'''Piktogram''' adalah suatu [[ideogram]] yang menyampaikan suatu makna melalui penampakan gambar yang menyerupai/meniru keadaan fisik objek yang sebenarnya. Tanda atau gambar yang termasuk piktogram disebut piktograf. Contoh suatu piktograf meliputi gambar-gambar kuno dan lukisan prasejarah yang ditemukan dalam dinding gua. Piktograf juga digunakan dalam [[menulis]] dan sistem grafis.
== Piktografi di Indonesia ==
=== Piktografi pada Zaman Prasejarah ===
Manusia yang hidup pada zaman prasejarah disebut manusia purba. Tanah air kita sudah dihuni manusia sejak jutaan tahun yang lalu. Fosil-fosil manusia purba banyak ditemukan di Indonesia yaitu sejak jutaan tahun yang lalu terutama di Pulau Jawa. Manusia purba adalah manusia penghuni bumi pada zaman prasejarah yaitu zaman ketika manusia belum mengenal tulisan. Ditemukannya manusia purba karena adanya fosil dan artefak. [[Fosil]] adalah sisa-sisa organisme (manusia, hewan, dan tumbuhan) yang telah membatu yang tertimbun di dalam tanah dalam waktu yang sangat lama. Sedangkan artefak adalah peninggalan masa lampau berupa alat kehidupan/hasil budaya yang terbuat dari batu, tulang, kayu dan logam. Cara hidup mereka masih sangat sederhana dan masih sangat bergantung pada alam.
Berdasarkan hasil-hasil kebudayaan yang ditinggalkan di kepulauan Nusantara sebelum mengenal tulisan, maka kehidupan masyarakat paling awal di Indonesia oleh para ahli dibagi atas dua zaman: Zaman Batu dan Zaman Logam.
Zaman Batu terdiri atas Zaman Batu Tua (Paleolitikum), Zaman Batu Madya (Mesolitikum), Zaman Batu Muda (Neolithikum), dan Zaman Batu Besar (Megalithikum). Sedangankan zaman logam terdiri dari Zaman Tembaga, Zaman Perunggu, dan Zaman Besi. Dari zaman-zaman tersebut hanya zaman tembaga yang tidak pernah berkembang di Indonesia.
Perkembangan zaman ini sudah sangat maju apabila dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya migrasi secara bergelombang penduduk proto-melayu dari Yunan, Cina Selatan ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia.
=== Awal Keberadaan Tulisan Arab Melayu ===
Tulisan Jawi telah lama ada dalam khasanah kebudayaan melayu yang diperkirakan sekitar abad ke 10 Masehi atau 3 Hijrah hingga kemasa kini dan ia berasal daripada tulisan Arab[1]. Tulisan inilah yang membangun kebudayaan melayu dan [[Menulis|tulisan]] ini jugalah yang kemudian mengantarkan menuju bahasa Melayu yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia setelah dikokohkan oleh para pemuda Indonesia dalam [[Sumpah Pemuda]]. Keberadaan tulisan Arab Melayu di Nusantara identik dengan penyebaran Islam ke daerah Melayu.
Masa sejak awal abad ke-13 M sampai penghujung abad ke-15 M dalam khazanah kesusastraan melayu disebut masa peralihan,yaitu masa peralihan dari peradaban Hindu ke peradaban Islam. Dengan masuknya peradaban Islam,orang melayu mulai mengenal tradisi tulis. Sebelumnya, mereka hanya memiliki tradisi lisan. Aksara Jawi sudah wujud dan digunakan di wilayah Sumatra dan Semenanjung Malaya jauh sebelum orang/pulau Jawa memeluk agama Islam (883 H/1468 M).
Bukti historis bahwa adanya tulisan jawi dalam kebudayaan Melayu lama dapat dilihat pada bahan-bahan bertulis seperti : batu bersurat, manuskrip lama, kertas lama, majalah, batu nisan, bahan-bahan yang dibuat daripada logam, kulit, alat senjata , batu lontar, tembikar dan sejenisnya, ukiran-ukiran pada masjid, rumah, dan istana, azimat, rajah atau penangkal.
Penemuan pertama batu nisan yang tertulis dalam bahasa Arab di Sumatera bertarikh 55 Hijrah atau setara dengan 674 M. Selain itu juga ditemukan di Kedah bertarikh 290 Hijrah. Kedua hal ini jelas telah menunjukkan bahwa tulisan Jawi berasal dari orang Arab yang kemudian telah disesuaikan dengan menambahkan beberapa huruf tambahan kepada huruf Arab untuk menyesuaikannya dengan gaya bahasa orang Melayu. Penambahan ini lebih kepada melengkapi ejaan yang tidak ada dalam bahasa Arab tetapi ditemui dalam bahasa Melayu.[2]
Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.
Yang kedua, masih di abad 14, pada tahun 1310, ditemukan syair tentang keislaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka.
=== Keberadaan Tulisan Arab Melayu pada Abad Pertengahan ===
Tulisan arab melayu pada abad pertengahan merupakan tulisan pemerintahan atau tulisan resmi bagi raja-raja keturunan melayu yang berada di daerah nusantara. Contohnya Sultan pertama Sulu (Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim) yang memerintah tahun 1450 – 1480 adalah berasal dari Sumatra. Sultan ini menikah dengan putri Rajah Baguinda yang berasal dari Minangkabau ('Menangkabaw' dalam istilah di Mindanao). Dalam acara pelamarannya Paduka Mahasari Maulana al-Sultan Sharif ul-Hashim membuat lamaran dengan tulisan arab melayu untuk di sampaikan kepada Rajah Baguinda.
Aksara yang digunakan di Mindanao dan Sulu sebelum datangnya pengaruh kolonial Spanyol adalah dalam huruf ''Yawi'' (Arab Melayu). Buku-buku agama ketika itu adalah dalam huruf Yawi, sama halnya dengan tradisi penulisan di Thailand Selatan (Patani) dan juga di kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia masa silam.[3]
Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17, di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya. [4]
Di Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.
Pada tahun 1812 (sekitar 100 tahun sebelum kajian Shellabear), Marsden telah memperkatakan keberadaan aksara Arab Melayu dalam bukunya A Grammar of the Malayan Language. R.O. Winstedt (1913) juga mengulas tentang system ejaan Arab Melayu dalam bukunya Malay Grammar. Sedangkan di kalangan orang Melayu, Raja Ali Haji diakui sebagai tokoh yang mula-mula sekali memperkatakan system ejaan Arab Melayu seperti yang tercatat dalam bukunya Bustan al-Katibin, diteruskan oleh Muhammad Ibrahim (anak Abdullah Munsyi).
Kontinuitas kultural Jawa tertanam sebagai dasar legitimasi Keraton Palembang. Budayawan Palembang Djohan Hanafiah mencatat, keterkaitan politik ini berakhir setelah Sultan Abdurrahman (1659-1706) memproklamasikan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1675.
Jeroen Peeters dalam Kaum Tuo Kaum Mudo, Perubahan Religius di Palembang 1821 -1942 (1997) memaparkan, di kalangan keraton, bahasa Jawa kromo (bahasa Jawa halus) menjadi bahasa resmi. Akan tetapi, pemakaian bahasa ini tidak tersebar luas di luar lingkungan Keraton Palembang.
Merujuk pada sejumlah naskah berbahasa Jawa yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London, Peeters meyakini, naskah-naskah tersebut juga hanya beredar di lingkungan keraton. Beberapa koleksi naskah berbahasa Jawa ini antara lain teks Panji (1801) yang ditulis atas perintah Sultan Ahmad Najamuddin.
Selain didampingi ulama, sultan juga memiliki juru tulis khusus untuk penulisan bahasa Arab. Bahasa dan tulisan Arab digunakan dalam kitab-kitab utama pengajaran Islam di Palembang, termasuk naskah yang berkaitan dengan tasawuf dan tafsir.
Sebagian naskah-naskah keagamaan yang ditemukan, merupakan kitab yang langsung dibawa dari Arab. Sebagian lainnya disalin ulang dengan ketelitian yang tinggi di Palembang.
Akan tetapi, seperti bahasa Jawa kromo yang hanya dikuasai oleh kalangan bangsawan, bahasa Arab juga lebih dikuasai para guru atau kalangan ulama. Sejumlah naskah keagamaan menggunakan bahasa Arab dilengkapi terjemahan bahasa Melayu, walaupun tetap ditulis dengan huruf Arab.
Naskah-naskah sastra, antara lain hikayat yang berbentuk prosa maupun syair, serta berbagai kisah dalam naskah-naskah pada masa kesultanan lebih banyak ditulis dengan tulisan Arab dalam bahasa Melayu (Arab Melayu). Kegiatan surat- menyurat, antara lain dari sultan kepada Gubernur Batavia juga ditemukan dalam basa Arab Melayu.[5]
=== Keberadaan Tulisan Arab Melayu pada Zaman Modern ===
Penggunaan tulisan Arab Melayu (Armel) atau Tulisan Jawi (Tulwi) di Indonesia sekarang bisa dikatakan sudah hampir punah. Kalau pun dipelajari pada Pondok Pesantren, lebih mengutamakan tulisan Arab gondol/Kitab Kuning. Demikian kondisinya juga pada sekolah-sekolah umum, tidak pernah lagi diajarkan kepada murid.1
Seiring dengan perkembangan zaman, lambat-laun tulisan ini ditinggalkan masyarakat. Bukan berarti model tulisan ini tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, tidak sama sekali, namun yang menyebabkan Ia ditinggalkan karena kebijakan dari pemerintah kita sendiri.
Salah satu contohnya, pada tahun 70-an hingga 80-an pemerintah menggalakkan program penuntasan buta aksara. Seluruh masyarakat diajarkan membaca latin. Jika saja ada yang tidak bisa membaca tulisan latin, maka mereka dicap sebagai buta aksara, sekalipun Ia mampu dan lancar menulis dan membaca Arab Melayu. Artinya pada masa itu pemerintah tidak mengakui Arab Melayu yang telah melekat di tengah masyarakat kita.[6]
Sementara itu, penulisan armel di negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam telah mengakar kuat di masyarakatnya. Penulisan Armel dan cara membacanya, menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa di bangku sekolah di kedua negara tersebut.
Berdasarkan catatan Prof. Dr Kang Kyoung Seok, Peneliti tulisan Armel/Tulwi asal Busan, Korea, universitas-universitas di luar masyarakat Melayu juga mengajarkan tulisan Armel kepada mahasiswanya. Seperti yang diajarkan di Hankook University of Foreign Studies Korea, mereka bahkan mendatangkan tenaga pengajar khusus dari Malaysia untuk memberikan mata kuliah tulisan armel.
Amerika Serikat (Cornell Unversity), Jepang (Tokyo University of Foreign Studies), Inggris (University of London), Belanda (University of Leiden), Jerman (University of Hamburg), hingga Rusia (University of Leningrad), merupakan negara-negara lainnya di luar masyarakat Melayu, yang pernah dan masih mengajarkan tulisan armel kepada mahasiswanya. Bahkan, manuskrip-manuskrip Armel/Tulwi banyak disimpan di negara Inggris, antara lain di perpustakaan Bodleian Oxford, British Museum, British Library, dan perpustakaan University of London.
Menurut Rusdi, Ketua Yayasan Ikatan Guru Pengajian Al-Qur’an (IGPA) Kalbar, tulisan armel mulai menghilang sejak masuknya pengaruh Partai Komunis Indonesia ( tahun 1964/1965 ). Sejak itu pula, pelajaran armel di sekolah-sekolah ditiadakan. Kecuali di Sumatra.
=== Masyarakat Indonesia Masa Aksara ===
==== a. Perkembangan sejarah setelah mengenal aksara ====
Kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia dari Yunan ke Nusantara yang melewati jalan barat (melewati Yunan – Malaka – Sumatra – Jawa), serta yang melewati jalur utara Yunan – Formosa – Jepang – Sulawesi Utara dan sampai di Irian/Papua ternyata membawa pengaruh besar terhadap perkembangan sejarah kehidupan bangsa Indonesia. Adanya beraneka ragam budaya daerah yang muncul di tengahtengah perkembangan masyarakat yang masih dapat dirasakan oleh masyarakat nusantara pada masa kini.
Bangsa Deutero Melayu yang datang 500 SM ke Nusantara ternyata membawa pengaruh yang lebih maju daripada pendahulunya. Mereka melalui jalan barat, yakni Yunan – Malaka – Sumatra – Jawa. Mereka hidup di Nusantara dan berkembang sebagai masyarakat yang produktif serta menjadi bangsa Indonesia sampai sekarang. Masyarakat Deutero Melayu yang telah berkembang menjadi bangsa Indonesia itu telah memiliki kemajuan di berbagai bidang, antara lain, sebagai berikut.
Dalam bidang pemerintahan, mereka menganut asas demokrasi melalui musyawarah untuk menentukan pimpinan mereka, bentuk organisasi kemasyarakatan yang ada adalah kesukuan. Kepala suku dipilih dari orang yang memiliki kemampuan tertinggi (primus inter pares).
Dalam bidang ekonomi, usaha untuk memenuhi kebutuhan diupayakan dengan menggunakan ekonomi barang (pertukaran/barter), hidup gotong royong dalam mengerjakan sawah, berkelompok, dan semua hak milik digunakan bersama.
Kepercayaan nenek moyang kita adalah animisme dan dinamisme. Keadaan alam Nusantara memaksa mereka harus pandai berlayar sebab Nusantara terdiri atas kawasan kepulauan serta adanya tuntutan kebutuhan untuk saling mencukupi.
Akhirnya, muncul perdagangan antarpulau dan berkembang menjadi perdagangan antarnegara. Pelayaran lintas laut telah membawa bangsa Indonesia mampu mengarungi lautan internasional sehingga terciptalah hubungan dagang yang maju, yang melibatkan kawasan Nusantara. Kita ketahui bahwa kemajuan pelayaran perdagangan antara Cina– India yang melewati kawasan Nusantara menyebabkan terjalinnya perdagangan di Nusantara juga, namun pengaruh India di Nusantara jauh lebih besar. Pengaruh India yang masuk ke Nusantara membawa perkembangan bagi kemajuan hidup masyarakat di Nusantara pada saat itu dan berkembang sampai sekarang, misalnya, dalam bidang pemerintahan, budaya, sosial, dan kepercayaan.
Dalam bidang pemerintahan. Masyarakat Nusantara yang hidup secara berkelompok di masa lalu, ternyata mampu berkembang secara dinamis dengan bentuk kesukuan. Kontak dengan India ternyata membawa pengaruh positif dalam kehidupan masyarakat terutama dalam pemerintahan. Masyarakat Nusantara yang semula berbentuk kesukuan, dengan masuknya pengaruh hinduisme ke dalam masyarakat, mengubah bentuk pemerintahannya menjadi bentuk kerajaan. Kekuasaan raja diberikan secara turun temurun dan tidak dipilih rakyat sehingga rakyat menerima saja. Namun, raja yang lemah pasti segera jatuh digantikan raja yang lebih bijaksana atau lebih kuat.
Dalam bidang budaya. Kita mengetahui bahwa masuknya budaya India ke Nusantara ternyata memberi semangat bangsa Indonesia untuk berkarya lebih bagus dan terarah. Bahkan para raja dan penguasa mulai menuliskan perintah melalui prasasti. Hasil karya budaya Nusantara yang mengagumkan dan memiliki seni yang tinggi, misalnya, candi Borobudur yang menjadi kebanggaan dunia dan relief pada dinding candi yang melebihi kehebatan orang India. Misalnya, relief Ramayana pada candi Prambanan. Begitu juga munculnya seni sastra yang dihasilkan oleh sastrawan Nusantara seperti cerita Mahabharata dan Ramayana versi Nusantara kitab Gatotkacasraya yang telah memuat unsur javanisasi.
Dalam bidang sosial. Pranata sosial di zaman Indonesia-Hindu sudah teratur, sudah ada desa sebagai satu kelompok masyarakat. Penerapan aturan untuk membina masyarakat sudah ada, kehidupan masyarakatnya bersifat gotong royong.
Dalam kepercayaan. Nenek moyang yang sudah memiliki kepercayaan asli (animisme, dinamisme) mulai mengenal agama Hindu dan Buddha. Sehingga, meskipun telah menyembah Dewa Hindu atau Buddha, mereka tetap bersesaji untuk memuja roh (sesuai keyakinan animisme dan dinamisme).
==== b. Perkembangan rekaman tertulis ====
Jejak-jejak masa lampau menjadi bahan penting untuk menuliskan kembali sejarah umat manusia. Jejak masa lampau mengandung informasi yang dapat dijadikan bahan penulisan sejarah. Masa lampau yang hanya meninggalkan jejak-jejak sejarah tersebut menjadi komponen penting dan mengandung informasi yang dapat dijadikan bahan untuk penulisan sejarah.
Kisah sejarah tersebut disampaikan dari generasi ke generasi dan dapat dipelihara terus sehingga mampu untuk mengisahkan kembali peristiwa dari jejak-jejak pada masa lampau. Jejak sejarah dapat dibedakan menjadi dua.
Jejak historis, yaitu jejak sejarah yang menurut sejarawan memiliki atau mengandung informasi tentang kejadian-kejadian yang historis sehingga dapat digunakan untuk menyusun penulisan sejarah.
Jejak nonhistoris, yaitu suatu kejadian pada masa lampau yang tidak memiliki nilai sejarah.
Jejak historis yang berwujud tulisan merupakan rekaman tertulis tradisi masyarakat pada masa lalu. Rekaman tertulis di Indonesia terbagi menjadi sumber tertulis sezaman dan setempat, sumber tertulis sezaman tetapi tidak setempat, dan sumber tertulis setempat tidak sezaman.
Sumber tertulis sezaman dan setempat. Sumber tertulis sezaman ialah sumber tersebut ditulis oleh orang yang mengalami peristiwa itu, atau ditulis waktu itu, atau ditulis tidak lama setelah peristiwa itu terjadi. Sumber setempat maksudnya adalah penulisannya di dalam negeri sendiri. Contoh sumber tertulis sezaman dan setempat adalah prasasti. Prasasti berarti pengumuman atau proklamasi, semacam perundang-undangan yang memuji raja, dan biasanya berbentuk puisi atau bahasa puisi. Dalam istilah bahasa Inggris disebut enloggistie. Istilah lain untuk prasasti adalah inscriptie atau piagam. Ilmu yang mempelajari tentang prasasti disebut epigraphy. Prasasti ada yang terbuat dari batu (disebut Caila Prasasti), dari logam, atau dari batu bata. Wujud prasasti yang berupa batu (Caila Prasasti) terdiri atas: a) batu biasa (batu kali) disebut natural stone; b) batu lingga (batu lambang Siwa); c) pseudo lingga (lingga semu), biasanya berupa batu patok atau batu pembatas; d) batu yoni (lambang isteri Siwa), biasanya juga disebut lambang wanita. Adapun prasasti dari logam terbuat dari tembaga, perunggu, atau emas. Prasasti dari perunggu, misalnya, prasasti dari Airlangga, yakni prasasti Calcutta. Prasasti yang berupa batu bata disebut juga Terra Cotta. Prasasti dari batu bata ini di Indonesia hanya sedikit sekali kita dapatkan. Contohnya adalah prasasti di candi Sentul. Berdasarkan bahasa yang digunakan, prasasti dibedakan menjadi empat. a) Prasasti berbahasa Sanskerta, misalnya, prasasti Kutai, prasasti Tarumanegara, prasasti Tuk Mas, prasasti Canggal (sumber sejarah Mataram Hindu), Ratu Boko, Kalasan, Kelurak, Plumpungan, dan Dinoyo. b) Prasasti perpaduan bahasa antara Jawa Kuno dengan Sanskerta, misalnya, prasasti Kedu, prasasti Randusari I dan II, dan prasasti Trowulan I, II, III, IV. c) Prasasti perpaduan bahasa Melayu Kuno dengan Sanskerta, misalnya prasasti Kota Kapur di Sriwijaya, prasasti Gondosuli, prasasti Dieng, dan prasasti Sajomerto (Pekalongan). d) Prasasti perpaduan bahasa Bali Kuno dengan Sanskerta. Prasasti Bali Kuno kebanyakan terdapat di pura atau candi. Prasasti ini dianggap benda suci sehingga hanya diperlihatkan pada waktu upacara oleh para pedande (pendeta). Prasasti di Bali pada umumnya berisi Raja Casana atau peraturan dari raja. Pura yang terkenal di Bali, misalnya, Bangli, Kintamani, dan Sembiran.
Ahli prasasti Bali adalah R. Goris. Beliau mentranskrip prasasti Bali. Di Bali, prasasti yang sudah rusak, hurufnya diduplikasikan kembali dengan istilah "tinulat". Ada keanehan pada prasasti Tugu Sanur. Tinggi prasasti adalah 1 m, bentuknya agak silinder, tetapi tulisannya sudah rusak. Prasasti ini memiliki keistimewaan menggunakan huruf Pranagari menggunakan bahasa Bali Kuno, sedangkan yang menggunakan huruf Bali Kuno menggunakan Bahasa Sanskerta. Artinya, prasasti Tugu Sanur ditulis dengan menggunakan dua bahasa (bilingual). Secara umum isi prasasti memuat beberapa bagian, antara lain, sebagai berikut. a) Penghormatan kepada dewa dalam agama Hindu biasanya diawali dengan kata Ong Civaya,sedangkan agama Buddha diawali dengan kata Ong nama Buddhaya. b) Angka tahun dan penanggalan, dalam penulisannya biasanya diawali dengan permulaan kata-kata: "Swasti Cri Cakawarsatita" yang berarti Selamat Tahun Caka yang sudah berjalan. Penamaan hari dalam satu minggu (tujuh hari) terdiri dari: Raditya (Minggu), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Buddha (Rabu), Respati (Kamis), Cakra (Jumat), dan Sanaiswara (Sabtu). c) Menyebut nama raja, diawali dengan kata-kata "Tatkala Cri Maharaja Rakai Dyah ..." dan selanjutnya. d) Perintah kepada pegawai tinggi, perintah ini biasanya melalui Rakryan Mahapatih dengan istilah "Umingsor ring rakryan Mahapatih ...", jadi raja tidak memberi perintah langsung. e) Penetapan daerah sima (daerah bebas pajak), yang telah menolong raja atau menolong orang penting atau telah menolong rakyat banyak, misalnya, daerah penyeberangan sungai. f) Sambhada (sebab musabab mengapa suatu daerah dijadikan sima). g) Para saksi. h) Desa perbatasan sima disebut juga "wanua tpisiring". i) Hadiah yang diberikan oleh daerah yang dijadikan sima kepada raja, kepada pendeta, dan para saksi. Jika berupa uang, ukurannya adalah Su,berartisuwarna atau emas. Ma berarti masa dan Ku berarti kupang (1 su = 16 Ma = 64 Ku atau 1 Su = 1 tail = 2 real), demikianlah ukuran uangnya. j) Jalannya upacara. k) Tontonan yang diadakan. l) Kutukan (sumpah serapah kepada orang yang melanggar peraturan daerah sima). Pada zaman Islam di Indonesia masih terdapat prasasti, yakni dari zaman Sultan Agung Mataram, antara lain, ditemukan di Jawa Barat berupa tembaga di desa Kandang Sapi atau Tegalwarna daerah Karawang. Prasasti ini menggunakan bahasa Jawa Tengahan, isinya daerah Sumedang dijadikan sima karena menjaga lumbung padi. Amangkurat I dari Mataram juga mengeluarkan prasasti di dekat Parangtritis pada sebuah gua. Prasasti ini dibuat Amangkurat waktu melarikan diri karena diserang Trunojoyo. Di situ terdapat Condro Sengkolo "Toya ingasto gono Batara" (toya = 4, asto = 2, gana = 6, Batara = 1) sama dengan 1624 tahun Jawa.
Sumber tertulis sezaman tetapi tidak setempat. Sumber ini dimaksudkan ditulis sezaman, tetapi ditulis di luar negeri. Sumber ini biasanya tidak begitu jelas, kebanyakan berasal dari Tiongkok, Arab, Spanyol, dan India. Misalnya, kitab Ling Wai Taita karangan Chou Ku Fei pada tahun 1178. Buku ini menggambarkan kehidupan tata pemerintahan, keadaan istana, dan benteng Kerajaan Kediri. Juga menceritakan kehidupan bangsawan pada saat itu yang memakai sepatu kulit, perhiasan emas, pakaian sutra, dan menunggang gajah atau kereta, serta pesta air dan perayaan di gunung bagi rakyat. Kitab Chu Fang Chi ditulis Chau Ju Kua pada abad ke-13, menceritakan di Asia Tenggara tumbuh dua kerajaan besar dan kaya, yaitu di Jawa dan Sriwijaya. Sumber lain adalah tambo dinasti Tang dari Cina yang memuat tentang Holing dan Sriwijaya serta tambo dinasti Ming yang membicarakan kemajuan perdagangan zaman Majapahit. Berita Fa Hsien menyebut Tarumanegara atau Jawa dengan sebutan Yepoti dalam bukunya Fo Kwa Chi. Musafir I-Tsing yang pernah datang di Indonesia (di Sriwijaya dan belajar di sana) mengatakan bahwa Sriwijaya maju perdagangannya Kemudian Hwining dalam perjalanannya singgah di Holing dan bekerja sama dengan Jnanabhadra untuk menerjemahkan kitab Hastadandasastra dalam bahasa Sanskerta (mereka berada di Holing selama tiga tahun). Selain itu, banyak juga catatan dari Arab, Spanyol, India, dan Belanda.
Sumber tertulis setempat tidak sezaman. Sumber ini ditulis lama sesudah peristiwa terjadi, mungkin sudah berdasarkan cerita dari mulut ke mulut atau berdasar cerita rakyat. Misalnya, buku Babad Tanah Jawi dan kitab Pararaton (walaupun ada babad sezaman, tetapi tidak banyak).
==== 2. Perkembangan penulisan sejarah di Indonesia ====
Penulisan kisah sejarah bukanlah sekadar menyusun dan merangkai fakta-fakta hasil penelitian, melainkan juga menyampaikan pendirian dan pikiran melalui interpretasi sejarah berdasarkan hasil penelitian. Dalam perkembangan selanjutnya penulisan sejarah mengalami kemajuan, yaitu dengan munculnya gagasan baru dalam penulisan sejarah. Setelah Indonesia merdeka sejarah sudah menjadi ilmu yang wajib dipelajari dan diteliti kebenarannya dengan teori dan metode yang modern. Hal ini disebabkan oleh nation building, yaitu sejarah nasional akan mewujudkan kristalisasi identitas bangsa, serta membudayakan ilmu sejarah dalam masyarakat Indonesia yang menuntut pertumbuhan rakyat, meningkatkan kesejahteraan sejarah tentang perkembangan bangsa-bangsa. Secara garis besar ada tiga jenis penulisan sejarah (historiografi) Indonesia.
===== a. Penulisan sejarah tradisional (historiografi tradisional) =====
Penulisan sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang dimulai dari zaman Hindu sampai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Penulisan sejarah pada zaman ini berpusat pada masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa, bersifat istanasentris yang mengutamakan keinginan dan kepentingan raja. Penulisan sejarah di zaman Hindu-Buddha pada umumnya ditulis di prasasti dengan tujuan agar generasi penerus dapat mengetahui peristiwa di zaman kerajaan pada masa dulu di mana seorang raja memerintah, contoh kitab Arjunawiwaha zaman Erlangga, kitab Panji zaman Kameswara, serta kitab Baratayuda dan Gatotkacasraya di zaman Kediri pada masa Raja Jayabaya. Kitab Gatotkacasraya memuat unsur javanisasi, yakni mulai muncul dewa asli Jawa, yaitu Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong). Walaupun dari segi wajah kurang, tokoh ini bijak dan memiliki kemampuan yang luar biasa.
Setelah agama Islam masuk ke Nusantara maka terjadi proses akulturasi kebudayaan yang menghasilkan bentuk baru dalam penulisan sejarah. Bentuk penulisan itu adalah mulai digunakannya kitab sebagai pengganti prasasti, contohnya, Babad Tanah Jawi dan Babad Cirebon. Penulisan peristiwa yang terjadi pada masa raja-raja Islam ditulis berdasarkan petunjuk raja untuk kepentingan kerajaan, misalkan kitab Bustanus Salatina. Kitab ini menulis sejarah Aceh, juga berisi kehidupan politik pada masa Islam di Aceh, kehidupan masyarakat, soal agama Islam, sosial, dan ekonomi. Penulisan sejarah tradisional pada umumnya lebih menekankan pada beberapa hal berikut.
Hanya membahas aspek tertentu, misalnya, hanya aspek keturunan (genealogi saja) atau hanya diutamakan aspek kepercayaan (religius saja).
Hanya membicarakan peristiwa tertentu yang dianggap penting dan perlu ditanamkan di tengah masyarakatnya untuk kepentingan istana belaka.
Mengedepankan sejarah keturunan dari satu raja kepada raja berikutnya.
Sering sejarah tradisional hanya memuat biografi tokoh-tokoh terkemuka di masa kekuasaannya.
Sejarah tradisional menekankan pada struktur bukan prosesnya.
Jadi, dalam penulisan sejarah tersebut tradisi masyarakat dan peran tokoh sangat diutamakan sebab adanya gambaran raja kultus dalam penulisannya, seperti di zaman Raja Kertanegara. Namun, penulisan sejarah tradisional sangat berarti bagi penelusuran sejarah di masa lalu.
===== b. Penulisan sejarah kolonial (historiografi kolonial) =====
Penulisan sejarah kolonial adalah penulisan sejarah yang bersifat eropasentris. Tujuan penulisan ini adalah untuk memperkukuh kekuasaan mereka di Nusantara. Penulisan sejarah yang berfokus barat ini jelas merendahkan derajat bangsa Indonesia dan mengunggulkan derajat bangsa Eropa, misalnya, pemberontakan Diponegoro dan pemberontakan kaum Padri. Tokoh tersebut oleh bangsa Eropa dianggap pemberontak, sedangkan Daendels dianggap sebagai figur yang berguna. Tulisan mereka dianggap sebagai propaganda penjajahan serta pembenaran penjajahan di Indonesia. Padahal, kenyataannya adalah penindasan. Akan tetapi, ada juga penulis Eropa yang cukup objektif, misalnya, Dr. Van Leur dengan karya tulisan Indonesian Trade and Society dan karya Dr. Schrieke, Indonesia Sociological Studies, yang memaparkan perdagangan dan masyarakat Nusantara. Dasar pemikiran sarjana Belanda tersebut dirumuskan kembali secara sistematik oleh Dr. Sartono Kartodirdjo dengan pendekatan multidimensional, yaitu pendekatan dalam penulisan sejarah dengan beberapa ilmu sosial, ekonomi, sosiologi, dan antropologi.
===== c. Penulisan sejarah nasional (historiografi nasional) =====
Penulisan sejarah nasional adalah penulisan sejarah yang bersifat Indonesia sentris, dengan metodologi sejarah Indonesia dan pendekatan multidimensional. Jadi, penulisannya dilihat dari sisi kepentingan nasional. Historiografi nasional dirintis oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Dalam historiografi nasional akan terungkap betapa pedihnya keadaan di zaman pergerakan nasional Indonesia oleh penjajahan barat sehingga membangkitkan semangat rakyat untuk merdeka. Historiografi nasional juga akan mengungkapkan bagaimana mengisi kemerdekaan Indonesia yang telah teraih pada 17 Agustus 1945 itu agar menjadi negara yang maju dan dihormati bangsa lain. Dalam perkembangannya, penulisan sejarah di Indonesia pada umumnya bersifat naratif yang mengungkapkan fakta mengenai apa, siapa, kapan, dan di mana serta menerangkan bagaimana itu terjadi. Supaya sejarah dapat mengikuti perkembangan ilmu lainnya maka harus meminjam konsep ilmu-ilmu sosial dan diuraikan secara sistematis.
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam perkembangan penulisan sejarah sebagai beriku
* Pendekatan sosiologi untuk melihat segi sosial peristiwa yang dikaji, misalnya, golongan masyarakat mana yang memelopori
* Pendekatan antropologi untuk mengungkapkan nilai yang mendasari perilaku para tokoh sejarah, status, gaya hidup, dan sistem kepercayaan.
* Pendekatan politik untuk menyoroti struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, tingkat sosial, dan pertentangan kekuasaa
'''Daftar Referensi'''
Kartodirjo, Sartono. 1993. ''Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah''. Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijoyo.1995. ''Pengantar Ilmu Sejarah''. Yogyakarta: Bintang
== Contoh ==
|