Heldy Djafar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 20:
Akhirnya, pada tanggal [[19 Juni]] [[1968]], Heldy yang berusia 21 tahun menikah lagi dengan [[Gusti Suriansyah Noor]], keturunan dari [[Kerajaan Banjar]]. Kala itu Heldy yang sedang hamil tua mendapat kabar Soekarno wafat. Soekarno tutup usia pada tanggal [[21 Juni]] [[1970]], dalam usia 69 tahun. Belakangan, satu dari enam orang anaknya, Maya Firanti Noor, menikah dengan [[Ari Sigit]], cucu Presiden RI Soeharto.<ref name="merdeka.com" />
 
== Kehidupan awal ==
 
Heldy lahir di [[Tenggarong]], [[Kutai Kartanegara]], [[Kalimantan Timur]], pada tanggal [[10 Agustus]] [[1947]] dari pasangan H Djafar dan Hj Hamiah. Ia bungsu dari sembilan bersaudara.<ref name="Wisma Yaso 1" /> Ketika Hj Hamiah mengandung Heldy, wanita itu sempat melihat bulan bulat seutuhnya ([[bulan purnama]]). Lalu seorang rekan H Djafar yang sedang bertandang ke rumahnya ([[Tionghoa-Indonesia|seorang Tionghoa]]) mengatakan bahwa saat bayinya lahir harus dijaga hati-hati sampai beranjak dewasa, dan saat Heldy duduk di bangku [[SMP]], seorang tante yang dianggap pandai meramal dan biasa disapa Mbok Nong mengatakan bahwa kelak jika dewasa, ia akan mendapatkan "orang besar".<ref name="Wisma Yaso 2"/> Sejak kecil, ia sudah khatam membaca [[Al-Qur'an]].<ref name="Tergoda 6" />
Baris 34:
Setelah tamat dari SMP, Heldy hijrah ke [[Jakarta]] menyusul kakaknya untuk mencari ilmu. Cita-cita nya menjadi seorang desainer interior. Kendati jarak antara Samarinda-Jakarta lumayan jauh, namun Heldy tak pernah surut untuk melangkahkan kakinya meraih asa. Dari Samarinda, ia menumpang kapal menuju Balikpapan. Selanjutnya ia naik kapal laut Naira dari [[Pelabuhan Semayang]], [[Balikpapan]], menuju ke [[Surabaya]] ditemani familinya, Milot dan Izhar iparnya. Selanjutnya dari [[Surabaya]] mereka menumpang kereta api menuju Jakarta dan berhenti di [[Stasiun Gambir]]. Saat kakinya kali pertama menyentuh Jakarta, Heldy merasa bangga.<ref name="Tergoda 2" />
 
Apalagi pada tahun [[1963]], jalanan di Jakarta sudah ber[[aspal]], [[jembatan Semanggi]] yang lebar dan membentuk lengkungan menarik, rumah dan gedung terbuat dari [[beton]] dan rimbunnya dedaunan pohon-pohon besar di tepi jalan. Di kota metropolitan, Heldy tinggal di rumah kakaknya Erham, di Jalan Ciawi III nomer 4, [[Kebayoran Baru]], [[Jakarta Selatan]]. Erham sendiri bekerja di sebuah perusahaan [[bank]] dan sudah memiliki tiga orang anak. Sementara Yus, kakak Heldy, waktu itu masih kuliah di Fakultas Hukum [[Universitas Indonesia]]. Ia memilih tinggal di asrama Kalimantan, Jalan Cimahi 16, [[Menteng]], [[Jakarta Pusat]].<ref name="Tergoda 3" />
 
Yus dikenal sebagai aktivis organisasi. Ketika masih kuliah ia sudah didapuk menjadi Ketua Perhimpunan Pemuda Kalimantan Timur. Seminggu berada di Jakarta, Heldy diajak Yus main-main ke asrama. Di sana ada pemuda bernama Adji, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kehadiran Heldy menarik perhatian Adji. Sejak itu, kendati usianya terpaut lima tahun, keduanya saling mengunjungi.<ref name="Tergoda 4" />
Baris 48:
Pada tahun [[1964]], Yus dipercaya oleh protokol kepresidenan untuk menyiapkan barisan Bhinneka Tunggal Ika ke [[Istana Negara]]<ref name="Tergoda 7" /> dalam rangka penyambutan tim [[Piala Thomas]]. Heldy terpilih sebagai bagian dari barisan tersebut sebagai wakil dari Kalimantan. Begitu juga sepupu dan keponakannya. Presiden Soekarno menaiki anak tangga Istana melalui barisan Bhineka Tunggal Ika yang sudah rapi berbaris dan berdiri di setiap anak tangga. Bung Karno menaiki anak tangga satu persatu sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Tepat saat mendekati barisan di belakang Heldy, ia menyapa dengan caranya yang khas.<ref name="Tergoda 8" />
 
Selanjutnya, pertemuan antara Heldy dengan Bung Karno terjadi, ketika kepala sekolahnya, mengajak murid-muridnya, termasuk Heldy, ke [[Istana Bogor]] untuk masuk ke dalam barisan Bhineka Tunggal Ika. Mereka berangkat menumpang bus khusus.<ref name="Dekati 2" /> Sesampainya di Istana Bogor, para pagar ayu diminta berbaris dan menempati posisinya masing-masing untuk siap-siap menerima tamu. Saat itu, Heldy memilih berdiri di pojok, takut dilihat Sukarno. Ketika Presiden Sukarno memasuki ruangan untuk melihat barisan Bhineka Tunggal Ika, matanya mendadak menatap Heldy. Melalui ajudannya, Heldy lalu dipanggil Soekarno.<ref name="Dekati 3" />
 
Setelah itu, pertemuan antara Soekarno dengan Heldy terjadi kembali, saat anggota barisan Bhineka Tunggal Ika diwajibkan menyanyi di depan presiden, satu persatu. Dari sekian anggota, Heldy mendapat urutan nomor satu untuk menyanyi. Ia pun tarik olah vokal, menyanyikan lagu asal Kalimantan. Usai menyanyikan lagu berjudul 'Bajiku Batang' (padi), Bung Karno meminta Heldy untuk menyanyikannya sekali lagi.<ref name="Dekati 4" />