Khalifah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{Tak netral}}
{{Islam}}
'''Khalifah''' ([[bahasa Arab|Arab]]:خليفة ''Khalīfah'') adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat [[Islam]] setelah wafatnya [[Nabi Muhammad SAW|Nabi Muhammad ﷺ]] tahun (570–632). Khalifah juga sering disebut sebagai ''Amīr al-Mu'minīn'' (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin orang-orang [[mukmin]]", yang kadang-kadang disingkat menjadi "amir".
 
Setelah kepemimpinan [[Khulafaur Rasyidin]] ([[Abu Bakar]], [[Umar bin Khattab]], [[Utsman bin Affan]], dan [[Ali bin Abi Thalib]]), kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh [[Bani Umayyah]], [[Bani Abbasiyah]], dan [[Kesultanan Utsmaniyah]], dan beberapa negara kecil di bawah kekhilafahan, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke [[Spanyol]], [[Afrika Utara]], dan [[Mesir]].
Baris 12:
 
== Etimologi ==
Kata "Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah pengganti Nabi Muhammad sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga menggantikannya sebagai penguasa sebuah entitas kedaulatan Islam (negara). Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad selain sebagai Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa, Panglima Perang, dan lain sebagainya.
 
== Kelahiran Kekhalifahan Islam ==
[[Berkas:Age of Caliphs.png|225px|jmpl|ka|Kekhalifahan Islam, 622-750]]
Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah: siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad, dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?
 
=== Pengganti Nabi Muhammad ===
[[Fred M. Donner]], dalam bukunya ''The Early Islamic Conquests'' (1981), berpendapat bahwa kebiasaan [[bangsa Arab]] ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (''bani'' dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam [[syuro]] atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki garis keturunan dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
 
Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya rasul, hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim, namun dapat dipastikan bahwa mayoritas kaum muslim yang hadir dalam musyawarah saat itu meyakini bahwa [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] adalah penerus kepemimpinan Islam yang akan menggantikan rasul karena sebelum Nabi Muhammad meninggal, ia dipercaya untuk menggantikan posisi Nabi Muhammad sebagai imam shalat, dan akhirnya Abu Bakar pun terpilih menjadi Khalifah pertama dalam sejarah Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad.
 
Namun beberapa kalangan dari kaum Muslim Mekkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad telah memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa [[Ali bin Abi Thalib]], sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya. Mereka mengatakan bahwa Abū Bakar merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan{{citation needed}}. Semua Khalifah sebelum Ali juga dianggap melakukan hal yang sama oleh kalangan ini, hal inilah yang memicu munculnya kaum [[Syiah]] belakangan pada masa kekhalifahan [[Muawiyah]], lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
 
=== Kekuasaan khalifah ===
 
"Siapa yang akan menggantikan [[Nabi Muhammad]]" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat [[Islam]] saat itu; mereka juga perlu mengklarifikasi seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Muhammad, selama masa hidupnya, tidak hanya berperan sebagai pemimpin umat islam, tetapi sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk umat Islam. Semua hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai dengan yang disampaikan Nabi Muhammad. Musyawarah dilakukan pada persoalan ini untuk menentukan seberapa besar kekuasaan seorang Khalifah.
 
Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari [[Allah]], karena Nabi Muhammad adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai ''[[nabi|nabī]]'' atau ''[[rasul]]''. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi [[Al-quran]], dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan kekuasaannya pun dibatasi oleh Al-Qur'an dan Hadis.
 
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam [[al-Quran]]. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern [[Patricia Crone]] dan [[Martin Hinds]], dalam bukunya ''God's Caliph'', menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh [[ulama]] di kalangan umat [[Islam]]. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat [[dunia]]wi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.{{citation needed}} Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran [[spiritual]] para ulama.{{citation needed}} Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa [[Syiah|muslim Syiah]], dengan pandangan yang berlebihan kepada para [[imam]], tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua [[ilmuwan]] setuju akan hal ini.
 
Kebanyakan [[Sunni|Muslim Sunni]] saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai [[Khulafaur Rasyidin]], Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada [[Al-Quran]] dan [[sunnah]] Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan [[syariat]].
 
== Karakter kepemimpinan Kekhalifahan Islam ==
Baris 44:
 
[[Ibnu Khaldun]] kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:{{br}}
<blockquote>''"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan [[akhirat]]. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan [[Nabi Muhammad|Nabi Muhammad ﷺ]] , beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi [[Islam|agama]] dan menjalankan kekuasaan politik di [[dunia]]."''</blockquote>
 
== Pencabutan gelar Khalifah ==
Baris 64:
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di [[Afrika Utara]] sampai ke [[Spanyol]]. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah [[Iran]], bahkan sampai ke [[India]]. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam [[sejarah]].
 
Meskipun begitu, [[Bani Umayyah]] tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti [[Abdullah bin Zubair|Ibnu Zubair]]; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal dari klan [[Nabi Muhammad|Nabi Muhammad ﷺ]], [[Bani Hasyim]], atau dari keturunan Ali (yang masih sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun [[750]]. Bagaimanapun, para pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah [[Bani Abbasiyah]], yang merupakan keturunan dari [[Abbas bin Abdul-Muththalib]], paman Nabi Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya terpecah menjadi komunitas [[Syiah]] dan [[Sunni]].
 
=== Bani Abbasyiah ===
Baris 70:
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya [[Islam]] dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan [[budaya]] Timur Tengah. Tetapi pada tahun [[940]] kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang [[Turki]] (dan kemudian diikuti oleh orang [[Mameluk]] di [[Mesir]] pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
 
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, [[Said bin Husain]], seorang muslim [[Syi'ah]] dari [[Bani Fatimiyah]] yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan [[Nabi Muhammad|Nabi Muhammad ﷺ]], mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun [[909]], sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah [[Afrika Utara]]. Pada awalnya ia hanya menguasai [[Maroko]], [[Aljazair]], [[Tunisia]] dan [[Libya]]. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke [[Mesir]] dan [[Palestina]], sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan [[Mesir]] sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun [[1171]]. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di [[Spanyol]], kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun [[929]], sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun [[1031]].
 
=== Kekhalifahan "bayangan" ===
Baris 108:
 
=== Dalil al-Qur'an ===
Di dalam [[al-Quran]] memang tidak terdapat istilah [[Daulah]] yang berarti negara. Tetapi di dalam [[al-Quran]] terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (''ulil amri'') dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
:''Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.'' (Qs. [[Surah An-Nisa’|An-Nisaa`]] [4]: 59).
 
Baris 115:
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (''tadhyii’ al hukm asy syar’iy'').
 
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan MuhammadRasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
 
:''Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.'' (Qs. [[Surat Al Maa-idah|Al-Maa’idah]] [5]: 48).
Baris 121:
:''Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu'' (Qs. [[Surat Al Maa-idah|Al-Maa’idah]] [5]: 49).
 
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (''khitab'') Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (''Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi''). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada MuhammadRasulullah SAW.
 
Oleh karena itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu negara Khilafah.
Baris 127:
=== Dalil as-Sunnah tentang Khalifah ===
# [[Abdullah bin Umar]] meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘''Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah''." [HR. Muslim].
# MuhammadNabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
# MuhammadRasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
# MuhammadRasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
# MuhammadRasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
 
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (''ikhbar'') dari MuhammadRasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan MuhammadRasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (''thalab''). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (''adz dzamm'') maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (''thalab at tarki''), atau merupakan larangan (''an nahy''); dan apabila mengandung pujian (''al mad-hu'') maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (''thalab al fi’li''). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu bererti bersifat pasti (fardlu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
 
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin MuhammadNabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.
 
MuhammadRasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].
 
Dalam hadis ini MuhammadRasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, nescaya tidak mungkin MuhammadNabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
 
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.
 
=== Dalil Ijma’ Sahabat ===
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti MuhammadRasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah [[Abu Bakar]], [[Umar bin Khathtab]], [[Utsman bin Affan]], dan [[Ali bin Abi Thalib]], ridlwanullah ‘alaihim.
 
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, tampak jelas dalam kejadian bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah MuhammadRasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti dia. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah MuhammadRasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah MuhammadNabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.
 
Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya MuhammadRasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karena itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.
 
=== Dalil Dari Kaidah Syar’iyah ===
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
 
"''Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.''"{{fact}} Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
 
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
 
=== Pendapat Para Ulama ===