Propaganda [[Tiga A]] yang disebarluaskan oleh Jepang untuk mencari dukungan rakyat Indonesia ternyata tidak membuahkan hasil memuaskan, karena rakyat justru merasakan tindakan tentara Jepang yang kejam seperti dalam kerja paksa ''romusha''.
Oleh sebab itu pemerintah Jepang berupaya mencari dukungan dari para pimpinan rakyat Indonesia dengan cara membebaskan tokoh-tokoh pergerakan nasional antara lain [[Soekarno]], [[Hatta]] dan [[Syahrir]] serta merangkul mereka dalam bentuk kerjasama. Para pemimpin bangsa Indonesia merasa bahwa satu-satunya cara menghadapi kekejaman militer Jepang adalah dengan bersikap kooperatif. Hal ini semata untuk tetap berusaha mempertahankan kemerdekaan secara tidak langsung. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka mereka sepakat bekerjasama dengan pemerintah militer Jepang dengan pertimbangan lebih menguntungkan daripada melawan. Hal ini didukung oleh propaganda Jepang untuk tidak menghalangi kemerdekan Indonesia. Maka setelah terjadi kesepakatan, dibentuklah organisasi baru bernama Putera (Pusat Tenaga Rakyat).
Keberadaan Putera merupakan organisasi resmi pemerintah yang disebarluaskan melalui surat kabar dan radio, sehingga menjangkau sampai ke desa, namun tidak mendapatkan bantuan dana operasional.
Meskipun kegiatannya terbatas, para pemimpin Putera memanfaatkan media massa yang disediakan untuk mengikuti dan mengamati situasi dunia luar serta berkomunikasi dengan rakyat.
Karena Putera tidak menguntungkan Jepang, Putera hanya bertahan selama setahun, lalu dibubarkan dan diganti dengan [[Jawa Hokokai]].