Bungoro, Pangkajene dan Kepulauan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: penggantian teks otomatis (- dibawah, +di bawah)
Baris 24:
Pada masa pemerintahan kekaraengan, Distrik Bungoro dikepalai oleh seorang [[Karaeng]] dan didampingi oleh 18 kepala kampung, seorang diantaranya bergelar [[Loho]], seorang bergelar [[Jennang]], tujuh orang bergelar [[Lo’mo]] dan delapan orang yang bergelar [[Matowa]] . Ornamentnya (arajangnya) terdiri dari selembar bendera yang dinamai [[Cinde]], yang kemunculannya dianggap dari langit lalu turun ke sebuah bukit yang bernama Cinde. Pusaka kekaraengan Bungoro lainnya adalah sebilah sonri (kelewang) dan tombak yang dinamai Masolo.(Makkulau, 2008).
 
Sebagaimana halnya dengan [[Barasa]] (Pangkajene) dalam permulaan Abad XVII, Bungoro jatuh ke dalam kekuasaan [[Kerajaan Gowa]]. Dalam tahun 1667, Bungoro bebas dari kekuasaan Gowa dan dimasukkan oleh Belanda ke dalam apa yang dikatakan Noorderprovincien. Dalam tahun 1824 semasa pemerintahan La Palowong Daeng Pasampo di Bungoro, sebahagian dari kekaraengan ini ditempatkan dibawahdi bawah pemerintahan Daeng Sidjalling, saudara dari La Palowong [[Daeng]] Pasampo. Bahagian yang dikuasai dan diperintah oleh Daeng Sidjalling itu dinamai “Tala’ju” atau “Bungoro Riwawo”, yang terdiri dari Kampung Salebbo (tempat kedudukan dari Karaeng), Barue’, Lampangang, Campagayya dan Landea. (Makkulau, 2008).
 
Sewaktu regent (Karaeng) Bungoro yang bernama La Mallantingang Daeng Pabeta dalam tahun 1668 berhenti dari jabatannya, anaknya yang bernama La Pabbicara Daeng Manimbangi masih kecil. Oleh karenanya, Kepala Regent Labakkang yang bernama La Mannaggongang Daeng Pasawi ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda selaku pejabat regent Bungoro untuk sementara waktu. (Makkulau, 2008).