Lim Joey Thay: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Robot: Perubahan kosmetika
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 83:
== Sejarah ==
[[Berkas:Visum et repertum Pahlawan Revolusi (foto dokumen Jakarta Beat).jpg|thumb|left|280px|Berkas salinan forensik visum et repertum [[Pahlawan Revolusi]]]]
Setelah malapetaka [[Gerakan 30 September]] terjadi, otoritas yang berwenang pada saat itu membentuk tim yang dibentuk berdasarkan perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, tanggal 4 Oktober.
 
Surat perintah bernomor PRIN-03/10-1965 itu ditandatangani Panglima Kostrad yang juga Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Mayjen Soeharto. Selanjutnya Kepala RSP-AD meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik.
Baris 91:
4 Oktober 1965 pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh Gerakan 30 September tiga hari sebelumnya. Ketujuh perwira naas itu adalah Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen [[Ahmad Yani]], Deputi II Menpangad Mayjen [[R. Soeprapto]], Deputi III Menpangad Mayjen [[Mas Tirtodarmo Harjono]], Deputi IV Menpangad Brigjen [[Panjaitan|Donald Isaac Pandjaitan]], Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD Brigjen [[Sutoyo Siswomiharjo]], Asisten I Menpangad Mayjen [[S. Parman|Siswondo Parman]], dan Lettu [[Pierre Tendean]] (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal [[AH Nasution|Abdul Haris Nasution]]).
 
Sesuai dengan mandat, kelima dokter tersebut berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
 
{{cquote|Hasil otopsi yang dilakukan dr. Lim Joey Thay dan teman-temannya sama sekali tidak menemukan tanda-tanda rusaknya jenazah seperti yang dilaporkan media massa yang dikuasai [[Angkatan Darat]], yaitu [[Angkatan Bersendjata]] dan [[Berita Yudha]], dan beberapa media cetak lain yang diperbolehkan beredar selagi mengikuti aturan main dan kemauan pihak militer. Sumber berita lain di masa itu adalah [[RRI]], [[TVRI]] dan Kantor Berita [[Antara]].<ref name="visumg30s"/><ref>{{cite web|url=http://news.detik.com/berita/1775233/lim-joe-thay-dokter-yang-memvisum-jasad-pahlawan-revolusi-itu-telah-tiada|title=Lim Joe Thay, Dokter yang Memvisum Jasad Pahlawan Revolusi Itu Telah Tiada|authors=(ahy/irw)|publisher=news.detik.com|date=Jumat 25 Nov 2011, 01:09 WIB|accessdate=September 24, 2015|archiveurl=https://web.archive.org/web/20150924224345/http://news.detik.com/berita/1775233/lim-joe-thay-dokter-yang-memvisum-jasad-pahlawan-revolusi-itu-telah-tiada|archivedate=September 24, 2015}}</ref>}}
Baris 97:
[[Berkas:Sukarno dan Suharto.JPG|thumb|left|280px|Sukarno menyatakan bahwa [[Surat Perintah Sebelas Maret]] kepada [[Soeharto]] adalah surat kuasa untuk, diantaranya, mengamankan situasi dan kondisi keamanan, menjaga kewibawaan presiden, bukan surat transfer kekuasaan. Pasca 1 Oktober 1965, Mayjen [[Soeharto]] sebagai Panglima Kostrad dan Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menemukan jenazah perwira yang ditemukan dalam satu Lubang Buaya. Dengan legitimasi [[Supersemar]], gejolak ekonomi-politik, demo mahasiswa yang ditunggangi Pangkostrad, Soeharto menggantikan Soekarno sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967. Hingga Indonesia modern, peristiwa Gerakan 1 Oktober masih berkabut misteri tentang siapa sebenarnya dalang yang harus ditunjuk pada peristiwa berdarah tersebut. Pun, narasi ''komunis adalah atheis'' pada era reformasi dan abad informasi tetap menjadi komoditas sebagian caleg dan ajang kontestasi pemilihan umum]]
 
Hari-hari kemudian pasca peristiwa Gerakan 30 September atau Gerakan 1 Oktober adalah masa kritis politik dan stabilitas Republik Indonesia. Kabar simpang siur, suasana genting, pers yang sebelumnya liberal dan menjadi afiliasi orientasi politik tertentu ditutup pihak militer. Hanya beberapa yang diizinkan beredar. Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Sehari kemudian, media ini mempublikasikan cerita tentang detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya. Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai-sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja seperti “suara harimau yang haus darah.”
 
Berita Yudha, 8 Oktober, menegaskan kembali soal pencungkilan mata dan menambahkan bahwa para perwira Angkatan Darat ditemukan terbungkus kain hitam. Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh “penteror-penteror biadab” namun dia masih dapat dikenali, edisi 9 Oktober. Sehari kemudian koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian. Menurut pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong. Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detil tentang pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani.
 
Presiden Soekarno pada 13 Desember 1965 menyatakan, “Saya pada waktu itu memakai saya punya ''gezond verstand''{{refn|group=note|name=gez|''Gezond verstand'' adalah bahasa Belanda untuk ''common sense'' atau akal sehat.}}, Saudara-saudara. Dan dengan memakai saya punya ''gezond verstand'', itu saya ''betwiffelen'', ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya melihat akibat daripada pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat seperti dibakar. Kebencian menyala-nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi gontok-gontokkan, yang kemudian malahan menjadi sembelih-sembelihan.”
Baris 106:
 
{{cquote|“Soeharto dan kelompoknya telah menerima hasil otopsi detil yang dilakukan ahli forensik sipil dan militer terhadap tubuh korban, para jenderal yang dibunuh 1 Oktober. Laporan itu memperjelas bahwa para jenderal ditembak mati dan mayat mereka dibuang ke sebuah sumur dalam di Lubang Buaya. Tetapi tanggal 6 Oktober, media massa yang dikontrol Soeharto melancarkan sebuah kampanye yang menyebutkan bahwa mata para jenderal dicongkel dan alat kelamin mereka dipotong,” tulis Ben Anderson dalam artikelnya tahun 1999, ''Indonesian Nationalism Today and in the Future.''<ref>{{cite web|url=http://teguhtimur.com/2011/11/25/hasil-autopsi-pahlawan-revolusi-dimasukkan-ke-dalam-laci/|title=Hasil Autopsi Pahlawan Revolusi Dimasukkan ke Dalam Laci|authors=Teguh Santosa|publisher=|date=25 November 2011|accessdate=24 September 2015|archiveurl=http://teguhtimur.com/2011/11/25/hasil-autopsi-pahlawan-revolusi-dimasukkan-ke-dalam-laci/|archivedate=24 Desember 11}}</ref>
}}
 
Akses komunikasi dan Informasi dekade 60-an masih terbatas. Paska kematian para perwira [[Pahlawan Revolusi]] menyebabkan gejolak di masyarakat. Perkembangan faksi militer pun bergulir, pemegang otoritas Pangkostrad Soeharto bergerak puncaknya legitimasi [[Supersemar|Surat Perintah Sebelas Maret]] melakukan manuver yang diklaimnya sebagai upaya stabilisasi keamanan, [[Sarwo Edhie Wibowo]] dengan [[Resimen Para Komando Angkatan Darat]] menguasai Ibu Kota Negara termasuk Istana Negara {{refn|group=note|name=g30s|Ben Anderson dalam tulisannya ''Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant'', menyatakan, “On his deathbed, the by-then marginalized General Sarwo Edhie, who led the Red Berets in 1965-66, even said he had been responsible for the death of three million people.”}}, benturan massa basis ideologi agama dan politik memanas.
 
== Lihat juga ==