Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Biodiversitas Indonesia: Daftar Pustaka |
→Kearifan Lokal: Menambahkan referensi |
||
Baris 1:
'''Masyarakat Adat Ngata Toro''' adalah sekelompok
== '''Latar Belakang''' ==
Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi pusat ''biodiversity'' dunia. Potensi keanekaragaman spesies satwa yang dimiliki Indonesia sangat tinggi: sekitar 12% (515 spesies, 39% endemik) dari total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia; 7,3% (511 spesies, 150 endemik) dari total spesies reptilian, urutan keempat di dunia; 17% (1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia, urutan kelima; 270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam di dunia; dan 2827 spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar (Hanif, 2005). Dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (Bappenas, 1991) juga menuliskan keanekaragaman tumbuh-tumbuhan di Indonesia. Dalam dokumen tersebut, Indonesia menempati peringkat lima besar dunia sebagai negara dengan keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan, yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, 55% endemik. Menurut literatur yang sama, Indonesia adalah sumber terbesar keanekaragaman jenis–jenis palm, mengandung lebih dari 400 spesies meranti-merantian dari Famili ''Dipterocarpaceae'' (yang merupakan jenis kayu pertukangan paling komersil di Asia Tenggara); dan diperkirakan menyimpan 25.000 species tumbuhan berbunga. Selain itu, lebih dari setengah seluruh spesies pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting juga terdapat di negara ini, 155 di antaranya endemik di Kalimantan (''Ibid'').▼
Biodiversitas Indonesia yang begitu beragam perlu dilestarikan agar mampu menopang kehidupan masyarakat lokal hingga masa-masa mendatang. Upaya untuk melestarikan jenis-jenis tumbuhan dan satwa tersebut telah diwujudkan pemerintah dengan menetapkan bentangan-bentangan alam tertentu, baik daratan maupun lautan, sebagai kawasan konservasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015) merilis data bahwa Indonesia memiliki kawasan hutan konservasi berjumlah 521 unit dengan luas 27.108.486,54 hektar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah luasan tersebut sepadan dengan kurang lebih 21% dari luas total kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan di Indonesia. Diperkirakan sejumlah 40 juta orang di Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung kepada keanekaragaman hayati yang ada di sekitar kawasan konservasi tersebut. Dua belas juta di antaranya hidup di dalam dan sekitar hutan dan lebih banyak lagi bergantung kepada sumber daya pesisir (USAID, 2008). Mereka memenuhi kebutuhan hidup –mencari sumber makan, pakaian, dan bahan bangunan– dari dalam kawasan konservasi. Kebanyakan dari mereka juga berkebun dan bahkan bermukim dalam kawasan tersebut. ▼
== '''Kearifan Lokal''' ==
Baris 19 ⟶ 24:
Implementasi KKM di kawasan Taman Nasional Lore Lindu diwujudkan dalam beberapa langkah, di antaranya (TNLL, 2014): pembatasan pengambilan sumber daya alam untuk waktu yang ditentukan yang dikenal masyarakat setempat dengan istilah “Ombo”; pengembangan jenis tanaman asli Taman Nasional Lore Lindu, yaitu ''eucalyptus deglupta'' (leda), ''agathist sp'' (damar), ''aleurites moluccana'' (kemiri); pembuatan batas hidup Taman Nasional Lore Lindu (''living boundary'') dengan pengembangan tanaman kemiri dan damar yang mampu memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat sekitar; monitoring partisipatif wilayah kesepakatan yang melanggar diproses melalui sidang adat oleh lembaga adat desa; pengembangan obat-obatan tradisional, madu hutan, bahkan kerajinan pandan hutan dan tanaman produktif lain di wilayah penyangga TNLL; mengembangkan pola pengelolaan multipihak untuk Danau Lindu dan DAS Mui; dan monitoring kesehatan hutan secara partisipatif dan ilmiah.
== '''Konflik Negara VS Masyarakat Adat''' ==
Penetapan status sebuah kawasan menjadi kawasan konservasi bukan berarti membuat habitat dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya terlindungi dengan baik. Kawasan-kawasan konservasi di seluruh Indonesia masih memiliki masalah yang mengancam kelestariannya. Salah satu ancaman tersebut adalah perilaku masyarakat lokal yang memanen hasil alam secara tidak terkendali dan cenderung eksploitatif, seperti penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, dan lain-lain. Ancaman tersebut terus berlangsung manakala pemerintah menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan konservasi. Alih-alih untuk melindungi keanekaragaman hayati di dalam kawasan, kebijakan kawasan konservasi tersebut justru menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal. Salah satu konflik yang timbul dari tata kelola konservasi adalah akibat ketidaksamaan persepsi akan konservasi itu sendiri. Masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka. Kebanyakan dari mereka juga menyangka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di daerah mereka (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).
Baris 25 ⟶ 30:
Perbedaan cara pandang pemerintah dengan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan konservasi secara jelas telah menimbulkan konflik yang berujung pada tidak optimalnya upaya konservasi itu sendiri. Pemerintah memandang bahwa alam yang unik, khas dan utuh harus dilindungi sehingga penduduk sekitar dianggap sebagai ancaman. Alokasi, akses dan kontrol ditetapkan oleh negara dengan landasan ilmu pengetahuan modern. Sementara masyarakat memandang bahwa hutan adalah hasil konstruksi sosial antara masyarakat dan ekosistem di sekitarnya, pengetahuan lokal masyarakat adalah landasan dalam mengalokasikan, mengakses dan mengontrol sumberdaya alam tersebut (USAID, 2008). Kedua cara pandang tersebut penting untuk memperoleh keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam karena tidak dimungkiri bahwa kawasan konservasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Cara pandang dan kearifan lokal masyarakat sudah sepatutnya dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan konservasi di Indonesia (''Ibid'').
▲Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi pusat ''biodiversity'' dunia. Potensi keanekaragaman spesies satwa yang dimiliki Indonesia sangat tinggi: sekitar 12% (515 spesies, 39% endemik) dari total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia; 7,3% (511 spesies, 150 endemik) dari total spesies reptilian, urutan keempat di dunia; 17% (1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia, urutan kelima; 270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam di dunia; dan 2827 spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar (Hanif, 2005). Dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia (Bappenas, 1991) juga menuliskan keanekaragaman tumbuh-tumbuhan di Indonesia. Dalam dokumen tersebut, Indonesia menempati peringkat lima besar dunia sebagai negara dengan keanekaragaman jenis-jenis tumbuhan, yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, 55% endemik. Menurut literatur yang sama, Indonesia adalah sumber terbesar keanekaragaman jenis–jenis palm, mengandung lebih dari 400 spesies meranti-merantian dari Famili ''Dipterocarpaceae'' (yang merupakan jenis kayu pertukangan paling komersil di Asia Tenggara); dan diperkirakan menyimpan 25.000 species tumbuhan berbunga. Selain itu, lebih dari setengah seluruh spesies pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting juga terdapat di negara ini, 155 di antaranya endemik di Kalimantan (''Ibid'').
▲Biodiversitas Indonesia yang begitu beragam perlu dilestarikan agar mampu menopang kehidupan masyarakat lokal hingga masa-masa mendatang. Upaya untuk melestarikan jenis-jenis tumbuhan dan satwa tersebut telah diwujudkan pemerintah dengan menetapkan bentangan-bentangan alam tertentu, baik daratan maupun lautan, sebagai kawasan konservasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015) merilis data bahwa Indonesia memiliki kawasan hutan konservasi berjumlah 521 unit dengan luas 27.108.486,54 hektar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah luasan tersebut sepadan dengan kurang lebih 21% dari luas total kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan di Indonesia. Diperkirakan sejumlah 40 juta orang di Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung kepada keanekaragaman hayati yang ada di sekitar kawasan konservasi tersebut. Dua belas juta di antaranya hidup di dalam dan sekitar hutan dan lebih banyak lagi bergantung kepada sumber daya pesisir (USAID, 2008). Mereka memenuhi kebutuhan hidup –mencari sumber makan, pakaian, dan bahan bangunan– dari dalam kawasan konservasi. Kebanyakan dari mereka juga berkebun dan bahkan bermukim dalam kawasan tersebut.
*
|