Tafsir Al-Qur'an: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 1:
{{islam}}
{{Quran}}
Baris 9 ⟶ 8:
Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.<ref>as-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, hlm. 187.</ref>
== Urgensi
Al-Qur’an diturunkan kepada [[Nabi Muhammad]] shallallahu 'alaihi wa sallam melalui [[malaikat Jibril]] dalam [[bahasa Arab]] dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar [[aqidah]], kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal [[Al-Qur’an]] yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir [[Al-Qur'an]]
== Sejarah
Sejarah ini diawali dengan masa [[Muhammad|Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada [[Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan [[Al-Qur'an]] :
# [[Al-Qur'an]] itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara [[global]] di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
Baris 21 ⟶ 20:
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi [[tabi’in]] yang belajar [[Islam]] melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran [[Al-Qur'an]] yang masing-masing melahirkan [[madrasah]] atau [[madzhab]] tersendiri yaitu [[Mekkah]] dengan madrasah [[Ibn Abbas]] dengan murid-murid antara lain [[Mujahid ibn Jabir]], [[Atha ibn Abi Ribah]], [[Ikrimah Maula Ibn Abbas]], [[Thaus ibn Kisan al-Yamani]] dan [[Said ibn Jabir]]. [[Madinah]] dengan madrasah [[Ubay ibn Ka’ab]] dengan murid-murid [[Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi]], [[Abu al-Aliyah ar-Riyahi]] dan [[Zaid ibn Aslam]] dan [[Irak]] dengan madrasah [[Ibn Mas’ud]] dengan murid-murid [[al-Hasan al-Bashri]], [[Masruq ibn al-Ajda]], [[Qatadah ibn-Di’amah]], [[Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani]] dan [[Marah al-Hamdani]].
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari [[hadits]] namun masing-masing [[madrasah]] meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa [[kodifikasi]] hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum [[sistematis]] sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti [[Ibn Majah]], [[Ibn Jarir at-Thabari]], [[Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi]] dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut [[tafsir bi al-Matsur]].
Baris 28 ⟶ 27:
== Bentuk Tafsir Al-Qur'an ==
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
=== Tafsir bi al-Matsur ===
Dinamai dengan nama ini (dari kata ''atsar'' yang berarti [[sunnah]], [[hadits]], jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang [[mufassir]] menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada [[Nabi SAW|Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam]]. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang [[shahih]] yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas [[Kitabullah]], dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar [[tabi'in]] karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
Baris 47 ⟶ 46:
Dengan itu Dia menafsirkan makna ''zhalim'' dengan [[syirik]].
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: [[Tafsir Ibnu Jarir]], [[Tafsir Abu Laits As Samarkandy]], [[Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur]] (karya [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin As Sayuthi]]), [[Tafsir Ibnu Katsir]], [[Tafsir Al Baghawy]] dan [[Tafsir Baqy ibn Makhlad]], [[Asbabun Nuzul]] (karya [[Al Wahidy]]) dan [[An Nasikh wal Mansukh]] (karya [[Abu Ja'far An Nahhas]]).
=== Tafsir bi ar-Rayi ===
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah [[Abbasiyah]] maka tafsir ini memperbesar peranan [[ijtihad]] dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu [[bahasa Arab]], ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, [[hadits]] dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
Baris 58 ⟶ 57:
Kata ''alaq'' disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ''alaqah'' yang berarti segumpal [[darah]] yang kental.
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: [[Tafsir Al Jalalain]] (karya [[Jalaluddin al-Mahalli|Jalaluddin Muhammad Al Mahally]] dan disempurnakan oleh [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi]]),[[Tafsir Al Baidhawi]], [[Tafsir Al Fakhrur Razy]], [[Tafsir Abu Suud]], [[Tafsir An Nasafy]], [[Tafsir Al Khatib]], [[Tafsir Al Khazin]].
Baris 72 ⟶ 71:
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: [[Tafsir An Naisabury]], [[Tafsir Al Alusy]], [[Tafsir At Tastary]], [[Tafsir Ibnu Araby]].
== Metodologi Tafsir Al-Qur'an ==
Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam. Yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.
Baris 79 ⟶ 78:
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur [[I’jaz]], [[balaghah]], dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu [[hukum]] [[fiqih]], [[dalil syar’i]], arti secara bahasa, [[Norma (sosiologi)|norma]]-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut [[Malik bin Nabi]], tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat [[Islam]] dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .
Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
Baris 95 ⟶ 94:
Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam al-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
== Macam
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab [[fiqih]], kecenderungan [[sufisme]] dari [[mufassir]] itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. [[Abdullah Darraz]] mengatakan dalam [[an-Naba’ al-Azhim]] sebagai berikut:
Baris 118 ⟶ 117:
* '''Fakhruddin Ar Rozi''', bernama lengkap '''Muhammad bin Umar bin Al Hasan Attamimi Al Bakri Atthobaristani Ar Rozi Fakhruddin''' yang terkenal dengan sebutan '''Ibnul Khotib As Syafi’i''', lahir di Royyi pada tahun 543 H. dan wafat pada tahun 606 H. di harrot, mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pasti, dan juga mendalami ilmu filsafat dan mantiq, karangannya adalah mafatihul Ghoib fi Tafsirul Qur’an, Al Muhasshol fi Ushulil Fiqh, Ta’jizul Falasifah dan lain-lainya.
== Ilmu
# '''Lughat (fitologi)''', yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Al-Qur'an. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
# '''Nahwu (tata bahasa)'''. Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
Baris 143 ⟶ 142:
{{Ulumul Qur'an}}
[[
[[
|