Aturan-aturan adat tersebut memiliki konsekuensi atau sanksi apabila dilanggar oleh masyarakat adat Ngata Taro. Dalam penelitian Mahfud dan Tohake juga mengungkapkan beberapa sanksi adat yang akan diterima oleh pelanggar. Beberapa di antaranya adalah kepemilikan yang tidak berdasarkan hukum adat dikenakan sanksi adat berupa ''Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau'' (tiga ekor hewan kerbau atau sapi, tiga puluh dulang, dan tiga lembar kain ''Mbesa'') yang apabila dirupiahkan bernilai 5 juta rupiah; pengelolaan hasil hutan [[kayu]], [[rotan]], pakanangi, gaharu, dan [[Damar (pohon)]] yang tidak berdasarkan ketentuan [[hukum adat]] dikenakan sanksi adat berupa ''Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Tigkau'' (tiga ekor hewan [[kerbau]] atau [[sapi]], 30 dulang, dan 30 lembar kain Mbesa); pemasangan jerat untuk hewan yang dilindungi (anoa dan babi rusa), dikenakan sanksi adat yaitu ''Tolu Ongu, Tolu Mpulu, Tolu Ngkau.'' (Tiga ekor hewan kerbau atau sapi, 30 dulang, 30 (kain Mbesa); penangkapan [[ikan]] yang menggunakan alat kimia, strom, racun, dikenakan sanksi adat: ''Rongu, Rompulu, Rongkau'' (dua ekor kerbau atau sapi, 20 dulang, 2 lembar kain Mbesa), setara dengan 3 juta rupiah; penggunaan senjata api, senapan angin, bedil dikenakan sanksi adat yaitu: ''Hangu, Hampulu, Hongkau'' (Satu ekor hewan kerbau atau sapi, 10 dulang, satu lembar kain Mbesa) yang apabila dirupiahkan sekitar 1,5 juta rupiah.<ref name=":2" />
== '''Hubungan masyarakatMasyarakat adatAdat Ngata Toro dengan pemerintahPemerintah''' ==
[[Kearifan lokal]] yang dimiliki masyarakat adat Ngata Toro memiliki peran penting dalam memelihara dan menjaga kawasan[[Kawasan konservasi]] [[Taman Nasional Lore Lindu]], [[Sulawesi Tengah]]. Sejak tahun 2000, pemerintah secara resmi memberikan otonomi kepada masyarakat adat Ngata Toro untuk ikut merencanakan dan memantau pemanfaatan [[sumber daya alam]] di kawasan hutan [[Taman Nasional Lore Lindu]].{{cn}}<ref name=":3" /> Pemberian otonomi tersebut tidak terlepas dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Toro sebagaimana yang dikemukakan oleh Fremerey bahwa penguasaan, distribusi dan penggunaan pengetahuan masyarakat adat Toro memungkinkan untuk mengembangkan pola pembelajaran secara organisasional sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan.{{cn}}<ref name=":3" /> Pemberian otonomi oleh pemerintah kepada masyarakat adat Ngata Toro merupakan bentuk perhatian [[pemerintah]] yang “mengakui” keberadaan masyarakat lokal. Namun demikian, hal itu tidak serta merta membuat masyarakat adat tersebut bebas memanfaatkan [[sumber daya alam]] yang ada di sekitar kawasan. Masyarakat Adat Ngata Toro juga perlu “mengakui” keberadaan pemerintah sebagai ''stakeholder'' yang juga memiliki kepentingan atas kawasan tersebut, terutama berkaitan dengan upaya-upaya konservasi. Sikap “saling mengakui” antar-keduanya ditunjukan dengan disepakatinya KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat).
Implementasi KKM di kawasan [[Taman Nasional Lore Lindu]] diwujudkan dalam beberapa langkah, di antaranya:{{cn}}<ref name=":3" /> pembatasan pengambilan sumber daya alam untuk waktu yang ditentukan yang dikenal masyarakat setempat dengan istilah “Ombo”; pengembangan jenis tanaman asli [[Taman Nasional Lore Lindu]], yaitu ''eucalyptus deglupta'' (leda), ''agathist sp'' (damar), ''aleurites moluccana'' (kemiri); pembuatan batas hidup [[Taman Nasional Lore Lindu]] (''living boundary'') dengan pengembangan tanaman kemiri dan damar yang mampu memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat sekitar; monitoring partisipatif wilayah kesepakatan yang melanggar diproses melalui sidang adat oleh lembaga adat desa; pengembangan obat-obatan tradisional, madu hutan, bahkan kerajinan pandan hutan dan tanaman produktif lain di wilayah penyangga TNLL; mengembangkan pola pengelolaan multipihak untuk Danau Lindu dan DAS Mui; dan monitoring kesehatan hutan secara partisipatif dan ilmiah.
== Konflik ==
|