Larvul Ngabal: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 114.125.221.147) dan mengembalikan revisi 13874547 oleh Japra Jayapati
Baris 10:
 
== Sejarah ==
Menurut ''tom-tad'' (sejarah lisan) masyarakat Kei, hukum ''Larvul'' dan hukum ''Ngabal'' diprakarsai oleh anak-anak dari dua orang pendatang adik-beradik dari Pulau Bali, yakni Kasdeu dan Jangra. Rombongan yang dipimpin Kasdeu memilih untuk menetap di Pulau Nuhu YanatNusyanat (sekarang [[Pulau Kei Kecil]]), sementara rombongan yang dipimpin Jangra memilih{{efn-ua|Menurut berbagai versi tentang kisah datangnya kedua adik-beradik ini, rombongan perahu yang dipimpin Jangra terpisah dari rombongan perahu yang dipimpin Kasdeu akibat diamuk badai di perairan selatan Kepulauan Kei.}} untuk menetap di Pulau Nuhu TēnNustēn (sekarang [[Pulau Kei Besar]]). Kedua pulau ini sesungguhnya tidak terlampau berjauhan, bahkan berdekatan di ujung selatan.
 
Sebelum kedatangan Kasdeu dan Jangra, penduduk Kepulauan Kei telah hidup bermasyarakat dalam permukiman-permukiman besar maupun kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang ''hala'ai'' (pembesar).{{efn-ua|Secara harfiah ''hala'ai'' berarti "membesar", namun mungkin saja ''hala'ai'' hanyalah variasi pengucapan kata "''ila'ai''" (''enla'ai'' dalam bahasa Kei modern), semakna dengan kata "''ila'a''" dalam [[bahasa Fordata]] yang berarti "si besar" atau "yang besar", mirip dengan gelar ''ki ageng'' di Jawa.}} Beberapa permukiman bahkan sudah membentuk persekutuan atas dasar kekerabatan atau kerjasama, dan ada pula yang sudah memiliki hukum adat sendiri. Meskipun demikian, belum ada satu tatanan yang seragam atau diterima secara luas, sehingga seringkali berlaku hukum rimba. Masyarakat Kei menyebut hukum rimba sebagai ''hukum Dalo Ternat'' (hukum Jailolo-Ternate).{{efn-ua|Frasa "hukum Jailolo-Ternate" bukan berarti hukum yang berlaku di Jailolo atau di Ternate, melainkan mengacu pada perilaku sewenang-wenang orang Ternate terhadap suku-suku bangsa lain yang tunduk di bawah kekuasaannya. Jailolo adalah kerajaan Maluku tertua yang dikenal oleh leluhur masyarakat Kei, cikal bakal dari empat kerajaan yang berpusat di Maluku Utara. Sementara Ternate adalah salah satu dari empat kerajaan turunan Jailolo yang pengaruhnya meluas ke arah barat dan selatan; pengaruh Kerajaan Tidore meluas ke arah timur; sementara pamor dua kerajaan lainnya lambat laun meredup. Masyarakat Kei sendiri memandang Kepulauan Kei sebagai negeri di "''Dalo soin Ternat wahan''" (pinggiran Jailolo, perbatasan Ternate).}}
 
Jangra memiliki seorang putri yang bernama Dit Somar. Dengan berbekal beberapa bilah tombak bawaan ayahnya dari Pulau Bali, Dit Somar berupaya menjalin persekutuan dengan para penguasa setempat. Upaya ini disambut baik oleh lima penguasa di Pulau Nuhu TēnNustēn yang kemudian berkumpul dan merumuskan hukum ''Ngabal'' sebagai pedoman bersama, sekaligus membentuk persekutuan ''Lorlim'' (serikat lima).
 
Di Pulau Nuhu Yanat (Kei Kecil)Nusyanat, putri Kasdeu yang bernama Dit Sakmas mengalami perundungan dalam perjalanan menuju kampung calon suaminya. Tipu daya dan pertumpahan darah yang menyusul peristiwa perundungan ini mendorong abang Dit Sakmas yang bernama Tebtut untuk mengumpulkan para penguasa di Pulau Nuhu YanatNusyanat guna merumuskan suatu hukum bersama sekaligus membentuk persekutuan demi menyokong penegakannya. Ikhtiar Tebtut disambut baik oleh sebelas orang penguasa; sembilan di antaranya berkumpul dan merumuskan hukum ''Larvul'' sekaligus membentuk persekutuan ''Ursiu'' (serikat sembilan).
 
Pembentukan serikat sembilan dan serikat lima ini mungkin meniru bentuk [[moietas (kekerabatan)|moietas]] serupa yang juga terbentuk di [[Maluku Utara]] dan [[Maluku Tengah]]. Keberadaan moietas Siwa-Lima di seluruh [[Kepulauan Maluku]] mungkin timbul sebagai dampak persaingan berabad-abad di Nusantara dalam perniagaan rempah-rempah Maluku antara jaringan niaga para saudagar pemeluk agama Siwa (pemuja [[Nawadewata|sembilan Dewata]] penguasa penjuru-penjuru jagat) dan jaringan niaga para saudagar pemeluk agama Buddha (penganut [[Pancasila (Buddha)|lima pantangan]]). Meskipun bukan penghasil rempah-rempah, Kepulauan Kei merupakan tempat persinggahan ([[Kota Tual|Tua]] di Pulau Du dan Hār di Pulau Nuhu TēnNustēn) di jalur niaga yang menghubungkan kawasan barat Nusantara dengan [[kepulauan Aru]], [[Semenanjung Onin]], dan [[Benua Australia|pesisir utara Benua Australia]]. Sebagaimana yang terjadi di Maluku Utara dan Maluku Tengah, hubungan serikat lima dan serikat sembilan di Kepulauan Kei juga kerap diwarnai persaingan dan perseteruan terkait wilayah dan pengaruh. Meskipun demikian, hukum ''Larvul'' dan hukum ''Ngabal'' tidak saling dipertentangkan, malah dianggap saling melengkapi, dan lambat laun diterima sebagai bagian-bagian yang tak terpisahkan dari satu hukum adat seluruh masyarakat Kepulauan Kei, baik yang bergabung dalam persekutuan ''Ursiu'', persekutuan ''Lorlim'', maupun masyarakat ''Lorlabai'' (pihak netral).{{efn-ua|''Lorlabai'' adalah sebutan bagi permukiman-permukiman yang memutuskan untuk tetap netral, dengan cara tidak menjadi anggota serikat lima maupun serikat sembilan dan tidak memihak salah satunya bilamana kedua persekutuan itu sedang bertikai. ''Lor'' berarti "rakyat" atau "kaum", dan ''labai'' mungkin berasal dari kata "''sala bai''" (secara harfiah berarti "tidak sepenuhnya perempuan") dalam [[bahasa Bugis]] yang berarti "banci" (bukan perempuan bukan pula laki-laki).}}
 
== Penjabaran ==