Sejarah Kota Samarinda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 91:
Dalam rentang waktu 1945 hingga 1949 rakyat Samarinda melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ada dua strategi perlawanan yang dipakai, yaitu jalur diplomasi dan jalur gerakan bersenjata. Aktivitas politik diplomasi dilakukan oleh partai lokal Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Front Nasional, dengan tokoh utamanya [[Abdoel Moeis Hassan]]. Sementara itu, jalur gerakan bersenjata ditempuh oleh para pemuda dengan mendirikan [[Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia]] (BPRI) setelah berkoordinasi dengan rombongan BPRI dari [[Banjarmasin]].<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari'', pp. 120-139</ref>
 
Otoritas pemerintahan Belanda di Samarinda benar-benar berakhir pada 27 Desember 1949 sesuai hasil keputusan [[Konferensi Meja Bundar]] (KMB) di Den Haag yang mengharuskan Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia pada tanggal tersebut.<ref>Sarip (2016), ''Almanak Sejarah Samarinda'', p. 7779.</ref>
 
Samarinda sejak dekade 1960-an dijuluki sebagai “pusat emas hijau”. Predikat ini dilatarbelakangi oleh keadaan alam Samarinda dan sekitarnya yang memiliki hutan belantara sangat luas dengan jenis pepohonan berukuran besar yang cocok untuk bahan bangunan dan industri.<ref>Sarip (2016), ''Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda'', p. 49</ref>