Tarombo Batak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Mahreza (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tarombo Dari Silalahi
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 1:
{{copy edit|date:June=Agustus 2016}}
{{refimprove}}
'''Tarombo Batak''' adalah silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam [[suku Batak]]. Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat suku bangsa Batak untuk mengetahui silsilahnya agar mengetahui letak hubungan kekerabatan dapat diketahui sesuaiterkhusus dengandalam falsafah Dalihan Natolu.
 
Tarombo si Raja Batak (silsilah garis keturunan suku bangsa Batak) dimulai dari seorang individu bernama ''Raja Batak''.
 
Si Raja Batak berdiam di lereng [[Pusuk Buhit]], yangSianjur dikenalMulamula, dengan nama "sianjur mula-mula"namanya. Sehingga wilayah/lereng Pusuk Buhit dapat dikatakan sebagai daerah asal-muasal suku bangsa Batak. yang kemudian menyebar ke berbagai pelosok, baik Indonesia maupun dunia.
 
Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra, yaitu:
Baris 55 ⟶ 56:
# Sorba di Jolma Mangalap Br Nairasaon
# Tuan Sorbadibanua,Mangalap Br Sanggul Haomason
Naiambaton, kurang pas, dibacaseharusnya atau aslinya adalah ''Nai Ambaton'') dan Nairasaon dibacaseharusnya atau aslinya ''Nai Rasaon'', tidak didahului dengan kata "Raja". Karena yang dimaksud "raja" ialah pomparannya yang LAKI-LAKI. Kedua orang tersebut, Nai Ambaton dan Nai Rasaon adalah Ibu. Maka seharusnya ada pertukaran letak suku kata, bukan "pomparan raja naiambaton atau nairasan" tetapi seharusnya adalah "raja pomparan ni nai ambaton" atau raja pomparan ni nai rasaon" dan seterusnya. Kata "Nai" dalam bahasa Batak asli adalah panggilan-kehormatan, semacam "gelar". Karena kata Nai bagi seorang ibu dan kata "Amani" bagi seorang bapak menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang bersangkutan sudah berhasil naik setingkat dalam status sosial bermasyarakat, dalam arti ibu dan bapak yang bersangkutan sehari-hari dipanggil dengan nama anak pertama, lepas dari laki atau perempuan. Namun kepada sang bapak, di depan nama anak-pertama tsb ditambahkan "Amani", semisal anak pertama tsb ialah si Bunga, maka si bapak dipanggil sehari-hari, "Amani Bunga". Sementara si ibu sehari-hari dipanggil "Nai Bunga", karena anak-pertama dari perkawinan mereka berdua diberi nama si Bunga. Semisal, sudah lahir anak pertama dan ternyata laki-laki, namun belum diberi nama, maka secara otomatis bernama "Ucok", sementara kalau yang lahir tersebut adalah perempuan, otomatis bernama "Butet". Sepanjang anak pertama lahir tersebut belum diberi nama, maka kedua orang, suami-istri tersebut akan dipanggil Amani Ucuk/ Nai Ucok atau Amani/ Nai Butet. Di wilayah/daerah p. Samosir hal ini dianggap sangat elementer, namun sangat penting dalam etika berbicara, berkomunikasi dan pergaulan-bermasyarakat sehari-hari. Orang yang memanggil orang lain dengan panggilan "gelar", merasa menghormati orang yang bersangkutan dan orang yang dipanggil akan merasa dihormati. Kalau sepasang suami-istri masih dalam penantian anak dari perkawinan, maka ada dua opsi. Pertama, diberi nama yang agak abstrak, misalnya Amani/ Nai Paima. Paima, secara harfiah berarti "menanti". Opsi kedua, mengambil-pinjam nama anak kedua atau ketiga atau keempat dari abang-kandung sang suami, yang belum dipergunakan oleh orang lain dalam kerluarga dekat. Bagi kita yang sudah hidup dikota, kita dipanggil dengan nama kecil kita, tidak masalah. Lain halnya dengan masyarakat kampung yang masih terikat dengan nilai dan tradisi lama secara turun-temurun. Masyarakat di kampung akan merasa plong, bebas, nyaman dan tidak terbebani, bila memanggil seseorang dengan gelar. Contoh di atas, Amani Bunga untuk sang bapak dan Nai Bunga untuk sang ibu.
 
Demikian halnya atas dua nama yang diberi koment di atas. Nai Ambaton ("panggoaran"), nama kecil ialah si Boru Anting-anting Sabungan/Boru Paromas (puteri Guru Tatea Bulan, "mar pariban"/"sisters" dengan si Boru Pareme). Si Boru Paromas adalah istri pertama dari Tuan Sorimangaraja (anak dari Raja Isumbaon). Anak yg dilahirkan si Boru Paromas/Nai Ambaton, satu, bernama Ompu Tuan Nabolon; namun ada juga penulis yang menyebut namanya Ompu Sorbadijulu. Anak-anak O Tuan Nabolon inilah si Bolontua ([[Simbolon]] - seluruhnya), Tambatua - melahirkan banyak marga-marga, Saragitua - melahirkan banyak marga-marga, dan Muntetua - yang juga melahirkan banyak marga-marga. Jumlah marga yang termasuk dalam PARNA ada 48 marga.
Baris 88 ⟶ 89:
Disamping versi tersebut, ada versi lain yang mengatakan namun tidaklah berbeda jauh dari kisah di atas. Dikisahkan tidak sampai terjadi kejadian namarultop i, sebelum kejadian marultop, Pinta Haomasan sudah lebih dahulu memberitahukan Tamba Tua apa yang telah dilakukan Tuan Sorba Dijulu ayahanda mereka, dengan rasa kekecewaan dan sedih akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya sepakat untuk pergi dari tanah Pangururan. Lalu di versi yang lain dikatakan setelah kejadian marultop, muncul lah perasaan dendam Si Bolon Tua terhadap Tamba Tua di mana dia telah membuat masalah akan siakkangan, padahal saat marultop telah terbukti Tamba Tualah yang berdarah kena ultop Si Bolon Tua, dan Si Bolon Tua berencana membunuh Tamba Tua, namun rencana Si Bolon Tua diketahui Pinta Haomasan, dan dengan segera Pinta Haomasan memberitahukannya pada Tamba Tua, akhirnya Tamba Tua sepakat pergi meninggalkan tanah Pangururan bersama adik-adiknya.
 
Perlu untuk kita ketahui kembali, Pinta Haomasan menikah dengan Raja Silahi Sabungan?????(VERSI SILALAHI RAJA), dan Tamba Tualah yang menikahkan Pinta Haomasan dengan Raja Silahi Sabungan disaksikan Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua. Saat itu Si Bolon Tua terlalu sibuk dengan urusannya bersama Tuan Sorba Dijulu marmahan, berburu, mengadu kesaktian sehingga Tamba Tualah yang mangamai Pinta Haomasan saat itu, di mana posisi Tamba Tua sudah menikah dengan boru Malau Pase. Namun hari-hari kegiatan Pinta Haomasan banyak dihabiskan bersama ibotonaibotonya karena RajaLahisabungan Silahi Sabungan yangsering mengadu kesaktian di luar tanah Pangururan dan jarang kembali. Keturunan dari Pinta Haomasan adalah Silalahi Raja atau SILALAHI RAJA???. Namun setelah Silalahi Raja besar dia tidak lagi dapat berkumpul dengan tulangnya Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua dan anak-anak tulangnya, karena Tamba Tua dan adik-adiknya serta keturunannya sudah pergi dari tanah Pangururan, sehingga hanya tinggal Si Bolon Tua dan keturunannya lah yang tinggal di tanah Pangururan. Oleh karena itu, Silalahi Raja menikahi boru tulangnya dari Si Bolon Tua, dan itu terjadi piga-piga sundut mangalap boru tulangna Si Bolon Tua. Karena sudah beberapa sundut mengambil boru tulangnya dari Si Bolon Tua, maka dikatakanlah Silalahi Raja boru sihabolonan ni Simbolon, karena sudah mengambil dari atas boru Simbolon. Selebihnya pihak Silalahi Raja lah yang lebih mengetahuinya...Pertanyaannya 1. KENAPA SILAHISABUNGAN TIDAK MEMBERITAHUKAN KEPADA ANAK-ANAKNYA YANG LAIN TENTANG KEBERADAAN SILALHI RAJA INI, ???? 2. DIMANA KUBURAN SILALAHI RAJA INI???..
 
Akhirnya Tamba Tua dan adik-adiknya menemukan tanah baru yang cocok untuk ditempati bersama semua keturunannya dan keturunan adik-adiknya, diberilah nama huta itu huta Tamba. Disinilah dimulai parserahan marga-marga mayoritas PARNA. Setelah menempati kampung yang baru dan membangun kampung tersebut, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua, dan Nahampun Tua sepakat untuk menghambat Si Bolon Tua. Tamba Tua di huta Tamba-Samosir, Saragi Tua pergi ke Simalungun, Munthe Tua ke tanah Karo, dan Nahampun Tua ke Dairi. Namun belum diketahui apakah turut serta membawa keturunannya, namun berdasarkan tano parserahan marga-marga PARNA keturunan Saragi Tua, Munthe Tua, Nahampun Tua, keturunannya ada yang ikut dan ada yang tidak ikut. Saragi Tua memiliki 2 anak, Ompu Tuan Binur dan Raja Saragi, Saragi Tua membawa Raja Saragi ke tanah Simalungun sedangkan Ompu Tuan Binur tinggal di huta Tamba. Setelah tiba di tanah Simalungun, Raja Saragi menikah di tanah Simalungun dan memiliki keturunan, lama di tanah Simalungun Saragi Tua memutuskan kembali ke kampungnya di huta Tamba, namun Raja Saragi tidak ingin lagi kembali ke huta Tamba, tetapi salah satu keturunan Raja Saragi ikut bersama opungnya Saragi Tua kembali ke huta Tamba. Keturunan Raja Saragi yang tinggal di tanah Simalungun ini diketahui adalah cikal bakal marga Sumbayak, dan yang kembali ke huta Tamba adalah cikal bakal marga Sidabukke yang kemudian merantau ke Simanindo yang saat ini mayoritas bukanlah bagian dari punguan Parna lagi karena kejadian di mana cucu dari Raja Saragi yang bernama Raja Sinalin yang dari huta Tamba merantau ke Simanindo Sibatu-batu menikahi itonya sendiri boru Napitu. Dan hingga saat ini sudah banyak Sidabukke menikahi boru Parna, dan marga Parna sendiri menikahi boru Sidabukke, hanya minoritas yang mengatakan masih Parna. Mengapa begitu…?? Ini ada kisahnya sendiri mengapa sampai masih ada minoritas Sidabukke yang mengatakan Parna, akan dibahas di lain kesempatan. Ketika Saragi Tua kembali ke huta Tamba, keturunannya sudah merantau dari huta Tamba, dan menemukan tanah baru yang kelak dinamakan Huta Simarmata.
Baris 142 ⟶ 143:
Marga-marga keturunan Sipaettua, antara lain: [[Hutahaean]], Hutajulu, [[Aruan]], [[Sibarani]], Sibuea, Pangaribuan, dan Hutapea
 
=== Silahisabungan VERSI SILALAHI RAJA ===
 
[[Berkas:Tarombo Sidabutar.jpg|thumb|Tarombo Sidabutar versi Pitu Raja Ambarita.]]
'''Istri KeduaPertama, Pinggan matio boru Padang batanghari''', anaknya:
Sembilan Anak Keturunan Silahisabungan dari 3 istri yakni:
 
# 1.Loho Raja (Sihaloho)
 
# 2.Tungkir Raja (Situngkir)
 
# 3.Sondi Raja (Rumasondi)
 
# 4.Butar Raja (Sidabutar)
 
# 5.Debang Raja (Sidebang)
'''Istri Pertama, Pintahaomasan boru baso bolon''', anaknya:
 
16. SilahiBariba Raja (SilalahiSidabariba)
 
# Batu 7.Raja (Pintubatu.
'''Istri Kedua, Pinggan matio boru Padang batanghari''', anaknya:
# Satu Boru Deang Namora
# Loho Raja (Sihaloho)
# Tungkir Raja (Situngkir)
# Sondi Raja (Rumasondi)
# Butar Raja (Sidabutar)
# Debang Raja (Sidebang)
# Bariba Raja (Sidabariba)
# Batu Raja (Pintubatu.
 
'''Istri KetigaKedua, Milingiling boru Mangarerak,''' anaknya:
 
1. Siraja Tambun.
 
Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga marga cabang keturunan Silahisabungan, yakni Sipangkar, Sembiring, Sipayung, Silalahi, Dolok Saribu, Sinurat, Nadapdap, Naiborhu, Maha, Sigiro, dan Daulay.
Baris 172 ⟶ 175:
# Sinambela yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela.
# Sihite yang merupakan cikal-bakl marga Sihite.
# SimanullangManullang yang merupakan cikal-bakal marga SimanullangManullang.
 
=== Raja Hutalima ===
Baris 185 ⟶ 188:
=== Raja Sobu ===
Marga-marga keturunan Raja Sobu, antara lain: Sitompul dan si Raja Hasibuan. Dari si Raja Hasibuan berkembang lagi, yang tetap tinggal di Toba tetap Hasibuan, sedang "pomparan" Ompu Guru Mangaloksa yang merintis hidupnya ke wilayah Silindung, anak-anaknya berkembang menjadi si Raja Nabarat (Hutabarat), si Raja Panggabean (cabangnya,Simorangkir), si Raja Hutagalung dan si Raja Hutatoruan. Si Raja Hutatoruan dua anaknya, itulah Hutapea (Silindung/Tarutung, beda dari Hutapea - Toba/Laguboti), dan Lumbantobing (biasa disingkat L. Tobing=Lumbantobing). Marga-marga tsb (di luar marga Hasibuan), secara "specific" pomparan Guru Mangaloksa dinamai "Pomparan ni si Opat Pu(i)soran". Mana ejaan yang benar dalam bahasa Batak, antara Pusoran atau Pisoran, entahlah. Marga-marga tersebut di atas masih tetap alias belum bercabang hingga sekarang. Kecuali pencabangan untuk tujuan penyebutan internal, semisal Hutabarat. Ada Hutabarat Sosunggulon, Hutabarat Hapoltahan, Hutabarat Pohan. Dari tataran ini barulah dibagi lagi menjadi "mar-ompu-ompu". Sebagai catatan, khusus dari pomparan Guru Mangaloksa, setiap anggota marga-marga tersebut mengingat nomornya masing-masing, termasuk Boru. Semisal di Hutabarat, berkenalan seorang Hutabarat dengan seorang lain Hutabarat. Tidak lagi ditanya, Hutabarat Sosunggulon? atau Hapoltahan? atau Pohan? dst. Tetapi langsung ditanya, "nomor berapa"?, termasuk Boru. Sehingga masing-masing tahu "standing position", memanggil abang/adik, bapatua/bapauda, dst, termasuk "tutur" untuk Boru. Hal seperti ini perlu dicontoh karena dapat memotivasi orang lain mencari asal usul ("identitas") "ha-batahonna", tentu setelah indentitas keyakinan dan kepercayaan masing-masing individu.
===
===== Teks judul =====
===