Pertempuran Lima Hari: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kendy Gaming (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Eko Sriyatno (bicara | kontrib)
Baris 13:
== Kronologi ==
* Pada [[1 Maret]] [[1942]], [[tentara]] [[Jepang]] mendarat di [[Pulau Jawa]], dan tujuh hari kemudian, tepatnya, [[8 Maret]], pemerintah kolonial [[Belanda]] menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang
* Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di [[Hiroshima]] dan [[Nagasaki]]. Peristiwa itu terjadi pada [[6 Agustus|6]] dan [[9 Agustus]] [[1945.]] Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada [[17Agustus194517 Agustus]] [[1945]].
* Hal pertama yang menyulut kemarahan para pemuda [[Indonesia]] adalah ketika pemuda [[Indonesia]] memindahkan tawanan [[Jepang]] dari Cepiring ke Bulu, dan di tengah jalan mereka kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai dibawah pimpinan Jendral Nakamura. Kidobutai terkenal sebagai pasukan yang paling berani, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka bergabung bersama pasukan Kidobutai di Jatingaleh.
* Setelah kaburnya tawanan Jepang, pada Minggu, [[14 Oktober]] [[1945]], pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan [[Pusat Rumah Sakit Rakyat|RS Purusara]]. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang [[Reservoir Siranda]] di [[Candi, Candisari, Semarang|Candilama]]. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, desa Wungkal, waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di kota [[Semarang]]. Sebagai kepala RS Purusara (sekarang [[RSRumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi|RumahRSUP SakitDr. Kariadi]]) Dokter Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar [[dr. Kariadi]], Kepala [[Laboratorium]] Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di [[Jalan Pandanaran]]. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
 
=== Peristiwa Lain ===