Orang Krowe: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
cc |
xxmcc |
||
Baris 15:
Kampung Romandaru adalah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Orang Krowe. Secara khusus, kampung tersebut merupakan bagian dari Desa Rubit, Kecamatan Hewokloang, [[Kabupaten Sikka]]. Nama Romandaru berasal dari kata “roma” yang berarti cabut dan “duru” yang berarti tanaman. Romanduru diartikan sebagai mencabut tanaman duru. Nama itu dipakai karena pada saat membuka lahan Kampung Romanduru, banyak terdapat semak belukar dan tanaman duru. Untuk mengingat asal-usul tersebut, mereka menggunakan kata Romanduru.
Kampung Romandaru adalah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Orang Krowe. Secara khusus, kampung tersebut merupakan bagian dari Desa rubit, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Nama Romandaru berasal dari kata “roma” yang berarti cabut dan “duru” yang berarti tanaman. Romanduru diartikan sebagai mencabut tanaman duru. Nama itu dipakai karena pada saat membuka lahan Kampung Romanduru, banyak terdapat semak belukar dan tanaman duru. Untuk mengingat asal-usul tersebut, mereka menggunakan kata Romanduru.<ref name=":0" />
Kampung Romanduru memiliki cerita-cerita lokal tertentu terutama yang berkaitan dengan asal-usul mereka. Di dalam Kampung Romanduru, terdapat struktur kekuasaan [[tradisional]]. Struktur tersebut bermula ketika Suku Buang Baling yang merupakan suku pertama menemukan [[mata air]] dan mengajak suku Mana untuk membuka kampung baru yang disepakati sebagai ''Tana Pu’an.'' Suku kedua yang datang yaitu Suku Mana kemudian ditetapkan sebagai wakil Suku Buang. Terdapat suku lain yaitu Suku Keytimu Lamen yang ditunjuk oleh ''Tana Pu’ang'' untuk memimpin ritual penghormatan kepada awrah [[leluhur]]. Dalam hal itu, setiap suku memiliki perannya masing-masing sesuai dengan waktu kedatangan mereka ke Kampung Romanduru. Seluruh [[ritual]] penghormatan kepada arwah [[leluhur]] itu disebut dengan istilah ''tong piok''. Dalam ritual yang diselenggarakan di Kampung Romanduru itu, seluruh suku harus mengundang ''Tana Pu’ang.'' Apabila ''Tana Pu’ang'' tidak bisa hadir, maka harus diwakili oleh saudara [[laki-laki]] dari Suku Buang.<ref name=":0" />
Baris 22:
== Tradisi ''Ngen'' ==
Tradisi ''Ngen'' dalam perspektif Orang Krowe diartikan sebagai cara hidup yang berpindah-pindah tempat atau migrasi. Tradisi tersebut telah diterapkan oleh Orang Krowe sejak masa silam bahkan sejak zaman [[bahari]] masih menyelimuti kehidupan suku-suku lain di sana. Tradisi ''Ngen'' tersebut juga ditujukan dengan penggunaan bendawi materi sebagai simbol yang masih dipertahankan di tempat tinggal barunya sebagai keberlanjutan dari budaya di tempat sebelumnya. Selain dapat ditelusuri melalui materi bendawi, tradisi ''ngen'' juga dapat dilacak melalui mitos-mitos yang diturunkan kepada keturunan mereka. Mitos-mitos yang ada mampu menjelaskan bentuk persebaran Orang Krowe di permukiman itu. Selain itu, Orang Krowe juga memiliki cerita tentang kedatangan sekelompok orang ke kampung tua dengan menggunakan [[perahu]]. Mitos itu diwariskan secara turun temurun sebagai asal usul penghuni kampung tua di permukiman Orang Krowe. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan miniatur [[perahu]] yang terbuat dari [[logam]], yang disebut sebagai ''Jong Dobo''. "Jong" dalam Bahasa Sikka diartikan sebagai [[perahu]], sedangkan "Dobo" diartikan sebagai tempat keberadaan perahu tersebut saat ini, yaitu berada di Desa Dobo.<ref name=":2">Dasi, Simplifies. 2013. Mengenal Budaya Leluhur Nian Tana Sikka. Maumere: Nasikah tidak Dipublikasikan</ref>
Menurut cerita yang ada, perjalanan orang-orang dari kampung lain itu dimulai dari [[India]], [[Thailand]], [[Selat Malaka]] dan berlanjut ke [[Indonesia]] melalui [[Sumatera]], [[Jawa]], [[Irian Jaya]], Bima, L[[Labuan Bajo]]. Kelompok pendatang itu berlayar ke pesisir pantai utara [[Pulau Flores]] dan mampir ke Koli Dobo hingga kemudian melanjutkan perjalanan ke [[Ende]]. Dari Ende, kelompok tersebut melanjutkan perjalanan mereka ke Waipare yang kemudian menyebabkan jangkar kapal mereka terputus sehingga mengharuskan mereka untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya. Setelah melalui perjalanan panjang ke beberapa wilayah, kelompok tersebut kemudian melabuhkan kapalnya ke Wolon Gele dan bekas tarikan kapal mereka dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai jalan kampung. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Kampung Dobo karena keberadaan mereka tidak diterima di wilayah yang sebelumnya. Di Kampung Dobo mereka tinggal sejenak karena diterima oleh Moat Wogo Pigang. Setelah menetap di Kampung Dobo, Jong Dobo berubah menjadi perahu kecil yang terbuat dari [[logam]]. Menurut beberapa peneliti dari [[Belanda]] dan [[Australia]], perahu logam tersebut dinilai berasal dari [[Sumeria]] pada abad ke-3 SM. Di dalam kapal tersebut terdapat 20 figur manusia, lonceng, dan ayam. [[Ayam]] tersbut mereka gunakan sebagai penanda waktu, sebagaimana penanda waktu yang ada saat ini.
Baris 29:
== Kepercayaan Lokal ==
Orang Krowe di Romanduru memercayai kekuatan [[gaib]] sebagai “hakikat mutlak”. Kekuatan [[gaib]] itu mereka sebut dengan “''Nian Tana Lero Wulan''” yang merupakan perpaduan dari Nian Tana (bumi) dan Lero-Wulan (matahari-bulan). Dengan demikian, mereka percaya dan menyembah pada unsur mutlak sebagai [[Tuhan]], yaitu Tuhan Bumi dan Tuhan Matahari dan Bulan. Wujud penghambaan kepada dua unsur mutlak itu dipandang sebagai ekspresi masyarakat Krowe atas “wujud tertinggi”, bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa mereka menyembah lebih dari satu [[Tuhan]].<ref name=":2" />
Selain pada “unsur mutlak” tersebut, Orang Krowe juga percaya pada roh-roh halus. Bagi mereka, roh halus mampu memengaruhi kehidupan [[manusia]] di [[bumi]]. Oleh sebab itu, bagi Orang Krowe, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan roh-roh halus tersebut. Setidaknya, ada tiga jenis roh halus yang mereka kenal. Pertama disebut dengan ''Nitu Noan'' yang mana “''Nitu''” diyakini sebagai penguasa dunia bawah atau bumi dan “Noan” yang diyakini sebagai pengiasa [[dunia]] atas atau [[langit]]. Kedua adalah ''Ata Ube'' yang mewujudkan dirinya sebagaimana manusia biasa namun memiliki kekuatan ghaib seperti roh-roh jahat lainnya. ''Ata Ube'' diyakini sebagai makhluk pemakan [[manusia]]. Ketiga adalah ''Ata haling'' yang diyakini sebagai kelompok roh halus yang berasal dari roh-roh jahat. Terlepas dari ketiga roh tersebut, Orang Krowe juga percaya bahwa arwah nenek moyang memiliki peranan penting dalam kehidupan ''Ata Krowe''. Mereka meyakini bahwa [[kematian]] adalah proses dimana orang yang meninggal bersatu kembali dengan para [[leluhur]].<ref name=":2" />
Kepercayaan-kepercayaan lokal tersebut dinilai menjadi upaya bagi Orang Krowe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai misal, upacara [[pernikahan]] di kalangan mereka yang dilakukan agar hubungan antarkeluarga menjaid makin baik setelah melakukan [[pernikahan]]. Selain itu, Orang Krowe juga percaya tiga unsur kehidupan yang memiliki abilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketiga unsur itu adalah [[alam]], arwah, dan [[Allah]]. Bagi mereka, alam seperti pohon, batu, [[gunung]] memiliki kekuatan yang berguna bagi kehidupan [[manusia]] sehingga harus dihormati. Sementara itu, hubungan antar Orang Krowe tidak akan terputus oleh kematian, termasuk arwah leluhur yang akan selalu memberikan pengaruh pada kehidupan kerabat yang ditinggalkan. Bagi mereka, sangat penting untuk menjaga hubungan dengan [[arwah]] para leluhur melalui berbagai upacara adat dengan harapan kehidupan duniawi mereka tidak terganggu. Selain itu, Allah juga merupakan unsur penting dalam kehidupan Orang Krawe. Ciri-ciri kehidupan [[Kristiani]] kini telah mewarnai sebagain besar kehidupan Orang Krowe, meskipun beberapa catatan sejarah menunjukan bahwa agama [[Kristen]] baru masuk ke daerah itu bersamaan dengan kedatangan orang [[Portugal]].<ref name=":1">Atmosudiro, Sumijati. 1984. "Tempat Upacara di Daerah Flores Timur, Suatu Tradisi Megalitik" dalam ''Rencana Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi,'' Cisarua, 5-10 Maret 1984. ''tidak diterbitkan''. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional</ref>
Baris 38:
== Pola Perkampungan Tua ==
Pola perkampungan di Kampung Romanduru, tempat tinggal Orang Krowe, terbilang khas. Menurut cerita lokal yang berkembang, para penduduk mendiami Kampung Romanduru karena di sana terdapat sumber [[mata air]] yang merupakan kebutuhan vital manusia, termasuk untuk [[minum]], mandi, mencuci, dan lain sebagainya. Setelah menemukan sumber mata air, mereka kemudian menggarap [[ladang]], lalu mendirikan ''mahe''. Pendirian ''mahe'' tersebut mereka sebut sebagai ''wisung wangar'' yang berbentuk sebidang [[tanah]] di mana di dalamnya terdapat rumah induk milik satu suku. Apabila masih ada sisa [[lahan]], mereka diperkenankan untuk mendirikan satu rumah lagi, tetapi tidak dijadikan rumah induk. Rumah induk itu dikenal sebagai ''Lepo Get''e ditinggali oleh anak [[laki-laki]] tertua dari setiap suku. Meskipun demkian, kondisi itu tidak berlaku ketat. Rumah induk tersebut tidak harus ditinggali oleh satu anak [[laki-laki]] tertua saja, anak kedua pun diperkenankan tinggal di rumah induk.<ref name=":3">Novita, Putri. 2016. Budaya Materi sebagai Simbol dalam Pengaturan Lahan pada Komunitas Adat Krowe di Kampung Romanduru, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Tesis. Program Antropologi Universitari Gadjah Mada. ''Tidak dipublikasikan''</ref>
Di dalam ''Lepo Gete'' tersebut juga terdapat sebuah batu bernama watu mahang yang letaknya ada di dalam kamar paling depan tepatnya di sudut sebelah kanan. Di atas batu tersebut diletakkan beberapa benda seperti [[gading]], [[emas]], biji-bijian, batu-batu kecil, dan kayu-kayu kecil. Di dalamnya juga terdapat batang bambu yang berisi benda-benda pusaka atau dinamakan dengan ''mokung''. ''Mokung'' tersebut menjadi penanda bahwa mereka memiliki hak atas ''Tanah'' ''Howakhewer'', sementara mereka yang tidak memiliki hak atas tanah itu hanya memiliki lempengan batu mendatar saja. ''Watu mahang'' tersebut biasa digunakan Orang Krowe untuk ritual-ritual [[Domestikasi|Domestik]] dalam lingkup keluarga inti.
Baris 45:
== Penguasaan Tanah ==
Pada dasarnya, Orang Krowe menguasai tanahnya secara [[tradisional]]. Sama halnya dengan masyarakat lokal lainnya, keberadaan [[sumber daya alam]] menjadi sangat penting bagi Orang Krowe. Sumber kehidupan mereka sepenuhnya digantungkan dari [[sumber daya alam]]. Sumber daya alam tersebut berada di wilayah-wilayah tertentu yang kemudian menjadi daya tarik bagi Orang Krowe untuk datang dan tinggal di sana. Menurut penuturan lokal yang ada, hak terhadap [[sumber daya alam]] itu dilihat dari nenek moyang siapa yang pertama kali datang ke tempat tersebut. Nenek moyang yang mendatangi tempat itu untuk pertama kali akan dianggap sebagai pemegang hak milik. Ia juga berhak untuk mewariskan hak kepemilikan tanahnya kepada keturunannya. Hak atas tanah yang diperoleh sebagai penghuni awal itu mereka kenal dengan istilah ''dua hekor nian kokanmuhan, moang bira tana bliner peka''. Sementara subjek atau orang yang pertama kali memperoleh hak milik itu disebut sebagai “Tuan tanah”. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah ''Tana Pu’ang'' yang berarti menguasai wilayah dengan luas tertentu yang berbatasan dengan territorial ''Tana Pu’ang'' lainnya. Untuk menandai batas wilayah kepemilikan [[tanah]] antar ''Tana Pu’ang'', mereka mempergunakan batu di ke-empat sudut mata angin yang dinamakan dengan ''watu kekor.''<ref name=":3" />
Penguasaan tanah oleh ''Tana Pu’ang'' tidak hanya mencakup wilayah permukiman yang sedia untuk dijadikan tempat tinggal, melainkan juga mencakup tanah [[pertanian]] dan [[perkebunan]] yang akan digarap menjadi komoditas tertentu. Warga biasa atau Orang Krowe yang tidak memiliki hak penguasaan [[tanah]], dapat mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada ''Tana Pu’ang''. ''Tana Pu’ang'' kemudian akan menyelenggarakan ritual pada lokasi di [[hutan]] yang akan dijadikan lahan pertanian dengan maksud untuk meminta izin kepada arwah-arwah yang menghuni lokasi tersebut. Sebagai bentuk persetujuan, [[keluarga]] Orang Krowe yang akan mengelola tanah tersebut akan menghadiahi ''Tana Pu’ang'' dengan sebuah sesaji yang berisi [[ayam]], nasi, kepala dan hati [[babi]], daging anjing, dan ''moke'' (sejenis minuman keras produksi lokal yang dibuat dari fermentasi sadapan air nira). Hadiah sesaji itu disebut mereka dengan istilah ''wawi peping ora piong''. Maksud dari pemberian sesaji itu juga untuk menandakan bahwa keluarga Orang Krowe yang mengelola tanah pertanian tersebut hanya memiliki hak pakai, buka hak milik.<ref name=":3" />
Sementara itu, wilayah [[tradisional]] yang menjadi area kekuasaan ''Tana Pu’an'' telah tersebar di seluruh wilayah Sikka Tengah, termasuk di Kampung Romanduru. Wilayah-wilayah [[tradisional]] itu mencakup wilayah administrasi di [[Kabupaten Sikka]], dari dusun atau kampung hingga kecamatan. Sebagai misal, wilayah atau tanah tradisional yang mereka kuasai adalah Romanduru setingkat dusun, Baomekot setingkat desa, Nita setingkat kecamatan. <ref name=":0">Metzner, Joachim K. 1982. Agriculture and Population Pressure in Sikka, Isle of Florew A Contribution to the Study of the Stability of Agricultural Systems in the wet and dry Topic. Canberra: The Australian National University</ref>
|