Hegemoni budaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Caw252 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Caw252 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 3:
 
Dalam [[filsafat]] dan [[sosiologi]], istilah ''hegemoni budaya'' memiliki denotasi dan konotasi yang berasal dari kata Yunani Kuno ''ἡγεμονία (hegemoni)'' yang berarti aturan dan kepemimpinan. Dalam politik, [[hegemoni]] adalah metode geopolitik [[Kekaisaran|imperial]] dominasi tidak-langsung dimana ''hegemon'' (pemimpin negara) mengatur serikat di bawahnya dengan intervensi dan bukan dengan kekuatan militer ([[invasi]], [[Kolonialisme|penjajahan]], atau [[aneksasi]]).<ref>Ross Hassig, ''Mexico and the Spanish Conquest'' (1994), pp. 23–24.</ref>
 
Antonio Gramsci mencetuskan teori Perang Manuver, yaitu, perebutan hegemoni budaya secara frontal (biasanya melalui aksi militer), dan teori Perang Posisi dimana perebutan hegemoni budaya dilakukan secara bertahap dan melalui proses panjang.
 
== Latar belakang ==
Baris 15 ⟶ 17:
Pada tahun 1848, [[Karl Marx]] berteori bahwa [[Resesi|resesi ekonomi]] dan kontradiksi praktis di masyarakat kapitalis akan memprovokasi [[Buruh|kelas pekerja]] untuk melakukan revolusi untuk menggulingkan [[kapitalisme]] dan merestrukturisasi lembaga-lembaga sosial (ekonomi, politik, sosial) sesuai faham [[sosialisme]]. Semua ini akan membawa masyarakat tersebut menuju [[komunisme]]<nowiki/>. Dalam istilah Marxisme, perubahan [[Dialektik|dialektika]] pada fungsi [[ekonomi]] masyarakat menentukan budaya dan politik sosial dan ekonomi. Proses ini terjadi seakan seperti sesuatu hal yang wajar dan sudah seharusnya terjadi.
 
Antonio Gramsci mengambil teori hegemoni Marxisme tersebut, namun mengusulkan bahwa hegemoni budaya akan sosialisme bukanlah sesuatu hal yang niscaya tetapi merupakan bagian dari dialektik kritis masyarakat dimana ada kemungkinan lahirnya filsafat dari akal sehat rakyat sendiri.<ref name=":0">{{Cite news|url=https://nurulhuda.wordpress.com/2006/11/21/perihal-hegemoni-dan-perang-posisi/|title=Perihal Hegemoni dan Perang Posisi|date=2006-11-21|newspaper=Rumah Indonesia|language=en-US|access-date=2017-10-29}}</ref> '''Perang Posisi''' merupakan aksi perebutan atau pengambil alihan hegemoni yang ada melalui manuver panjang dari berbagai lini sosial politik. Gramsci percaya bahwa perjuangan masyarakat umum untuk menciptakan budaya proletar yang sistem nilai aslinya melawan hegemoni budaya [[Borjuis|kaum borjuis]] harus melalui perang budaya dan pengetahuan tentang [[antikapitalisme]]. Budaya ini kemudian akan meningkatkan kesadaran kelas, mengajarkan tentang teori [[revolusi]] dan analisis sejarah, serta menyebarkan organisasi revolusi ke kelas-kelas sosial. Kemudian, pemimpin sosialis biasanya akan berusaha memegang kekuasaan politik dan mendapatkan dukungan untuk memulai manuver kesejahteraan yang dikumandangkan sistem sosialisme. Karena itulah, Gramsci menekankan bahwa revolusi proletariat baru dapat terjadi jika masyarakat kelas bawah siap secara intelektual, budaya, dan politik karena semua ini diperlukan agar kaum proletar dapat berhasil merebut hegemoni budaya, atau dalam kata lain memenangkan Perang Posisi. Gramsci menggunakan strategi Perang Posisi untuk mematahkan hegemoni borjuis melalui kepemimpinan intelektual, budaya, dan ideologis dalam lembaga-lembaga swasta, sekolah-sekolah, gereja, industri, dan asosiasi kota dan pedesaan.<ref name=":0" />
 
Dominasi budaya awalnya diterapkan sebagai sebuah analisis Marxisme mengenai "kelas ekonomi" ([[Infrastruktur dan suprastruktur (filosofis)|basis dan suprastruktur]]). Antonio Gramsci kemudian mengembangkannya untuk memahami kelas sosial; oleh karena itu, hegemoni budaya mengusulkan bahwa norma-norma budaya yang berlaku di suatu masyarakat dan diterapkan oleh kelas penguasa ([[Borjuis|hegemoni budaya]] borjuis), tidak seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Sebaliknya, harus dianggap sebagai konstruksi sosial (oleh [[Pranata|lembaga]], praktek, [[Keyakinan dan kepercayaan|keyakinan]], dan sebagainya) yang harus diselidiki lebih lanjut tentang akar filosofisnya hingga dapat menjadi universal. Pengetahuan praksis seperti ini sangat diperlukan untuk pembebasan intelektual dan politik dari kaum [[proletariat]], sehingga pekerja dan petani, orang-orang perkotaan, dan bangsa suatu negara dapat membuat budaya kelas pekerja mereka sendiri yang membahas kebutuhan sosial dan ekonomi kelas sosial mereka masing-masing.