Kajian media: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
pranala dalam |
Deskripsi |
||
Baris 17:
<blockquote>''Propaganda dalam makna yang lebih luasnya adalah teknik mempengaruhi tindakan manusia dengan cara merekayasa representasi. Representasi ini dapat disampaikan baik dalam bentuk ucapan, tulisan, gambar, maupun musik.''<ref>Lasswell, Harold (1937). "Propaganda". ''Encyclopedia of the Social Sciences''. pp. 521–27.</ref></blockquote>Sekolah pertama yang mempelajari mengenai pengaruh media ini telah melakukan percobaan di Bagian Eksperimentasi pada Divisi Informasi dan Pendidikan Cabang Penelitian di Departemen Perang Amerika Serikat. Dimana selama percobaan, beragam pengaruh film propaganda terhadap para tentara selama perang Amerika Serikat telah diamati.<ref>{{Cite journal|last=[[Carl Hovland|Hovland]]|first=Carl I.|last2=Arthur A. Lumsdaine|last3=Fred D. Shefield|date=|year=1949|title=Experiments in Mass Communication|url=|journal=Studies in the Social Psychology in World War II, American Soldier Series|location=New York|publisher=Macmillan|volume=3|issue=|pages=3–16, 247–79.|doi=|pmid=|access-date=}}</ref>
Di Indonesia, film propaganda ''[[Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI]]'' pernah dibuat dalam mempertahankan pemerintahan pada zaman Orde Baru. Saat itu, stasiun TVRI merupakan satu-satunya stasiun tv milik negara yang ada di Indonesia. Stasiun [[TVRI]] menayangkan film ini setiap malam 30 September. Film ini juga pernah menjadi tontonan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia, dan ditayangkan di sekolah-sekolah dan lembaga pemerintah.<ref name=":0">{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/92737197|title=Media, culture, and politics in Indonesia|last=1954-|first=Sen, Krishna,|date=2007|publisher=Equinox Pub|isbn=9789793780429|edition=1st Equinox ed|location=Jakarta|oclc=92737197}}</ref> Sen dan Hill berpendapat bahwa [[Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI|''Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI'']] merupakan film yang paling banyak ditonton sepanjang masa.<ref name=":0" /> Versi kejadian tahun 1965 dalam film ini adalah satu-satunya wacana terbuka yang diperbolehkan kala itu.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/67549817|title=State terrorism and political identity in Indonesia : fatally belonging|last=Ariel.|first=Heryanto,|date=2006|publisher=Routledge|isbn=9780415371520|location=London|oclc=67549817}}</ref>
Kini kajian media banyak digunakan dalam berbagai bidang selain politik. Salah satunya dalam bisnis Iklan, seperti halnya yang diungkapkan Herman bahwa model propaganda adalah sebuah tingkah laku dan kinerja, bukanlah melulu pengaruh media (Herman, 2000, hlm. 63). Dia berpendapat bahwa ; "media adalah bisnis berorientasi laba, dimiliki oleh orang yang sangat kaya raya (atau perusahaan lain); dan mereka sebagain besar tipongan oleh banyaknya pengelola iklan yang juga pencari laba, dan oleh siapapun yang ingin iklan mereka muncul dan menjual di lingkungan yang berdaya beli.<ref>(Herman, 2000, hlm. 62)</ref> Dia juga berpendapat mengenai lima faktor tentang media ini, yaitu kepemilikian, periklanan, sumber, perlawanan dan ideologi anti komunis yang bekerja sebagai penyaring; yang bekerja mengenai informasi apa saja yang boleh disajikan, baik secara individual maupun kumulatif yang sebagain besar berpengaruh besar dalam pemilihan media. Hingga hari ini, tidak ada kesimpulan akhir apa sebenarnya propaganda itu, perdebatan masih berlanjut.▼
▲Kini kajian media banyak digunakan dalam berbagai bidang selain politik. Salah satunya dalam bisnis
Sekolah Frankfurt berkontribusi besar dalam perkembangan dan aplikasi teori kritis dalam kajian media. Dengan lokus teoretis dan filosofis dari para tokoh besar seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Leo Lowenthal, dan Herbert Marcuse. Oleh sebab itu, kritik kaum Marxis atas hembusan pasar "industri budaya" merupakan kritikan yang tajam dan berpengaruh kuat. Seperti halnya yang ditulis dalam tulisan yang berjudul "Sebuah Kritik atas Musik Radio", Adorno menegaskan bahwa musik tak ubahnya seperti barang konsumen lainnya, yang hanya menghasilkan 'komoditas mendengar', dan tidak lagi sebagai daya pendorong manusia, dan pendengar pun menolak semua aktivitas intelektual.<ref>Adorno, Theodor W. (1945). "A Social Critique of Radio Music". ''Kenyon Review''. '''7''': 208–17.</ref> Sebagai halnya, Sekolah Frankfurt yang mengeluhkan tentang pengaruh "industri budaya", mereka juga mulai mengidentifikasikan budaya massa dan budaya tinggi dalam dua entitas yang yang berbeda, yang kemudian dikenal sebagai budaya populer dan budaya tinggi. Pembedaan dua konsep budaya ini, didasarkan atas perbandingan produksi original dengan perilaku ritualistik budaya massa yang suka meniru dan mengidentiifikasi simbol reproduksi, sehingga tidak memiliki originalitas, dan hampa makna.
|