Cosmas Michael Angkur: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 55:
Pada bulan Januari 1969, bersama Bruder Innocentius Kedang O.F.M., ia berangkat ke [[Papua]] (d.h. disebut Irian Barat) dalam rangka ikut serta membangun persaudaraan Fransiskan Indonesia bersama saudara-saudara Fransiskan misionaris yang masih merupakan anggota dari OFM Provinsi Belanda. Ia diutus menjadi Pastor Paroki Sentani dan merangkap menjadi Direktur Asrama Siswa-siswi SMP Misi di Sentani. Situasi Papua pada waktu itu masih cukup rawan karena sedang menghadapi pergolakan untuk [[Penentuan Pendapat Rakyat]] (Pepera; ''Act of Free Choice''), di mana sebagian rakyat Irian Barat pada waktu itu menginginkan merdeka dan lepas dari [[Indonesia]].
Setengah tahun kemudian, pada bulan Juni 1969, kedua saudara ini dipindahkan ke Lembah Balim, di Pegunungan Jayawijaya, di Paroki Kota Wamena. Tujuannya untuk bersama para misionaris yang lain membangun persaudaraan dengan [[Suku Balim]], seraya membangun persaudaraan Fransiskan Indonesia. Kemudian pada pertengahan Juli 1969, untuk sementara ia diminta pindah ke Paroki Enarotali, [[Paniai]], menggantikan Pater Filiphs Tettero, O.F.M. yang sedang cuti. Waktu itu, di [[Enarotali]] sedang terjadi pergolakan politik antara pemerintah Indonesia dengan gerakan [[Organisasi Papua Merdeka]], yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. Pergolakan ini menyebabkan penderitaan bagi masyarakat, yang terpaksa mengungsi ke hutan. Itulah sebabnya, ketika Pater Angkur tiba di Enarotali, praktis tak ada penduduk asli di sana. Yang ada hanyalah anggota ABRI. Dari tempat baru ini, ia juga mendapat tugas melayani Paroki Epouto, yang ditinggal lari umatnya ke hutan karena isu operasi militer yang berawal dari kawasan Waghete. Akhir Agustus ia kembali ke Wamena.
Dari Wamena ia membidani lahirnya sebuah paroki baru di Desa Hepuba, di pintu selatan Lembah Balim, pada bulan November 1969, yang wilayahnya meliputi daerah pesisir gunung bagian barat Lembah Balim, dari Wilayah Silimo sampai [[Sungai Ibele]]. Di tempat ini ia harus tidur di [[honai]], rumah adat masyarakat setempat, dan merayakan ekaristi di lapangan terbuka.
|