Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
Menambahkan referensi
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
Menambahkan deskipsi
Baris 5:
 
[[Biodiversitas]] Indonesia yang begitu beragam perlu dilestarikan agar mampu menopang kehidupan masyarakat lokal hingga masa-masa mendatang. Upaya untuk melestarikan jenis-jenis tumbuhan dan satwa tersebut telah diwujudkan pemerintah dengan menetapkan bentangan-bentangan alam tertentu, baik daratan maupun lautan, sebagai kawasan [[konservasi]]. [[Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia]] merilis data bahwa Indonesia memiliki kawasan hutan konservasi berjumlah 521 unit dengan luas 27.108.486,54 hektar dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah luasan tersebut sepadan dengan kurang lebih 21% dari luas total kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan di Indonesia. Diperkirakan sejumlah 40 juta orang di Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung kepada keanekaragaman hayati yang ada di sekitar kawasan konservasi tersebut. Dua belas juta di antaranya hidup di dalam dan sekitar hutan dan lebih banyak lagi bergantung kepada sumber daya pesisir<ref>United States Agency for International Development (USAID). 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan. Lihat melalui <nowiki>http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadu286.pdf</nowiki></ref>. Mereka memenuhi kebutuhan hidup –mencari sumber makan, pakaian, dan bahan bangunan– dari dalam kawasan konservasi. Kebanyakan dari mereka juga berkebun dan bahkan bermukim dalam kawasan tersebut.
 
== '''Tata Kelola Kawasan Konservasi''' ==
Penetapan status sebuah kawasan menjadi kawasan konservasi bukan berarti membuat habitat dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya terlindungi dengan baik. Kawasan-kawasan konservasi di seluruh Indonesia masih memiliki masalah yang mengancam kelestariannya. Salah satu ancaman tersebut adalah perilaku masyarakat lokal yang memanen hasil alam secara tidak terkendali dan cenderung eksploitatif, seperti penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, dan lain-lain. Ancaman tersebut terus berlangsung manakala pemerintah menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan konservasi. Alih-alih untuk melindungi keanekaragaman hayati di dalam kawasan, kebijakan kawasan konservasi tersebut justru menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal. Salah satu konflik yang timbul dari tata kelola konservasi adalah akibat ketidaksamaan persepsi akan konservasi itu sendiri. Masyarakat tidak atau belum sepenuhnya mengerti akan maksud kehadiran sebuah kawasan konservasi di daerah mereka. Kebanyakan dari mereka juga menyangka akan sangat dirugikan oleh adanya kawasan konservasi di daerah mereka (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999). 
 
Konflik tersebut sangat sulit dihindari mengingat kepentingan masyarakat lokal kerap kali berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Adalah rahasia umum bahwa konflik sosial kehutanan merupakan persoalan lama yang menjadi bagian dari pengelolaan hutan (termasuk kawasan hutan konservasi) di Indonesia. Menurut Cahyono (2012), keberadaan kawasan konservasi di seluruh Indonesia selalu melakat konflik di dalamnya. Tidak sedikit di antara konflik-konflik sosial tersebut yang berujung menjadi konflik agraria. Apabila dilacak lebih jauh, konflik pengelolaan kawasan konservasi sudah bermula sejak awal industri kehutanan didesain. Sebab, saat Hak Pengelolaan Hutan (HPH) direncanangkan pada awal 1970-an, pemerintah tidak sempat memikirkan, atau sengaja mengabaikan, keberadaan masyatakat lokal di sekitar kawasan hutan.  Padahal hutan bukan hanya suatu tegakan kayu dan kehidupan fauna di dalamnya. Hutan merupakan suatu ekosistem sosial politik yang merupakan medan tempur berbagai kepentingan sumber daya alam (Sumardjani dalam Cahyono, 2012).
 
Perbedaan cara pandang pemerintah dengan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan konservasi secara jelas telah menimbulkan konflik yang berujung pada tidak optimalnya upaya konservasi itu sendiri. Pemerintah memandang bahwa alam yang unik, khas dan utuh harus dilindungi sehingga penduduk sekitar dianggap sebagai ancaman. Alokasi, akses dan kontrol ditetapkan oleh negara dengan landasan ilmu pengetahuan modern. Sementara masyarakat memandang bahwa hutan adalah hasil konstruksi sosial antara masyarakat dan ekosistem di sekitarnya, pengetahuan lokal masyarakat adalah landasan dalam mengalokasikan, mengakses dan mengontrol sumberdaya alam tersebut (USAID, 2008). Kedua cara pandang tersebut penting untuk memperoleh keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam karena tidak dimungkiri bahwa kawasan konservasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Cara pandang dan kearifan lokal masyarakat sudah sepatutnya dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan konservasi di Indonesia (''Ibid'').
 
== '''Kearifan Lokal''' ==
Baris 19 ⟶ 26:
Aturan-aturan adat tersebut memiliki konsekuensi atau sanksi apabila dilanggar oleh masyarakat adat Ngata Taro. Dalam penelitiannya, Mahfud dan Tohake (2013) juga mengungkapkan beberapa sanksi adat yang akan diterima oleh pelanggar. Beberapa di antaranya adalah kepemilikan yang tidak berdasarkan hukum adat dikenakan sanksi adat berupa ''Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau'' (tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tiga puluh dulang, dan tiga lembar kain ''Mbesa'') yang apabila dirupiahkan bernilai 5 juta rupiah; pengelolaan hasil hutan kayu, rotan, pakanangi, gaharu, dan damar yang tidak berdasarkan ketentuan hukum adat dikenakan sanksi adat berupa ''Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Tigkau'' (tiga ekor hewan kerbau atau sapi, 30 dulang, dan 30 lembar kain Mbesa); pemasangan jerat untuk hewan yang dilindungi (anoa dan babi rusa), dikenakan sanksi adat yaitu ''Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau.'' (Tiga ekor hewan kerbau atau sapi, 30 dulang, 30 (kain Mbesa); penangkapan ikan yang menggunakan alat kimia, strom, racun, dikenakan sanksi adat: ''Rongu, Rompulu, Rongkau'' (dua ekor kerbau atau sapi, 20 dulang, 2 lembar kain Mbesa), setara dengan 3 juta rupiah; penggunaan senjata api, senapan angin, bedil dikenakan sanksi adat yaitu: ''Hangu, Hampulu, Hongkau'' (Satu ekor hewan kerbau atau sapi, 10 dulang, satu lembar kain Mbesa) yang apabila dirupiahkan sekitar 1,5 juta rupiah.
 
== '''Hubungan Masyarakat Adat Ngata Toro dengan Pemerintah''' ==
Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Ngata Toro memiliki peran penting dalam memelihara dan menjaga kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Sejak tahun 2000, pemerintah secara resmi memberikan otonomi kepada masyarakat adat Ngata Toro untuk ikut merencanakan dan memantau pemanfaatan sumber daya alam di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu (Rachman, 2013). Pemberian otonomi tersebut tidak terlepas dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Toro sebagaimana yang dikemukakan oleh Fremerey (2002) dalam Rachman (2013) bahwa penguasaan, distribusi dan penggunaan pengetahuan masyarakat adat Toro memungkinkan untuk mengembangkan pola pembelajaran secara organisasional sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Pemberian otonomi oleh pemerintah kepada masyarakat adat Ngata Toro merupakan bentuk perhatian pemerintah yang “mengakui” keberadaan masyarakat lokal. Namun demikian, hal itu tidak serta merta membuat masyarakat adat tersebut bebas memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar kawasan. Masyarakat Toro juga perlu “mengakui” keberadaan pemerintah sebagai ''stakeholder'' yang juga memiliki kepentingan atas kawasan tersebut, terutama berkaitan dengan upaya-upaya konservasi. Sikap “saling mengakui” antar-keduanya ditunjukan dengan disepakatinya KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat).
 
Baris 33 ⟶ 40:
== Referensi ==
*
[[Kategori:Hutan di Indonesia]]
[[Kategori:Masyarakat adat]]
[[Kategori:Kearifan Lokal]]