Jan Wolters: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 5:
Pribadi Romo Jan Wolters adalah seorang periang, berjiwa petualang, sangat giat berkarya terutama membangun umat di pedesaan, rajin mengunjungi umat yang terpencil. Romo Wolters kerap menyebut dirinya "pastor desa," mengingat tugasnya yang hampir tidak pernah di kota. Dari karakter Romo Jan Wolters, yang paling menonjol adalah bahwa dia seorang pastor yang sangat mencintai orang Jawa, menghormati tata nilai dan kebudayaan luhurnya, serta pandai [[bahasa Jawa|berbahasa Jawa]] (krama inggil). Bersama Romo van Megen CM dan Romo Anton Bastiaensen CM, Romo Jan Wolters disebut "rasul Katolik Jawa" (karena kecintaannya pada tugas mewartakan Injil kepada orang-orang Jawa. <ref> Armada Riyanto CM, ''80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia'', CM Provinsi Indonesia, 2003, hlm. 204; bagian tentang kesaksian dari Romo Sjef van Mensvoort); Bdk. Piet Boonekamp CM., "Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya", dalam H. Muskens, ed., ''Sejarah Gereja Katolik Indonesia'', Jilid 3b, Ende-Flores 1974, hlm. 949-999.</ref>. Stasi-stasi Paroki di wilayah Blitar, Tulungagung, dan Kediri adalah buah-buah kegigihan pewartaan yang dia kerjakan bersama dengan umat setempat dan para misionaris yang lain. "Stasi" adalah wilayah atau daerah dimana tinggal umat Katolik yang membentuk komunitas. Biasanya disebut stasi, karena ada banyak umat dan memiliki satu gereja.
Romo L. Bartels CM menulis bahwa Pastor Jan Wolters, CM adalah seorang misionaris yang simpatik, penuh humor dengan kesederhanaan dan spontanitasnya.<ref>Ibid., hlm. 204.</ref> Kecintaannya pada seni dan kebudayaan Jawa memungkinkan sebuah perjumpaan hebat dengan [[Henri Maclaine Pont]]. Keduanya kemudian merintis pembangunan [[Gereja Puhsarang]] yang menjadi harta rohani situs penting dalam kebudayaan dan keagamaan bukan saja bagi Gereja Katolik tetapi juga peradaban manusia di wilayah [[Kediri]], [[Jawa Timur]], dan [[Indonesia]]. Dalam kenyataannya, "gua kecil" di samping bangunan gereja yang estetik Jawa itu selalu dikunjungi oleh umat dari segala agama untuk bermeditasi dan melakukan ujub-ujub kehidupan. <ref>''Missiefront'', Oktober 1954, hlm. 136-137.</ref>
|