Orang Krowe: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
ss |
ss |
||
Baris 37:
Pola perkampungan Orang Krowe seluruhnya hampir serupa, yaitu memiliki wisung wangar, mahe, watu mahang, dan ai tali. Seluruh kampung juga dikelilingi oleh tempat yang digunakan untuk buang air kecil dna buang air besar yang disebut dengan Siok Linok Ogor Wokor. Tempat itu dahulu dipergunakan oleh Orang Krowe untuk melakukan aktivitas ekskresi bersama-sama, sebelum mereka memiliki kamar mandi pribadi seperti saat ini. Tempat itu biasanya terletak di bawah pohon, utamanya adalah pohon beringin yang juga mengelilingi kampung mereka sekaligus dijadikan sebagai batas antara permukiman dan hutan serta tanah garapan. Meskipun digunakan secara bersama-sama, Orang Krowe menggunakan pohon yang tumbuh di dekat rumahnya masing-masing. Perlu diketahui, pohon beringin tersebut jumlahnya sangat banyak, sehingga mereka tidak perlu memakai pohon beringin “milik” orang lain. Dalam Bahasa sederhana, antar-keluarga tidak saling bergantian tempat ekskresi. Selain itu, pohon-pohon beringin tersebut juga dikelilingi oleh semak-semak belukar yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi penutup bagi mereka ketika melakukan aktivitas ekskresi. Kotoran-kotoran yang mereka hasilkan juga kemudian menjadi fases dan dimakan oleh binatang-binatang peliharaan seperti babi dan anjing yang hidup secara bebas di sana. Perlu diketahui pula, Orang Krowe tidak mengandangkan binatang-binatang tersebut, sehingga keberadaan binatang itu mampu mempermudah mereka mengurai kotorannya. Setelah batas Siok Linok Ogor Wokor, terdapat sebuah hutan dan tanah garapan yang dapat dimanfaatkan warga untuk melakukan aktivitas pertanian dan mengumpulkan kayu.
== Penguasaan Tanah ==
Pada dasarnya, Orang Krowe menguasai tanahnya secara [[tradisional]]. Sama halnya dengan masyarakat lokal lainnya, keberadaan [[sumber daya alam]] menjadi sangat penting bagi Orang Krowe. Sumber kehidupan mereka sepenuhnya digantungkan dari [[sumber daya alam]]. Sumber daya alam tersebut berada di wilayah-wilayah tertentu yang kemudian menjadi daya tarik bagi Orang Krowe untuk datang dan tinggal di sana. Menurut penuturan lokal yang ada, hak terhadap [[sumber daya alam]] itu dilihat dari nenek moyang siapa yang pertama kali datang ke tempat tersebut. Nenek moyang yang mendatangi tempat itu untuk pertama kali akan dianggap sebagai pemegang hak milik. Ia juga berhak untuk mewariskan hak kepemilikan tanahnya kepada keturunannya. Hak atas tanah yang diperoleh sebagai penghuni awal itu mereka kenal dengan istilah ''dua hekor nian kokanmuhan, moang bira tana bliner peka''. Sementara subjek atau orang yang pertama kali memperoleh hak milik itu disebut sebagai “Tuan tanah”. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah ''Tana Pu’ang'' yang berarti menguasai wilayah dengan luas tertentu yang berbatasan dengan territorial ''Tana Pu’ang'' lainnya. Untuk menandai batas wilayah kepemilikan [[tanah]] antar ''Tana Pu’ang'', mereka mempergunakan batu di ke-empat sudut mata angin yang dinamakan dengan ''watu kekor.''
Penguasaan tanah oleh ''Tana Pu’ang'' tidak hanya mencakup wilayah permukiman yang sedia untuk dijadikan tempat tinggal, melainkan juga mencakup tanah [[pertanian]] dan [[perkebunan]] yang akan digarap menjadi komoditas tertentu. Warga biasa atau Orang Krowe yang tidak memiliki hak penguasaan [[tanah]], dapat mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada ''Tana Pu’ang''. ''Tana Pu’ang'' kemudian akan menyelenggarakan ritual pada lokasi di [[hutan]] yang akan dijadikan lahan pertanian dengan maksud untuk meminta izin kepada arwah-arwah yang menghuni lokasi tersebut. Sebagai bentuk persetujuan, [[keluarga]] Orang Krowe yang akan mengelola tanah tersebut akan menghadiahi ''Tana Pu’ang'' dengan sebuah sesaji yang berisi [[ayam]], nasi, kepala dan hati [[babi]], daging anjing, dan ''moke'' (sejenis minuman keras produksi lokal yang dibuat dari fermentasi sadapan air nira). Hadiah sesaji itu disebut mereka dengan istilah ''wawi peping ora piong''. Maksud dari pemberian sesaji itu juga untuk menandakan bahwa keluarga Orang Krowe yang mengelola tanah pertanian tersebut hanya memiliki hak pakai, buka hak milik.
Sementara itu, wilayah [[tradisional]] yang menjadi area kekuasaan ''Tana Pu’an'' telah tersebar di seluruh wilayah Sikka Tengah, termasuk di Kampung Romanduru. Wilayah-wilayah [[tradisional]] itu mencakup wilayah administrasi di [[Kabupaten Sikka]], dari dusun atau kampung hingga kecamatan. Sebagai misal, wilayah atau tanah tradisional yang mereka kuasai adalah Romanduru setingkat dusun, Baomekot setingkat desa, Nita setingkat kecamatan. <ref>Metzner, Joachim K. 1982. Agriculture and Population Pressure in Sikka, Isle of Florew A Contribution to the Study of the Stability of Agricultural Systems in the wet and dry Topic. Canberra: The Australian National University</ref>
== Referensi ==
|