Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
lala
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
hehe
Baris 9:
 
Pada masa pra-[[Kolonialisme]], komunitas masyarakat adat Ngata Toro yang berdiam di Desa Toro menjadi sebuah komunitas politik otonom. Mereka memiliki harta kekayaan sendiri dan memiliki wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sementara itu, [[Kerajaan Islam di Indonesia|Kerajaan Islam]] yang berkuasa saat itu tidak menjadikan Desa Toro sebagai perhatian karena letaknya yang jauh di pedalaman. [[Kerajaan Islam di Indonesia|Kerajaan Islam]] banyak berfokus pada hubungan [[perdagangan]] di daerah pesisir dengan perhatian. Selain itu, komunitas masyarakat adat Ngata Toro juga banyak membangun kerjasama dengan desa-desa di sekitarnya. Mereka membentuk sebuah [[federasi]] yang ''fleksibel'' dimana setiap desa memiliki otonomi sendiri dalam mengatur kehidupan desanya. Hubungan kerjasama dan federasi tersbeut lebih dibentuk untuk memenuhi kebutuhan politik dan pertahanan dalam menghadapi perang antarsuku, hubungan ekonomi, [[kekerabatan]], dan solidaritas.<ref name=":2" /> Semenjak saat itu, komunitas masyarakat adat Ngata Toro perlahan-lahan bertransformasi menjadi kelompok masyarakat lokal yang mampu menjangkau berbagai lini kehidupan paling vital, seperti keagamaan, pemerintahan, transformasi tata lahan, dan perubahan-perubahan sosial lainnya.
 
== Mitos ==
Bagi masyarakat adat Ngata Toro, mitos bukanlah cerita kosong tanpa makna. Mitos terbentuk melalui proses panjang yang dialami oleh masyarakat lokal mulai dari peristiwa nyata, realitas sosial, dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan. Meskipun sulit ditemui di dunia nyata, mitos mampu menggambarkan “angan-angan sosial” yang ikut membentuk identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya.
 
== Aturan Adat dan Sumber Daya Alam ==
Baris 21 ⟶ 24:
 
== Hubungan Masyarakat dengan Pemerintah ==
Hubungan masyarakat adat Ngata Toro dengan pemerintah tercermin dengan dilakukannya beberapa program yang memiliki tujuan untuk mengonservasi lingkungan. Pemerintah[[Kearifan meyakinilokal]] bahwayang dimiliki masyarakat lokaladat Ngata Toro memiliki peran penting untukdalam dilibatkanmemelihara mengingatdan penguasaanmenjaga mereka[[Kawasan ataskonservasi]] kawasan[[Taman yangNasional terjadiLore jauhLindu]], sebelum[[Sulawesi hadirnyaTengah]]. klaimSejak laintahun di2000, ataspemerintah kawasansecara tersebut.resmi Masyarakatmemberikan jugaotonomi telahkepada mempraktikanmasyarakat sistemadat pengelolaanNgata Toro untuk ikut merencanakan dan tatananmemantau pemanfaatan [[Konservasisumber daya alam]] yangdi munculkawasan atashutan insiatif[[Taman merekaNasional sendiriLore Lindu]].<ref Inisiatifname=":3" tersebut/> lahirPemberian sebagaiotonomi tersebut tidak buahterlepas dari pengetahuankearifan lokal yang mereka miliki. Pengetahuandimiliki masyarakat lokaladat dalamToro upayasebagaimana konservasiyang kawasandikemukakan dibuktikanoleh denganFremerey adanyabahwa aturanpenguasaan, distribusi dan praktikpenggunaan lokalpengetahuan yangmasyarakat masihadat ditaatiToro olehmemungkinkan komunitasuntuk setempat.mengembangkan Upayapola konservasipembelajaran [[Keanekaragamansecara hayati]]organisasional yangsebagai dilakukanprasyarat olehuntuk masyarakatpengelolaan lokalhutan tersebutsecara sesungguhnya telah berkembang sejak lamaberkelanjutan.<ref name=":13" />United StatesPemberian Agencyotonomi foroleh Internationalpemerintah Developmentkepada (USAID).masyarakat 2008.adat KonservasiNgata Indonesia,Toro Sebuahmerupakan Potretbentuk Pengelolaanperhatian &[[pemerintah]] Kebijakan.yang Lihat“mengakui” melaluikeberadaan http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadu286.pdf</ref>masyarakat Konservasilokal. berbasisNamun masyarakatdemikian, menjadihal sangatitu pentingtidak karenaserta dapatmerta mempertemukanmembuat kepentinganmasyarakat ekonomiadat masyarakattersebut lokalbebas dan kepentinganmemanfaatkan  [[pemerintahsumber daya alam]] terkaityang [[Lingkunganada hidup]]di sekitar kawasan. HarmonisasiMasyarakat kepentinganAdat tersebutNgata diharapkanToro dapatjuga menciptakanperlu iklim"mengakui" keberadaan pemerintah sebagai pemangku jabatan yang kondusifjuga sehinggamemiliki kepentingan atas kawasan tersebut, terutama berkaitan dengan upaya-upaya konservasi. kawasanSikap dapat"saling berjalanmengakui optimalantar-keduanya ditunjukkan dengan disepakatinya Kesepakatan Konservasi Masyarakat.
 
Implementasi KKM di kawasan [[Taman Nasional Lore Lindu]] diwujudkan dalam beberapa langkah, di antaranya:<ref name=":3" /> pembatasan pengambilan sumber daya alam untuk waktu yang ditentukan yang dikenal masyarakat setempat dengan istilah “Ombo”; pengembangan jenis tanaman asli [[Taman Nasional Lore Lindu]], yaitu ''Eucalyptus deglupta'' (leda), ''Agathist sp.'' (damar), ''Aleurites moluccana'' (kemiri); pembuatan batas hidup [[Taman Nasional Lore Lindu]] (''living boundary'') dengan pengembangan tanaman kemiri dan damar yang mampu memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat sekitar; monitoring partisipatif wilayah kesepakatan yang melanggar diproses melalui sidang adat oleh lembaga adat desa; pengembangan obat-obatan tradisional, madu hutan, bahkan kerajinan pandan hutan dan tanaman produktif lain di wilayah penyangga TNLL; mengembangkan pola pengelolaan multipihak untuk Danau Lindu dan DAS Mui; dan monitoring kesehatan hutan secara partisipatif dan ilmiah.
Untuk menjembatani kearifan lokal masyarakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, pemerintah menciptakan program KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat) atau ''Community Conservation Agreement''. KKM menjadi alat untuk melaksanakan dan mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan [[sumber daya alam]] dari pemerintah kepada masyarakat. KKM juga berfungsi untuk membagi tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam di antara para pihak, menjamin diakuinya hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan membuktikan bahwa kedua belah pihak saling mengakui dan menghormati kehadiran masing-masing. Melalui KKM, proses di mana para pihak yang berkepentingan dapat bertemu untuk saling mengenal, saling menyampaikan aspirasi dan saling menyesuaikan, termasuk dalam hal meredam konflik di lapangan dan membawanya ke meja perundingan. Dalam bahasa sederhana, KKM dapat menjadi sarana untuk mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak –pemerintah dan masyarakat lokal– sehingga mampu menciptakan hubungan yang harmonis untuk mengoptimalkan upaya konservasi kawasan.
 
Pemerintah meyakini bahwa masyarakat lokal penting untuk dilibatkan mengingat penguasaan mereka atas kawasan yang terjadi jauh sebelum hadirnya klaim lain di atas kawasan tersebut. Masyarakat juga telah mempraktikan sistem pengelolaan dan tatanan [[Konservasi]] yang muncul atas insiatif mereka sendiri. Inisiatif tersebut lahir sebagai buah dari pengetahuan lokal yang mereka miliki. Pengetahuan masyarakat lokal dalam upaya konservasi kawasan dibuktikan dengan adanya aturan dan praktik lokal yang masih ditaati oleh komunitas setempat. Upaya konservasi [[Keanekaragaman hayati]] yang dilakukan oleh masyarakat lokal tersebut sesungguhnya telah berkembang sejak lama.<ref name=":1">United States Agency for International Development (USAID). 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan. Lihat melalui http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadu286.pdf</ref> Konservasi berbasis masyarakat menjadi sangat penting karena dapat mempertemukan kepentingan ekonomi masyarakat lokal dan kepentingan  [[pemerintah]] terkait [[Lingkungan hidup]]. Harmonisasi kepentingan tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim yang kondusif sehingga upaya-upaya konservasi kawasan dapat berjalan optimal.
Kendati keberadaan KKM sangat penting, tidak semua kawasan [[Konservasi]] di Indonesia, termasuk taman nasional, menerapkan konsep KKM. Kearifan lokal masyarakat juga tidak jarang diabaikan atau justru sengaja diabaikan oleh pemerintah. Alhasil, masih banyak ditemukan sejumlah konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan konservasi. Menurut Departemen Kehutanan (2007), di hampir seluruh taman nasional di Indonesia yang berjumlah 50-an lembaga, selalu melekat di dalamnya konflik. Beberapa contoh konflik di kawasan konservasi (c.q. taman nasional) yang berlarut-larut terjadi di kawasan [[Taman Nasional Ujung Kulon]] [[Banten]], [[Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung]] [[Sulawesi Selatan]], [[Taman Nasional Bukit Duabelas]] [[Jambi]], [[Taman Nasional Gunung Halimun Salak]] [[Jawa Barat]], dan kawasan taman nasional lainnya. Konflik-konflik tersebut sangat meresahkan sebab mengganggu upaya-upaya konservasi yang digagas oleh pemerintah. Untuk meredamnya, pemerintah harus lebih memperhatikan keberadaan masyarakat lokal berikut kearifan lokal yang mereka miliki. Pun masyarakat lokal, harus turut memperhatikan upaya-upaya konservasi kawasan yang diinisiasi oleh pemerintah.<ref name=":4">Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Dilihat melalui http://www.rareplanet.org/sites/rareplanet.org/files/PNACM597.pdf</ref>
 
Untuk menjembatani kearifan lokal masyarakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, pemerintah menciptakan program KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat) atau ''Community Conservation Agreement''. KKM menjadi alat untuk melaksanakan dan mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan [[sumber daya alam]] dari pemerintah kepada masyarakat. KKM juga berfungsi untuk membagi tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam di antara para pihak, menjamin diakuinya hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan membuktikan bahwa kedua belah pihak saling mengakui dan menghormati kehadiran masing-masing. Melalui KKM, proses di mana para pihak yang berkepentingan dapat bertemu untuk saling mengenal, saling menyampaikan aspirasi dan saling menyesuaikan, termasuk dalam hal meredam konflik di lapangan dan membawanya ke meja perundingan. Dalam bahasa sederhana, KKM dapat menjadi sarana untuk mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak –pemerintah dan masyarakat lokal– sehingga mampu menciptakan hubungan yang harmonis untuk mengoptimalkan upaya konservasi kawasan.
[[Kearifan lokal]] yang dimiliki masyarakat adat Ngata Toro memiliki peran penting dalam memelihara dan menjaga [[Kawasan konservasi]] [[Taman Nasional Lore Lindu]], [[Sulawesi Tengah]]. Sejak tahun 2000, pemerintah secara resmi memberikan otonomi kepada masyarakat adat Ngata Toro untuk ikut merencanakan dan memantau pemanfaatan [[sumber daya alam]] di kawasan hutan [[Taman Nasional Lore Lindu]].<ref name=":3" /> Pemberian otonomi tersebut tidak terlepas dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Toro sebagaimana yang dikemukakan oleh Fremerey bahwa penguasaan, distribusi dan penggunaan pengetahuan masyarakat adat Toro memungkinkan untuk mengembangkan pola pembelajaran secara organisasional sebagai prasyarat untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan.<ref name=":3" /> Pemberian otonomi oleh pemerintah kepada masyarakat adat Ngata Toro merupakan bentuk perhatian [[pemerintah]] yang “mengakui” keberadaan masyarakat lokal. Namun demikian, hal itu tidak serta merta membuat masyarakat adat tersebut bebas memanfaatkan [[sumber daya alam]] yang ada di sekitar kawasan. Masyarakat Adat Ngata Toro juga perlu "mengakui" keberadaan pemerintah sebagai pemangku jabatan yang juga memiliki kepentingan atas kawasan tersebut, terutama berkaitan dengan upaya-upaya konservasi. Sikap "saling mengakui antar-keduanya ditunjukkan dengan disepakatinya Kesepakatan Konservasi Masyarakat.
 
Kendati keberadaan KKM sangat penting, tidak semua kawasan [[Konservasi]] di Indonesia, termasuk taman nasional, menerapkan konsep KKM. Kearifan lokal masyarakat juga tidak jarang diabaikan atau justru sengaja diabaikan oleh pemerintah. Alhasil, masih banyak ditemukan sejumlah konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan konservasi. Menurut Departemen Kehutanan (2007), di hampir seluruh taman nasional di Indonesia yang berjumlah 50-an lembaga, selalu melekat di dalamnya konflik. Beberapa contoh konflik di kawasan konservasi (c.q. taman nasional) yang berlarut-larut terjadi di kawasan [[Taman Nasional Ujung Kulon]] [[Banten]], [[Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung]] [[Sulawesi Selatan]], [[Taman Nasional Bukit Duabelas]] [[Jambi]], [[Taman Nasional Gunung Halimun Salak]] [[Jawa Barat]], dan kawasan taman nasional lainnya. Konflik-konflik tersebut sangat meresahkan sebab mengganggu upaya-upaya konservasi yang digagas oleh pemerintah. Untuk meredamnya, pemerintah harus lebih memperhatikan keberadaan masyarakat lokal berikut kearifan lokal yang mereka miliki. Pun masyarakat lokal, harus turut memperhatikan upaya-upaya konservasi kawasan yang diinisiasi oleh pemerintah.<ref name=":4">Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Dilihat melalui http://www.rareplanet.org/sites/rareplanet.org/files/PNACM597.pdf</ref>
Implementasi KKM di kawasan [[Taman Nasional Lore Lindu]] diwujudkan dalam beberapa langkah, di antaranya:<ref name=":3" /> pembatasan pengambilan sumber daya alam untuk waktu yang ditentukan yang dikenal masyarakat setempat dengan istilah “Ombo”; pengembangan jenis tanaman asli [[Taman Nasional Lore Lindu]], yaitu ''Eucalyptus deglupta'' (leda), ''Agathist sp.'' (damar), ''Aleurites moluccana'' (kemiri); pembuatan batas hidup [[Taman Nasional Lore Lindu]] (''living boundary'') dengan pengembangan tanaman kemiri dan damar yang mampu memberikan manfaat ekonomi pada masyarakat sekitar; monitoring partisipatif wilayah kesepakatan yang melanggar diproses melalui sidang adat oleh lembaga adat desa; pengembangan obat-obatan tradisional, madu hutan, bahkan kerajinan pandan hutan dan tanaman produktif lain di wilayah penyangga TNLL; mengembangkan pola pengelolaan multipihak untuk Danau Lindu dan DAS Mui; dan monitoring kesehatan hutan secara partisipatif dan ilmiah.
 
== Referensi ==