Gereja Kristen Indonesia Bungur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Abdullah Faqih (bicara | kontrib)
s
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 21:
 
=== Karakteristik sebagai Gereja Injili ===
Memegang Ajaran Injili (''evangelical'') dan bukan fundamentalisme yang memiliki ciri-ciri ajaran menekankan otoritas [[Alkitab]] sebagai pedoman tertinggi untuk [[iman]] dan kehidupan; mempertahankan doktrin Kristlogi yang ortodoks; penekanan pada misi dan penginjilan; memahami etika [[Kristen]] yang normatif, bukan situasional; mendukung gerakan ''Oikumene'' dalam arti kesatuan [[gereja]] secara spiritual, bukan struktural; dan memprioritaskan proses pengalaman kehidupan orang percaya dalam pertobatan dan pengudusan.<ref name=":2" />
 
=== Karakteristik sebagai Gereja Tionghoa ===
Memelihara dan mengembangkan budaya [[Tionghoa]] sebagai warisan dari para pendahulu dan yang diperoleh melalui kelahiran (natural). Jemaat GKI Bungur percaya bahwa budaya [[Tionghoa]] mengandung nilai-nilai hidup etnis [[Tionghoa]] yang luhur dan sesuai dengan kebenaran firman [[Allah]]. Melalui budaya itualah, jemaat Bungur lahir dan dibesarkan serta dibesarkan kemudian mengomunikasikan Injil Kristus.
 
Beberapa nilai yang mereka pegang sebagai gereja [[Tionghoa]] adalah berbakti kepada orang tua dan senior; tata krama, sopan santun, sungkan; mementingkan relasi, bukan birokrasi dan ingat budi; semangat kerja keras, hemat, dan rajin menabung. Ajaran dan budaya tersebut telah menyatu dan menjadi roh di dalam tubuh GKI Bungur sehingga percampuran konsep budaya [[Tionghoa]] dengan ajaran [[Kristen]] tersebut menjadi sesuatu yang unik dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
 
== Struktur Organisasi ==
Baris 68:
 
== Penggunaan Bahasa Mandarin ==
Penggunaan [[Bahasa Mandarin]] di GKI Bungur tidak terlepas dari sejarah panjang berdirinya gereja yang dilatarbelakangi oleh pengabar Injil asal Amoy (''Xiamen'') bernama Gan Kwee yang datang dari [[Tiongkok Selatan]] ke [[Batavia]]. Dalam perkembangannya, GKI Bungur kemudian termasuk dalam kelompok Klasis Priangan, Sinode Wilayah [[Jawa Barat]].<ref name=":4" /> Klasis Priangan dibentuk untuk memperhatikan sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban mereka kepada jemaat yang berbahasa Mandarin. Klasis Priangan<ref>http://www.gkiharapanindah.org/sejarah/klasis-priangan-gki-sinode-wilayah-jawa-barat/</ref> sendiri memiliki latar belakang sejarah kebudayaan [[Tionghoa]] yang juga bertugas untuk mempertahankan tradisi kebudayaannya dengan cara mengadakan ibadah khusus untuk memperingati Hari Raya Imlek.
 
Atas dasar tanggung jawab tersebut, Klasis Priangan pun mengharuskan setiap gereja yang termasuk dalam kelompok mereka untuk membuat suatu ibadah umum yang juga menggunakan [[Bahasa Mandarin]]. Selain GKI Bungur, gereja-gereja tersebut di antaranya adalah jemaat [[Tionghoa]] GKI Petekoan dan GKI Pinangsia. Hal itu juga dilakukan sebagai bukti tanggung jawab Klasis Priangan kepada jemaat yang berbahasa [[Mandarin]] dan juga unuk mengingatkan jemaat untuk tidak melupakan sejarah berdirinya Klasis Priangan yang berlatar belakang budaya [[Tionghoa]]. Dalam penerapannya, Klasis Pringan membuat dua penulisan tata cara ibadah yang berbeda, yaitu tata cara ibadah yang umum dilakukan oleh seluruh Sinode GKI dan tata cara ibadah Klasis, dalam hal ini adalah Klasis Priangan.<ref name=":3">Esterina, Putri Herwin. 2016. Penggunaan Bahasa Mandarin dalam Gereja Kristen Indonesia Bungur. Skripsi. Program Diploma III Bahasa Mandarin Universitas Gadjah Mada</ref>
 
Ibadah dengan menggunakan [[Bahasa Mandarin]] di GKI Bungur dilakukan setiap hari Minggu pukul 09.30 WIB. Jemaat ibadah tersebut kebanyakan adalah para lanjut usia yang sudah berumur lebih dari 55 tahun. Kebanyakan dari mereka sama sekali tidak mengerti [[Bahasa Indonesia]], meskipun telah cukup lama tinggal di [[Indonesia]]. Mereka lebih fasih berbicara dalam [[Bahasa Mandarin]] dalam kehidupan sehari-harinya. Selama ibadah berlangsung, pendeta yang memberikan khutbah akan menyampaikan pengantar ibadah dalam [[Bahasa Mandarin]]. Begitu pun [[Alkitab]] yang dibaca oleh jemaat, semuanya berbahasa [[Mandarin]]. Dalam kesempatan itu, pihak gereja menghadirkan dua ''liturgos'' yang bertanggung jawab untuk keberlangsungan ibadah. ''Liturgos'' pertama bertugas untuk menerjemahkan liturgi atau tata cara beribadah dari Bahasa Mandarin ke Bahasa Indonesia. Sementara itu, ''liturgos'' lainnya hanya menggunakan Bahasa Mandarin.<ref name=":3" />
Baris 76:
Dalam Bahasa sederhana, GKI Bungur juga ikut berperan dalam melestarikan budaya [[Tionghoa]] melalu penggunaan [[Bahasa Mandarin]] dalam kegiatan peribadatan mereka. Hal itu menjadi penting mengingat [[agama]] atau sarana ibadah merupakan ‘lahan basah’ yang dapat dioptimalkan untuk berbagai kepentingan, terutama kepentingan yang berkaitan dengan kegiatan pelestarian budaya. Lebih jauh lagi, GKI Bungur tidak hanya melestarikan budaya [[Tionghoa]] melalui penggunaan [[Bahasa Mandarin]] semata, melainkan juga kegiatan keagamaan khas [[Tionghoa]] lainnya. Setiap perayaan [[Hari Raya Imlek]], mereka juga menampilkan kebudayaan [[Tionghoa]] seperti [[barongsai]], liong, tari-tarian, dan menyalakan petasan di akhir ibadah. Menurut penelitian yang ada, hal itu menjadi penting untuk terus dipertontonkan kepada generasi muda, mengingat minat generasi muda terhadap kebudayaan [[Tionghoa]] cenderung menurun.<ref name=":1" /> Momen Hari Raya Imlek itu juga mereka lakukan sebagai ajang untuk menjalin silaturahmi dan berkumpul dengan anggota Klasis Priangan lainnya.<ref name=":3" />
 
Namun demikian, [[Bahasa Mandarin]] mereka yakini hanyalah sebuah media untuk mengkomunikasikan injil [[Kristus]]. Mereka percaya bahwa mereka adalah tubuh [[Kristus]] yang hidup dalam budaya [[Tionghoa]] yang mereka anut. Nilai-nilai luhur budaya [[Tionghoa]] sangat sesuai dengan kebenaran firman [[Allah]]. Perpaduan antara keduanya dianggap sebagai jembatan antara etnis [[Tionghoa]] dengan yang bukan [[Tionghoa]], sehingga [[Injil]] dapat diberitakan dan dihudpkan bersama dalam kesharian. Hal itu sangat relevan terutama bila dikaitkan dengan kondisi sosial masyarakat [[Indonesia]] yang sangat multietnis. Apabila dilihat lebih jauh, GKI Bungur memang terlihat sangat homogen, baik dalam [[budaya]] dan ajarannya. Namun, mereka tidak ingin dipandang sebagai komunitas tertutup, eksklusif, [[Primordialisme]], [[Rasialisme]], dan kelompok [[Fundamentalisme]]. Mereka tetap ingin dilihat sebagai kelompok yang terbuka dan tidak "mengisolasi" kelompok mereka sendiri.
 
== Referensi ==