Terbelahnya bulan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
RusdianaDablang (bicara | kontrib)
RusdianaDablang (bicara | kontrib)
Baris 10:
== Kebenaran kisah ==
Selain dengan adanya dua dalil naqli di atas, Prof. [[Muhammad Hamidullah]] (1909-2002) dalam kitabnya, "Muhammad Rasulullah" memberi satu catatan tersendiri mengenai ini. Dia menjelaskan bahwa di [[Museum Britania]], [[London]], ada sebuah manuskrip tua dari [[India]] dengan nomor induk 2807/152-173 yang bercerita bahwa salah seorang raja [[Malabar]] -barat daya di India-, yaitu [[Chakrawati Farmas]] pernah melihat bulan terbelah pada zaman Rasulullah {{saw}}.<ref name="zaghlul">{{aut|[[Zaghlul Raghib Al-Najjar|Al-Najjar, Zaghlul Raghib]]}} (2013). ''Buku Pintar Sains dalam Hadits: Mengerti Mukjizat Ilmiah Sabda Nabi {{saw}}''. hlm.137{{spaced ndash}}142. [[Jakarta]]:Zaman. ISBN 978-602-17-7434-2.</ref> Dia ceritakan pada orang-orang, hingga pada suatu hari, datang segerombolan pedagang [[Muslim]] yang hendak ke [[Cina]], tetapi singgah dulu di Malabar. Tatkala mendengar cerita itu, pedagang-pedagang itu meyakinkan bahwa itu adalah mukjizat Rasulullah yang mulia. Akhirnya dia mendatangi Rasulullah, dan kemudian masuk Islam. Dia pulang, tetapi sayang, di tengah jalan, ajal menjemput. Kemudian dia dikuburkan di [[Thafar]]. Kabar itu kemudian sampai ke Malabar, akhirnya semua penduduknya masuk Islam dan menjadi daerah pertama India yang masuk Islam.<ref name=zaghlul/>
 
== Perspektif lain ==
 
Al-Zamakhshari, seorang komentator terkenal Alquran, mengakui perpecahan bulan sebagai salah satu keajaiban Muhammad. Tapi dia juga menyarankan agar pembubaran itu bisa terjadi hanya pada hari penghakiman. [4] Sarjana Muslim Yusuf Ali memberikan tiga interpretasi yang berbeda terhadap ayat tersebut. Dia berpendapat bahwa mungkin ketiganya berlaku untuk ayat tersebut: Bulan pernah muncul terbelah pada saat Muhammad untuk meyakinkan orang-orang yang tidak beriman. Ini akan terbelah lagi ketika penghakiman hari mendekat (inilah masa lampau kenabian diambil untuk menunjukkan masa depan). Yusuf Ali menghubungkan kejadian ini dengan gangguan tata surya yang disebutkan di 75: 8-9. Terakhir, dia mengatakan bahwa ayat-ayat itu bisa bersifat metaforis, yang berarti bahwa masalah tersebut telah menjadi jelas seperti bulan. [11]
 
Beberapa komentator dissenting yang tidak menerima narasi mukjizat percaya bahwa ayat tersebut hanya mengacu pada pemisahan bulan pada hari penghakiman. [9] [12] Demikian juga, M. A. S. Abdel Haleem menulis:
 
Bahasa Arab menggunakan bentuk lampau, seolah-olah hari itu sudah ada di sini, untuk membantu pembaca / pendengar membayangkan bagaimana jadinya. Beberapa komentator tradisional berpandangan bahwa ini menggambarkan peristiwa aktual pada zaman Nabi, namun ini jelas mengacu pada akhir dunia. [13]
 
Beberapa ilmuwan Muslim mendalilkan dan percaya bahwa sebuah peristiwa Astronomi (sekarang diketahui) pasti terjadi pada saat itu, yang membuatnya tampak bagi para pengamat seolah-olah bulan telah terbelah menjadi dua, karena fenomena tersebut juga setidaknya terlihat di India. [14] Salah satu peristiwa lunar yang mungkin terjadi adalah sebuah asteroid besar yang menabrak bulan, dan bulu-bulu dan puing-puing dari pemogokan menghalangi pandangan bulan yang cukup untuk membuatnya tampak seolah-olah Bulan telah membelah menjadi dua. Kemungkinan kedua bisa menjadi benda langit yang melintas antara Bumi dan Bulan dan menghalangi sebagian permukaan lunar untuk waktu yang singkat. Selain itu, dalam terang ayat yang diturunkan pada saat itu, kata "Saa'at" juga berarti revolusi spiritual, jadi acara tersebut juga melambangkan akhir budaya dan agama Arab Pagan yang menggunakan Bulan sebagai simbol atau bulan pemujaan mereka. Dewa.
 
Sejarawan Barat seperti A.J. Wensinck dan Denis Gril, menolak historisitas mukjizat tersebut dengan alasan bahwa Alquran sendiri menyangkal mukjizat, dalam pengertian tradisional mereka, sehubungan dengan Muhammad. [7] [15]
 
== Perdebatan tentang tak tergoyahkannya benda sorgawi ==
 
Quran 54: 1-2 adalah bagian dari perdebatan antara para teolog Muslim abad pertengahan dan filsuf Muslim mengenai isu ketidaklayakan tubuh surgawi. Para filsuf berpendapat bahwa alam terdiri dari empat elemen mendasar: bumi, udara, api, dan air. Namun para filsuf ini berpendapat bahwa komposisi benda-benda langit itu berbeda. Keyakinan ini didasarkan pada pengamatan bahwa gerak benda sorgawi, tidak seperti benda-benda terestrial, melingkar dan tanpa ada awal atau akhir. Kemunculan kekekalan di dalam tubuh surgawi ini, membuat para filsuf menyimpulkan bahwa langit tidak dapat diganggu gugat. Para teolog di sisi lain mengusulkan konsepsi mereka sendiri tentang masalah terestrial: sifatnya terdiri dari atom-atom seragam yang diciptakan kembali setiap saat oleh Tuhan (gagasan terakhir ditambahkan untuk mempertahankan kemahakuasaan Allah melawan perambahan sebab-sebab sekunder yang independen) . Menurut konsepsi ini, tubuh surgawi pada dasarnya sama dengan tubuh terestrial, dan karenanya bisa ditembus. [4]
 
Untuk mengatasi implikasi pemahaman tradisional dari ayat Alquran 54: 1-2, beberapa filsuf berpendapat bahwa ayat tersebut harus ditafsirkan secara metaforis (misalnya, ayat tersebut dapat merujuk pada gerhana bulan parsial yang kemudian dikaburkan oleh bumi dari bagian Bulan). [4]
 
== Sastra ==