adalah F.P. Heckman.<ref>Sarip, Muhammad (2016). ''Almanak Sejarah Samarinda''. Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari. ISBN 978-602-74363-1-2. p. 2.</ref>
Dalam rentang waktu 1945 hingga 1949 rakyat Samarinda melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ada dua strategi perlawanan yang dipakai, yaitu jalur diplomasi dan jalur gerakan bersenjata. Aktivitas politik diplomasi dilakukan oleh partai lokal Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Front Nasional, dengan tokoh utamanya Abdoel Moeis Hassan. Sementara itu, jalur gerakan bersenjata ditempuh oleh para pemuda dengan mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) setelah berkoordinasi dengan rombongan BPRI dari Banjarmasin.<ref>Sarip (2015), pp. 120-139</ref>
Otoritas pemerintahan Belanda di Samarinda benar-benar berakhir pada 27 Desember 1949 sesuai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang mengharuskan Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia pada tanggal tersebut.<ref>Sarip, Muhammad (2016). ''Almanak Sejarah Samarinda''. Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari. ISBN 978-602-74363-1-2. p. 77.</ref>
Samarinda sejak dekade 1960-an dijuluki sebagai “pusat emas hijau”. Predikat ini dilatarbelakangi oleh keadaan alam Samarinda dan sekitarnya yang memiliki hutan belantara sangat luas dengan jenis pepohonan berukuran besar yang cocok untuk bahan bangunan dan industri.<ref>Sarip (2016), p. 49</ref>
|