Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
Menambahkan referensi |
||
Baris 13:
Perbedaan cara pandang [[pemerintah]] dengan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan konservasi secara jelas telah menimbulkan konflik yang berujung pada tidak optimalnya upaya konservasi itu sendiri. Pemerintah memandang bahwa alam yang unik, khas dan utuh harus dilindungi sehingga penduduk sekitar dianggap sebagai ancaman. Alokasi, akses dan kontrol ditetapkan oleh negara dengan landasan ilmu pengetahuan [[modern]]. Sementara masyarakat memandang bahwa [[hutan]] adalah hasil konstruksi sosial antara masyarakat dan ekosistem di sekitarnya, pengetahuan lokal masyarakat adalah landasan dalam mengalokasikan, mengakses dan mengontrol sumberdaya alam tersebut.<ref name=":1" /> Kedua cara pandang tersebut penting untuk memperoleh keberlanjutan pengelolaan [[Sumber daya alam]] karena tidak dimungkiri bahwa kawasan konservasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Cara pandang dan kearifan lokal masyarakat sudah sepatutnya dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan konservasi di Indonesia.<ref name=":1" />
== Kearifan
Sejak tahun 1993, [[masyarakat adat]] Ngata Toro telah menggencarkan berbagai prakarsa untuk menegaskan identitas budaya mereka. Prakarsa itu meliputi aturan adat, lembaga adat, dan penggalian serta upaya transformasi [[tradisi]] dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas yang lestari dan membawa manfaat bagi seluruh anggota komunitas. Semua tindakan kolektif ini pada dasarnya memiliki tiga tujuan pokok, yaitu: menjaga keberlanjutan ekosistem hutan tropis di sekeliling komunitas ini—yang kini telah ditetapkan sebagai [[Taman Nasional Lore
Masyarakat adat Ngata Taro juga mengembangkan konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berbasis kearifan lokal di lingkungan mereka. Menurut Mahfud dan Tohake dalam hal kepemilikan tanah, mereka tidak serta merta memperolehnya melalui perampasan atau mengambil tanah orang lain tanpa izin, melainkan melalui suatu transaksi dan mempunyai keabsahan yang kuat menurut hukum adat mereka.{{cn}} Masyarakat adat Ngata Toro membagi hak kepemilikan atas sumber daya alam dalam dua kategori, yakni hak kepemilikan bersama (''katumpuia hangkani'') dan hak pemilikan individu (''katumpuia hadua''). Kedua komponen hak kepemilikan tersebut adalah aturan adat yang sangat dipatuhi oleh masyarakat adat Ngata Toro. Selain itu, secara turun-temurun, masyarakat adat Ngata Toro sudah dibekali dengan aturan yang dinamakan ''Mopahilolonga Katuvua'' (mengurus alam secara arif). Menurut aturan tersebut, di bumi persada ada tiga unsur kehidupan yang mempunyai hubungan timbal balik, tumbuh dan berkembang biak serta saling menghidupi, yaitu manusia (''tauna''), hewan (''pinatuvua''), tumbuh-tumbuhan (''tinuda''). Pandangan tersebut juga memuat aturan-aturan yang harus diperhatikan dalam membuka lahan baru, diantaranya keadaan tempat yang direncanakan dibuka, apakah penjaga hutan itu memberikan lahan itu untuk dibuka atau tidak, saling menghimbau satu dengan yang lain agar senantiasa memperhatikan hulu sungai dan kemiringan yang terjal (''Taolo''), adat dan budaya tidak membenarkan menebang kayu sembarangan untuk dijadikan ramuan rumah utamanya di hulu air atau di kemiringan yang terjal, terlebih lagi kalau kayu yang di tebang diperjualbelikan di tempat lain.{{cn}}
|