Monisme dan dualisme dalam hukum internasional: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adeninasn (bicara | kontrib)
k Dualisme: perbaikan
Adeninasn (bicara | kontrib)
k // biar seragam
Baris 17:
</blockquote>
 
Supremasi hukum internasional merupakan suatu aturan dalam sistem dualisdualisme, seperti halnya pada sistem monis. Sir [[Hersch Lauterpacht]] menunjukkan tujuan Pengadilan yang mencegah penghindaran kewajiban-kewajiban internasional, dengan penegasan berulang-ulang tentang:
 
{{quote|Prinsip swa-bukti hukum internasional bahwa Negara tidak dapat menggunakan hukum kotamadya sebagai alasan untuk tidak memenuhi kewajiban internasionalnya.<ref>Lihat [https://books.google.com/books?id=piU8AAAAIAAJ&lpg=PA261&ots=Og6Yhjh177&pg=PA262#v=onepage&q&f=false ''The Development of International Law by the International Court''], Hersch Lauterpacht (ed), Cambridge University Press, 1982, {{ISBN|0-521-46332-7}}, page 262</ref>}}
 
Jika hukum internasional tidak dapat diterapkan langsung, seperti halnya dalam sistem dualisdualisme, maka hukum tersebut harus diterjemahkan ke dalam hukum nasional, dan hukum nasional yang ada{{spaced en dash space}}
yang bertentangan dengan hukum internasional{{spaced en dash space}}
harus "diterjemahkan terlebih dahulu"; baik dengan modifikasi atau dihilangkan supaya sesuai dengan hukum internasional. Sekali lagi, dari sudut pandang hak asasi manusia, jika perjanjian hak asasi manusia diterima hanya karena alasan politik, dan negara-negara tidak berniat menerjemahkan sepenuhnya ke dalam hukum nasional atau mengambil pandangan monisme atas hukum internasional, maka implementasi perjanjian tersebut akan sangat samar.<ref>[[Antonio Cassese]], International Law in a Divided World, Clarendon Press, [[Oxford]], 1992, p. 15.</ref>
 
=== Permasalahan "lex posterior" ===
Dalam sistem dualisdualisme, hukum internasional mesti diterjemahkan ke dalam hukum nasional, dan hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional harus "diterjemahkan", dengan modifikasi atau dihilangkan sehingga sesuai dengan hukum internasional. Namun, kebutuhan penerjemahan dalam sistem dualisdualisme, menyebabkan masalah terkait dengan undang-undang nasional yang dipilih setelah proses penerjemahan. Dalam sistem monisme, undang-undang nasional yang dipilih setelah hukum internasional diterima, tetapi bertentangan dengan hukum internasional; menjadi batal dengan sendirinya, dan tidak belaku saat terpilihnya undang-undang tersebut. Aturan internasional akan terus berlaku. Namun, dalam sistem dualisdualisme, hukum internasional yang asli diterjemahkan ke dalam hukum nasional, jika semua berjalan baik, tetapi hukum nasional ini kemudian dapat ditimpa oleh hukum nasional lain dengan prinsip "[[lex posterior derogat legi priori]]", hukum yang kemudian menggantikan yang sebelumnya. Ini berarti bahwa suatu negara (mau atau tidak mau) melanggar hukum internasional.<ref>[[Pieter Kooijmans]], Internationaal publiekrecht in vogelvlucht, Wolters-Noordhoff, Groningen, 1994, p. 84.</ref> Sistem dualisme membutuhkan penyaringan terus menerus atas semua hukum nasional berikutnya, karena kemungkinan ketidakcocokan dengan hukum internasional sebelumnya.
 
== Contoh-contoh ==
Baris 48:
</blockquote>
 
Baik negara monis, maupun dualis dapat mematuhi hukum internasional. Satu hal dapat disimpulkan bahwa negara monis kurang berisiko melanggar aturan-aturan internasional, karena hakimnya dapat menerapkan hukum internasional secara langsung.<ref name="Kooijmans_83">[[Pieter Kooijmans]], Internationaal publiekrecht in vogelvlucht, Wolters-Noordhoff, Groningen, 1994, p. 83.</ref> Kelalaian atau keengganan dalam menerapkan hukum internasional ke dalam hukum nasional, hanya dapat menimbulkan masalah di negara-negara dengan sistem dualisdualisme. Suatu negara bebas memilih cara yang mereka inginkan dalam menghormati hukum internasional, tetapi mereka selalu bertanggung jawab jika mereka gagal menyesuaikan sistem hukum nasional mereka dengan cara yang dengannya menghormati hukum internasional. Apakah itu dengan mengadopsi konstitusi yang mengimplementasikan sistem monis, sehingga hukum internasional dapat diterapkan secara langsung dan tanpa transformasi, atau tidak; tetapi kemudian mereka harus menerjemahkan semua hukum internasional ke dalam hukum nasional.
Negara-negara monis hanya bergantung pada hakim dan bukan pada legislator, tetapi hakim juga bisa membuat kesalahan. Jika seorang hakim di negara monist membuat kesalahan ketika menerapkan hukum internasional, maka negara tersebut melanggar hukum internasional sama seperti negara dualis yang, untuk satu alasan atau lainnya, tidak mengizinkan hakimnya menerapkan hukum internasional secara langsung dan gagal menerjemahkan atau gagal menerjemahkan dengan benar dan efektif.<ref name="Kooijmans_83"/> Salah satu alasan untuk lebih memilih dualisme adalah ketakutan bahwa hakim nasional tidak akrab dengan hukum internasional; yaitu bidang hukum yang sangat rumit, dan karenanya memiliki kemungkinan besar membuat kesalahan.