Tari Topeng Cirebon (Gaya Palimanan): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: penggantian teks otomatis (- didalam, + di dalam) |
kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 17:
Pada masa kemudian, ''Ki'' Wentar dan ''Ki'' Koncar berkolaborasi dengan Raden Sambas Wirakukusuma (''Ki Lurah'' Ranca Ekek) untuk mendesain sebuah tarian baru yang menggabungkan gerakan tari Topeng Cirebon dengan Tayub (kesenian tari yang biasa digelar di acara kenegaraan di kesultanan-kesultanan di Cirebon), tarian baru tersebut kemudian dikenal dengan nama tari Kursus, sebuah tarian yang dipentaskan tanpa memakai topeng. nama tari Kursus ini kemudian sering diasosiasikan kepada kelompok tari milik Raden Sambas Wirakukusuma yakni kelompok tari Wiramahsari, nama tari Kursus yang merupakan perpaduan gerakan tari Topeng Cirebon gaya Palimanan dengan Tayub ini kemudian diperkenalkan secara luas melalui artikel di dalam jurnal Djawa yang diproduksi oleh Belanda pada tahun 1930 yang berjudul ''De Soendaneesche Dans'', artikel mengenai tari Kursus tersebut ditulis oleh M Soeriadiradja dan I Adiwidjaja yang menggambarkan secara rinci gerakan-gerakan pada tari Kursus tersebut,<ref>Soeriadiradja, M . I. Adiwidjaja, 1930. De Soendaneesche Dans. : Djawa</ref>namun pada tahun 1950-an, tari kursus ini kemudian dianggap hampir serupa dengan kesenian Tayub.
Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan oleh budayawan Cirebon dianggap mencapai masa kejayaannya pada masa ''mimi'' ([[bahasa Indonesia]] : ibu) Soedji (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan dan seorang penari tayub) masih hidup atau hingga sekitar tahun 1970-an, yaitu dengan digelarnya tari Topeng Cirebon gaya Palimanan hingga ke mancanegara,
Setelah ''mimi'' Soedji meninggal, seniman yang masih mempertahankan gaya Palimanan antara lain adalah ''Ki'' Sukarta, ''Ki'' Waryo (putera dari ''Ki'' Empek (maestro kesenian Cirebon), ''mimi Tursini (yang merupakan anak kandung ''mimi'' Soedji) dan ''mimi'' Nani Kadmini.
|